Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Sudah setengah bulan lebih Pak Salman menjadi penganggur. Setiap pagi dia ke luar rumah untuk mencari pekerjaan, tetapi sorenya selalu pulang dengan tubuh lesu karena harapannya tidak tergapai. Dan hari ini uangnya hanya tinggal lima ribu rupiah. Televisi bekas dan radionya pun sudah ia jual di pasar loak Taman Puring. Itu berarti besok dia sudah tidak punya uang lagi. Dia hanya berani membawa dua ribu rupiah untuk ongkos mencari pekerjaan. Sisanya diberikan kepada istrinya untuk makan sehari. Kalau hari ini dia tidak berhasil mendapat uang dan pekerjaan, besok istri dan kelima anaknya tidak akan bisa makan lagi.

Sebelum berangkat Pak Salman memandangi anak-anaknya. Yang masih kecil sedang digendong ibunya, yang nomor dua dan tiga sedang bermain-main di teras rumah sewanya yang sempit, dan satu lagi yang paling besar sudah berangkat ke sekolah. Dengan memandang anak-anaknya, semangat Pak Salman timbul kembali.

Pak Salman sudah sangat jauh berjalan. Uang di sakunya sudah ludes untuk naik bus kota dan minum aqua di pinggir jalan. Dia merasa sangat lelah. Jalan-jalan raya sudah ditelusurinya semua. Bahkan dia sudah keluar masuk gang. Tetapi setiap mendatangi kantor, toko, pabrik, warung makan, dan rumah orang kaya, selalu disambut dengan perkataan: tidak ada lowongan kerja. Banyak pula yang mengatakan kelebihan tenaga. Dia sangat sedih menghadapi kenyataan itu.

Saat berjalan sambil melamun, hujan tiba-tiba turun dari langit yang mendung sejak siang tadi. Pak Salman cepat-cepat berlari ke teras rumah yang lebar. Dia berteduh di situ. Di sekelilingnya tampak sepi, kecuali orang-orang yang berlarian masuk ke rumah masing-masing. Hujan semakin deras, disertai angin yang cukup kencang. Pak Salman menggigil. Dia tidak dapat melanjutkan langkahnya untuk mencari pekerjaan. Hujan keparat, umpatnya dalam hati. Dengan tajam dia menatap air hujan yang jatuh dari langit, lalu menatap langit yang kelam sambil sekali-sekali mengumpat. Kali ini dia betul-betul merasa benci pada hujan. Hatinya sangat marah. Tetapi hujan tetaplah hujan. Dia punya aturan sendiri untuk turun ke bumi.

Tadi Pak Salman juga sudah mencoba nimbrung pada para calo bus antarkota untuk ikut membagi rezeki, tapi dengan kasar mereka mengusirnya. Lalu dia juga mencoba ikut mengatur parkir mobil di depan pertokoan Cina, tapi seorang lelaki bertubuh besar dan berwajah berewok segara mengusirnya. Bahkan dia hampir ditempeleng ketika ngotot tetap berada di tempat itu. "Ini lahan gue, wilayah gue! Pergi lu!" bentak lelaki berewok itu, kasar.

Pak Salman marasa seperti orang yang betul-betul terusir dari tanah airnya sendiri. Dia ingat pada anak-anak dan istrinya di rumah. Dia bertambah sedih. Dia pun ingat pada kata-kata Pak Parto yang terakhir: kalian jangan khawatir. Saya yakin, kalian akan segera mendapat pekerjaan yang lebih baik dari pada penarik beca. Di sini banyak tersedia lapangan kerja. Semoga kalian tidak menjadi penarik beca lagi, hidupnya pahit!

Pak Salman sangat benci pada kata-kata itu kini. Dia juga sangat benci pada Pak Parto. Dia merasa tertipu oleh kata-katanya. Dia juga semakin membenci keadaan, membenci Kota Jakarta. Sangat benci. Syukur dia belum membenci negaranya sendiri, sehingga tidak memilih menjadi pemberontak.

Deras hujan agak berkurang. Sekitar rumah tempat Pak Salman berteduh masih tampak sepi. Dia menengok ke dalam rumah itu, juga tampak sangat sepi. Tetapi anehnya pintu rumah itu tidak dikunci, bahkan sedikit terbuka. Dia mengamati isi rumah itu. Tampak barang-barang berharga tergeletak di situ. Ada pesawat TV yang cukup besar, jam dinding, tape recorder , dan yang paling menarik hatinya adalah arloji berwarna emas yang tergeletak di atas meja. Jam itu tentu harganya sangat mahal, pikirnya. Jam itu bagai membisikkan sesuatu ke telinganya.

