Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Balada sang Korban

Cerita Pendek Ahmadun Y Herfanda

MALAM  begitu gerah. Pak Salman gelisah. Becak yang selama ini merupakan satu-satunya sumber penghidupan bagi dia dan keluarganya akan dijual oleh juragannya. Alasannya, tidak lama lagi becak akan dilarang masuk Jakarta . Becak-becak yang ada akan dibersihkan dan dibuang ke laut. "Daripada dibuang ke laut, lebih baik dijual duluan ," kata sang juragan.

Sepulang dari kerja, Pak Salman membaringkan tubuhnya yang berkeringat di dipan bambu. Pikirannya dikacaukan bayangan masa depan yang sesuram knalpot bus kota . Ya, bagaimana nanti kalau uang Rp 20 ribu di kantongnya sudah habis untuk makan sehari-hari? Sedang dia sudah tidak menarik becak lagi. Jalan satu-satunya yang terlintas di benaknya adalah menjual barang-barang yang dia miliki. Tetapi kalau barang-barangnya sudah habis?

Pak Salman melirik barang-barang yang dia miliki: sebuah televisi bekas 12 inci dan sebuah radio transistor dua band yang warnanya mulai legam. Hanya itu yang dapat dijualnya. Dia menaksir paling banter hanya laku sekitar Rp 90 ribu dan hanya bisa untuk makan sekeluarga selama setengah bulan. Setelah itu, mencari sesuap nasi saja mungkin akan sangat sulit. Anak-anaknya masih kecil. Istrinya tidak bekerja. Belum lagi untuk membayar sewa rumah bulanan. Untuk mencari pekerjaan lain dalam waktu singkat sangat sulit. Ijazah dia tidak punya. Membaca saja masih terbata-bata. Padahal Kota Jakarta makin dipenuhi orang pintar yang masih menganggur dan setiap saat selalu rebutan pekerjaan.

Di kota yang makin padat ini orang seperti Pak Salman akan semakin tersisih. Dan dunia yang paling dekat dengan dia dan keluarganya adalah dunia gelandangan. Tidur di kolong jembatan, kalau masih ada tempat. Kalau tidak, terpaksa harus mau tidur di emper pertokoan Cina, pikirnya. Padahal, gelandangan juga makin banyak di Kota Jakarta. Tiap hari mereka meminta-minta di perempatan-perempatan jalan, di jembatan penyeberangan, di emper-emper pertokoan dan semakin berdesakan di kolong-kolong jembatan. Dia sangat ngeri membayangkan itu semua. Kepalanya terasa semakin berat dan napasnya semakin sesak.

Mbok Kasmi, istrinya, heran melihat tingkah Pak Salman yang tidak seperti biasa itu. Biasanya sehabis pulang kerja dia langsung minum bergelas-gelas air putih dan makan nasi setengah bakul. Hari itu minum seteguk air pun tidak. Lebih heran lagi, Pak Salman berbaring lesu sambil melamun, menopang kepalanya dengan kedua telapak tangannya, dan matanya menatap ke langit-langit, seperti pemuda yang sedang patah hati.

"Ada apa, Pak? Mbok ya makan dulu!" Mbok Kasmi memberanikan diri mendekati suaminya.

Pak Salman masih bungkam.

"Apakah kau sakit, Pak?"

"Aku sangat bingung, Bu. Besok sudah tidak bisa narik beca lagi."

"Lho, kenapa? Apa kau dikeluarkan?"

Pak Salman menggeleng. "Semua beca Pak Parto akan dijual," katanya lesu.

"Lalu kawan-kawanmu nanti akan kerja apa?"

"Mana aku tahu, Bu. Mereka tadi pulang dengan membisu. Aku sendiri bingung, untuk selanjutnya akan kerja apa? Padahal bisaku hanya menarik beca. Sebetulnya aku ya diberi pesangon, tapi hanya dua puluh ribu. Uang segitu dapat untuk apa, Bu? Untuk makan tiga hari saja akan habis. Dan dalam waktu itu aku belum tentu mendapat pekerjaan lain."

"Ya, Pak. Bagaimana hidup kita nanti kalau kau tidak bekerja?"

Pak Salman menggeleng dan hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Wajah Mbok Kasmi berubah sangat sedih. Pak Salman menyesal telah telanjur mengatakan kekhawatiran yang membayangi pikirannya. Air mata Mbok Kasmi menetes, air mata tua yang sedang berduka.

"Sudahlah, Bu. Jangan menangis. Berdoa saja semoga dalam waktu beberapa hari aku sudah mendapat pekerjaan lagi."

*

Pak Salman sesungguhnya sudah ikhlas menerima nasib sebagai penarik beca walaupun hasilnya hanya pas-pasan untuk menghidupi keluarganya. Meskipun kenyataannya cukup pahit, dia tetap bekerja dengan bersemangat dan gembira. Namun, ternyata Pak Parto, juragannya, punya rencana lain.

"Bapak-bapak, sebetulnya aku tidak tega melakukan hal ini. Tapi demi kebaikan kalian, hal ini terpaksa kulakukan. Aku merasa kasihan melihat kerja kalian semakin sepi. Kalian semakin terdesak. Daerah bebas beca semakin diperbanyak, dan sebentar lagi akan diberlakukan di seluruh Jakarta. Ditambah lagi semakin banyak bemo dan angkot yang operasinya semakin merata ke jalan-jalan kecil dan gang-gang, sehingga kita semakin tidak kebagian rezeki. Belum lagi kini kita juga harus bersaing dengan tukang-tukang ojek. Dan, yang lebih tidak dapat kita lawan, tidak lama lagi beca akan dilarang masuk Jakarta ," kata Pak Parto.

"Karena itu, semua beca akan saya jual. Besok pagi akan diangkut ke Semarang semua dan kalian dengan sendirinya sudah tidak dapat menarik beca saya lagi. Uangnya akan saya pakai untuk tambahan membeli dua minibus dan akan saya operasikan di jurusan Jakarta-Bogor. Kalau di antara kalian ada yang dapat menyetir dan mempunyai SIM A, boleh mengoperasikannya. Tetapi sudah tentu saya hanya butuh dua orang sopir saja."

Pak Salman dan kawan-kawannya hanya membisu ketika pidato itu diucapkan oleh Pak Parto di hadapan mereka. Ada yang hanya melongo memandang Pak Parto, sebagian ada yang hanya menatap langit kering karena musim kemarau, sebagian lagi hanya menunduk sambil memain-mainkan jemari kakinya di tanah seperti anak kecil.

*

Selanjutnya: Balada sang Korban 2