Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Badai Laut Biru

Cerita Pendek Ahmadun Y Herfanda

SIANG  itu sangat terik. Matahari membakar pantai berpasir hitam hingga terasa membara. Tiang-tiang layar perahu bagai gemetaran dipermainkan angin dan ombak, hingga perahu-perau tua itu bagai menari-nari di bibir pantai. Namun, kehidupan para nelayan terus berjalan, dalam rutinitas, mengikuti kehendak sang alam.

Di atas pasir hitam, tak jauh dari sebuah perahu yang terus menari, Kardi mengemasi bekal-bekal pelayaran, jala dan kail, juga keranjang-keranjang ikan, lalu menaikkannya ke geladak perahunya. Tiba-tiba ombak besar menghantam dinding perahu, sehingga terguncang keras. Kardi yang sedang berpegang pada bibir perahu hampir terpental.

Karena guncangan itu, keranjang-keranjang yang dia tenteng terlepas dan hanyut terseret ombak. Dengan cepat Kardi mengejarnya dan berhasil meraihnya. Tapi sial, yang tertangkap hanya satu keranjang yang paling kecil. Dengan cepat dan sekenanya dia melemparkan keranjang itu ke perahu, sehingga hampir saja mengenai kawannya yang sedang berdiri di geladak, merapikan letak tali layar perahu dan jaring-jaring ikan.

Melihat Kardi kepayahan, lelaki di geladak itu, Salim, dengan tangkas meloncat ke arah Kardi dan mengambil alih keranjang-keranjang yang dibawanya. Setumpuk keranjang yang kokoh itu memang terasa berat karena basah. Sampai di dinding perahu tubuh Kardi sudah hampir lunglai. Salim melemparkan tumpukan keranjang itu ke geladak lalu dengan kedua tangannya yang kekar dia mengangkat tubuhnya dan meloncat ke geladak. Kardi sudah tidak kuat mengangkat tubuhnya sendiri. Salim kembali membantunya, menarik tangan Kardi sampai berhasil naik ke geladak.

"Pelaut macam apa kau! Baru begitu saja sudah mau pingsan," ejek Salim. Kardi hanya tersenyum pahit sambil terus merebahkan tubuhnya di pinggir geladak.

Perahu mereka sesungguhnya sudah sangat tua. Umurnya kira-kira seusia kapten mereka, Pak Ruslan, yang sudah mengawaki perahu itu sejak 20 tahun lalu. Berawak sembilan orang. Enam orang lelaki dewasa, dua orang anak lelaki dan seorang gadis-anak Pak Ruslan-sebagai tukang masak. Panjang perahu kira-kira dua puluh dua meter dengan lebar kira-kira enam meter. Memiliki layar putih yang sudah mulai kecokelatan dan sudah banyak tambalannya, namun mereka belum sempat menggantinya dengan layar yang baru.

Kardi masih berbaring di pinggir geladak ketika ombak semakin ganas menghantami dinding perahu. Dia bagaikan tidur di pinggir ayunan yang lebar dan hangat, membiarkan panas matahari menyengati kulit tubuhnya yang cokelat kehitaman. Seolah dia sudah biasa dibakar sinar matahari seperti itu. Dia sudah tidak pernah lagi ingin memiliki kulit tubuh yang kuning seperti ketika masih sekolah di SMA dua tahun yang lalu.

Kardi masih ingat betul ketika itu memiliki kulit tubuh yang kuning dengan perawakan tinggi dan wajah simpatik. Dia masih ingat betul, ketika itu diperebutkan beberapa gadis yang tergolong berwajah cantik. Dan, dia masih ingat betul ketika berpacaran dengan gadis keturunan Tionghoa, teman sekelasnya. Namun, semuanya telah berlalu bersama kegagalannya meraih cita-cita masuk Akabri. Bersama hilangnya warna kuning kulitnya. Direnggut sang waktu.

Selama dua tahun dia pun berusaha mencari pekerjaan yang layak sesuai dengan ijazahnya, namun hasilnya nihil. Kemudian atas anjuran ayahnya, Kardi ikut menjadi awak perahu milik sang ayah sampai sekarang. Kini dia pasrah saja pada kehendak alam, kehendak sang nasib, kehendak waktu. Akan menjadi apa dia kelak, akan seperti apa kulit tubuhnya, dia pasrah saja. Sedangkan Salim adalah anak pamannya yang bernasib sama, gagal masuk perguruan tinggi negeri dan gagal mencari pekerjaan kantoran.

"Angkat sauh, kita akan segera bertolak!" seru Pak Ruslan dari haluan.

Kardi kaget dan segera bangkit. Dia melihat seseorang telah terjun ke air dan segera melepaskan tali perahu yang terikat pada tonggak di bibir pantai. Kardi segera membantunya dengan menarik tali itu dan menaikkannya ke geladak. Di cakrawala utara tampak mendung hitam bergumpalan. Angin bertiup sedang dari arah barat laut. Tapi, matahari masih tampak bersinar, condong ke ufuk barat.

Dayung-dayung berkecimpung dan perlahan-lahan perahu tua itu meninggalkan daratan melaju ke arah timur laut, semakin ke tengah dan terus ke tengah.

"Kembangkan layar! Angin sudah mulai lambat dan akan berganti arah," teriak Pak Ruslan.

Seorang awak perahu memanjat tiang layar, melepaskan tali pengikat. Salim bersama seorang awak perahu yang lain melepaskan tali layar bagian bawah, Kardi siap dengan merentangkan tali layar membentang ke haluan. Perlahan-lahan layar pun mengembang lalu tertiup angin ke samping kanan. Parahu menjadi tidak seimbang dan miring. Dengan refleks para awak perahu mencari keseimbangan.