Pak Salman pun ingat keluarganya yang sebentar lagi akan kelaparan. "Seandainya aku dapat mengambil jam itu dan menjualnya, tentu saat yang mengerikan itu dapat tertunda lebih lama lagi dan aku mempunyai peluang dan ongkos untuk mencari pekerjaan lagi. Dan mungkin dalam jangka waktu itu aku akan mendapat pekerjaan." Pikiran Pak Salman bekerja keras. "Tapi bagaimana cara mengambilnya? Ah mudah sekali. Aku dapat melangkah dengan pelan-pelan ke meja itu, mengambilnya dan memasukkannya ke saku. Ya, jam tangan itu saja, tak usah banyak-banyak. Persetan dengan benda-benda lainnya. Tapi bagaimana nanti kalau ketahuan?" Ia berpikir kembali. "Ah, kenapa tiba-tiba aku ingin jadi maling? Betapa terkutuknya!"

Pak Salman teringat lagi pada anak-anak dan istrinya di rumah, mereka mulai besok pasti sulit untuk mendapatkan sesuap nasi. Dia memandang berkeliling. Masih sepi.

Ia memandang kembali pada arloji berwarna emas di atas meja. Pertentangan dalam batinnya semakin menghebat. Tetapi jam tangan itu semakin kuat mengundangnya.

Pak Salman tiba-tiba sudah berada di depan meja tempat arloji berwarna emas itu tergeletak. Dia memandang ke seluruh penjuru angin. Tidak ada orang lain di ruangan itu. Cepat-cepat dia mengambil arloji berwarna emas dan secara kilat memasukkannya ke saku celananya. Dengan dada berdegup keras dia berbalik untuk cepat-cepat berlalu. Tetapi tiba-tiba pintu kamar depan terbuka. Dua anak muda muncul dan berteriak garang, "Maliiiing!"

Pak Salman kaget dan geragapan. Dia berbalik ke arah dapur, tapi dari sana muncul pula seorang ibu dan dua orang lelaki. Pak Salman betul-betul terkepung. Betapapun dia tidak ingin tertangkap. Dia nekat menabrak dua pemuda tadi, tetapi mereka terlalu perkasa baginya. Tangan Pak Salman tertangkap. Dia berontak dan terpaksa melayangkan tinjunya ke muka pemuda yang menangkap tangannya. Pemuda itu terhoyong-hoyong mundur. Namun tiba-tiba sebuah tinju yang amat keras bersarang di pelipis kirinya, disusul dengan tinju-tinju lainnya. Mata Pak Salman berkunang-kunang.

Secara samar-samar Pak Salman melihat beberapa orang memasuki rumah itu, dan bertambah banyak lagi. Mereka beramai-ramai mengeroyok dan menghajarnya. Untuk selanjutnya dia hanya merasakan pukulan-pukulan semakin gencar menghujani kepala dan tubuhnya. Bukan pukulan-pukulan tinju saja, tapi juga benda-benda keras dan amat keras menghujani tubuhnya. Kemudian dia ambruk. Kepalanya menghantam lantai dengan keras. Pandangannya menjadi gelap. Semakin gelap. Gelap sekali.

*

Di rumah sewanya yang kumuh, Mbok Kasmi gelisah. Sampai jam sepuluh malam suaminya belum pulang. Dia khawatir terjadi apa-apa dengan sang suami. Mungkinkah dia sudah mendapat pekerjaan dan malam ini harus kerja lembur? Syukurlah kalau begitu. Tapi bagaimana kalau dia mengalami kecelakaan di jalan? Atau mungkin dia bunuh diri karena putus asa? Mbok Kasmi semakin gelisah, sampai seseorang mengetuk pintu rumahnya, seorang polisi. Dia semakin khawatir saja.

"Ibu istrinya Pak Salman?" tanya polisi itu setelah duduk di kursi kayu. Mbok Kasmi hanya mengangguk.

"Apa kerja suami Ibu?"

"Menarik beca? Tapi sudah setengah bulan tidak bekerja. Becanya dijual sama yang punya," jawab Mbok Kasmi dengan sorot mata penuh tanda tanya. Polisi itu menatap Mbok Kasmi agak lama.

"Maaf, Bu. Sebenarnya saya tidak tega, tapi ini harus saya katakan pada ibu. Suami ibu meninggal di rumah sakit."

"Ha! A... apa? Suami saya mati? Oh...!"

Dada Mbok Kasmi bagai terpukul godam dengan amat keras. Jiwanya betul-betul terguncang. Pandangannya semakin kabur dan kacau. Kursi kayu yang didudukinya bagai bergoyang hebat. Dia tidak kuat lagi dan ambruk menimpa Pak Polisi. Pingsan!

Jakarta, 1980/2004

Sebelumnya: Balada sang Korban 1