"Belokkan haluan ke kanan!" teriak sang kapten lagi.

Juru mudi segera menekankan sirip kemudi melawan arus air di sebelah kanan ekor perahu. Kardi dan Salim membetulkan letak layar dengan menarik tali-talinya. Perahu pun perlahan-lahan membelok 60 derajat ke kanan, kemudian melaju dengan tenang.

Jala-jala yang berwarna biru tua mulai diturunkan. Begitu pula beberapa kail yang telah disiapkan. Kail-kail itu masing-masing diberi pengapung sepotong kayu agar tidak tenggelam ke dasar laut. Jarak antara pengapung dan kail sekitar satu meter. Masing-masing diberi umpan sepotong ikan kecil. Biasanya ikan belanak atau udang. Apabila ada ikan yang memakan umpan, kayu pengapung akan terlihat tertarik-tarik timbul tenggelam di permukaan air itu tertarik menurut larinya ikan.

Tarikan dan gerakan pengapung itu kadang-kadang cepat dan keras, kadang-kadang lemah dan perlahan, tergantung pada jenis dan besar kecilnya ikan. Ikan kakap biasanya menarik umpan dengan cepat dan keras. Ikan tongkol dan ikan tengiri suka memakan umpan dengan menghentak-hentakkannya ke bawah. Semakin besar ikan yang memakan umpan, akan lebih pelan gerakannya, namun terasa lebih berat dan mantap.

Jala-jala yang dipasang di kanan kiri perahu biasanya diangkat seperempat jam sekali, atau sewaktu-waktu bilamana perlu. Sedangkan jala-jala lempar akan dilempar sekali-sekali atau berkali-kali apabila diperkirakan perahu sedang berada di daerah yang banyak ikannya. Seorang nelayan yang sudah berpengalaman dapat membedakan mana air yang banyak mengandung ikan dan mana yang tidak, yang dapat diketahui dari gerak airnya.

*

Perahu tua itu masih melaju dengan tenang sebab belum sampai di daerah sarang ikan yang mereka tuju seperti hari-hari kemarin. Pada saat demikian para awak perahu dapat beristirahat sebentar untuk melepaskan lelah. Kardi dan Salim duduk di emper gubuk perahu, memandang langit yang tampak kebiruan di celah-celah awan putih dan hitam, Matahari timbul tenggelam di balik awan. Mereka mengalihkan pandangan ke laut yang semakin tampak biru. Ikan-ikan kecil banyak berloncatan di kanan kiri perahu. Loncatan ikan yang tinggi kadang-kadang masuk ke geladak perahu.

Kardi mengambil sebungkus rokok dari saku celanannya lalu menawarkannya kepada Salim. Salim melolos sebatang, dan dijepitkan di belahan bibirnya.

"Tumben kau membawa jarum super!"

" Kan kemarin dapat hasil banyak," sahut Kardi seenaknya. Mereka berdua menyulut rokok, mengisapnya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya. Sampai di udara asap rokok itu buyar di koyak-koyak angin laut.

"Kalau hasil kita begitu terus enak, ya."

"Ya, hidup kita bisa sedikit senang. Tapi sekarang panen ikan baru seminggu saja sudah abis, dan hasil kita tidak selalu banyak. Dulu, sebelum ada pukat harimau, panen ikan dapat kita nikmati sampai kira-kira tiga bulan. Waktu itu hasil tangkapan kita dapat untuk membeli apa-apa. Sedangkan sekarang dapat kau lihat sendiri. Kita semakin melarat saja. Untuk membeli perlengkapan perahu saja sangat sulit," keluh Kardi.

"Sekarang kan sudah ada undang-undang yang melarang pukat-pukat harimau beroprasi di daerah kita."

"Ya, tapi apa gunanya undang-undang kalau perampok-perampok ikan itu masih dapat dengan bebas dan seenaknya saja beroperasi di daerah kita."

"Apakah kita tak pernah lapor tentang pelanggaran-pelanggaran mereka?"

"Sampai bosan, Lim. Tapi tak ada hasilnya. Kita bahkan semakin jengkel saja. Teknologi modern kadang-kadang bahkan menjadi alat penindas rakyat kecil. Dan sulitnya lagi kita hidup di negara yang hukum dan undang-undangnya belum menjadi kesadaran yang penuh."

"Kau sudah mendengar tentang perkelahian antara nelayan kecil melawan nelayan pukat harimau di pantai Jepara yang berakhir dengan tragedi pembunuhan?"

"Itu persoalannya juga seperti yang kita alami. Siapa orangnya yang tidak jengkel kalau sumber pangannya dirampok oleh orang lain? Kalau kita tidak sabar-sabar mungkin sejak dulu-dulu kita sudah bentrok dengan para perampok itu."

"Ya, Di. Aku pun merasakan hal itu. Tapi, situasi hanya semakin membuat kita tidak berdaya."

"Itulah, Lim. Situasi hanya semakin memojokkan kita sehingga kita semakin tidak berdaya, kecuali hanya memendam kejengkelan yang semakin mendalam."

Tidak terasa dua batang rokok telah mereka habiskan. Perahu masih melaju dengan tenang. Mendung hitam semakin banyak bergumpalan di langit.

"Kau tidak lapar, Lim?"

"Lapar sih lapar, tapi itu dewimu belum selesai memasak. Rukmi, sudah masak belum? Ini Romeomu suda kelaparan!" Salim berolok-olok, Kardi cuma senyum-senyum saja.

"Sebentar lagi!" teriak Rukmini dari dalam gubuk.

Selanjutnya: Badai Laut Biru 2