Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Bursa Efek Jakarta, Suatu Senja

Cerita Pendek AM Lilik Agung

Bursa Efek Jakarta, Tower 2 lobi depan. Jam 7 pagi. Manusia-manusia global penghuni kompleks perkantoran masih terbenam di jalan raya. Hiruk-pikuk lalu lintas. TransJakarta yang penuh sesak. Three in one nan menyebalkan akibat dari sebuah metropolitan yang ketinggalan dalam sistem transportasi umum. Akhirnya menyisakan satu pilihan: macet di jalan atau berangkat pagi-pagi. Kupilih pilihan kedua, berangkat pagi-pagi. Lebih baik pagi datang ke kantor ketimbang dihajar kemacetan yang semakin luar biasa di Ibukota sebuah negeri elok bernama Jakarta .

Starbucks Coffee menyempil di Tower 2 lobi gedung Bursa Efek Jakarta. Jam 7 pagi. Ketika waiter pertama kali membuka pintu dan para barista masih sibuk dengan racikan kopi. Kakiku langsung memasuki gerai kopi anak kandung dari budaya global. Selalu begitu ritual pagi di Starbucks Coffee. Waiter membuka pintu, barista meracik kopi, aku duduk di kursi belakang sebelah kiri. Di bawah poster ' the world history of coffee ." Secangkir espresso ditemani sepotong pastry . Ah, betapa eksotiknya.

Lalu ritual pagi semakin eksotik ketika beberapa menit berikut muncul wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya: Anna Karenina Wijayanti. Nama yang mengingatkan aku pada novel besutan Tolstoy. Anna, namanya seindah parasnya, secerdas otaknya. Anna biasa memilih cappuccino. Kesukaan lainnya espresso macchiato. Dan kesukaan Anna yang lain lagi; duduk di hadapanku. Menyibakkan rambut sebahunya. Memperlihatkan dua antingnya. Menyeruput cappuccinonya. Lalu Anna mulai membuka bibir. Bercerita apa saja. Mulai dari urusan politik lokal, sastrawan peraih nobel, harga minyak dunia yang tidak pernah stabil hingga diskon celana di Plaza Senayan.

Seperti pagi ini. Blouse hitam berpasangan dengan celana panjang hitam. Sepatu berhak tinggi. Bau parfum estee lauder . Rambut dibiarkan tergerai sebahu. Secangkir cappuccino. Sepotong tiramisu. Anna menelanjangi wajahku.

"Matamu masih merah. Apa semalaman pikiranmu berkelana sehingga bantal tidak mampu menyelamatkan kantukmu?" Anna membuka ritual percakapan pagi.

" The Conch Bearer -nya Chitra Divakaruni. Membuat saya semalaman harus menyelesaikannya," kusebut buku terbaru karya sastrawati besar India . "Dua anak keturunan India - laki-laki dan perempuan - yang hidup di Amerika. Anak-anak imigran yang tidak tercerabut dari akar budayanya. Lalu Divakaruni membawa pembacanya ke dalam petualangan untuk belajar, menerima dan mengagumi budaya India. Sungguh luar biasa."

"Aku juga sudah melahap dua novel Divakaruni, Sister of My Heart dan The Mistress of Spices . Memang luar biasa tuh si Diva." Anna melahap tiramisunya. Diaduk cappuccinonya. Lalu dua teguk masuk ke mulutnya.

"Bukan hanya Divakaruni yang hebat. Prakash Rham juga luar biasa." Anna menyebut nama bosnya,"Saking hebatnya Rham, sampai-sampai perusahaan memberi dia rumah mewah di Permata Hijau dan Jaguar keluaran terbaru." Kali ini Anna menyindir bosnya. Alis matanya menaik. Tanda kata-katanya belum selesai. Kutunggu lanjutan kalimatnya.

"Tapi mau apa lagi. Kapitalis-kapitalis global itu tetap lebih mempercayai orang-orang Asia Tengah dan Asia Timur ketimbang manusia-manusia lokal. Yah nasib warga negara dari sebuah negeri yang eksekutif dan legislatifnya selalu berkelahi."

"Berkelahi itu bagian dari demokrasi, Saudariku. Apalagi demokrasi yang masih seumuran jagung. Tapi lumayanlah, ketimbang masa lalu. Legislatifnya mati di ketiak eksekutif," aku berucap. Cangkir berisi espresso kuraih. Kunikmati tiga tegukan. Pembicaraan kemudian beralih. Dari sastra menjadi politik.

"O ya, sekarang ada rumor ampuh yang ramai didiskusikan orang. Pemberantasan korupsi beserta produk-produk turunannya," kulanjutkan kalimatku, "Pembentukan komisi antikorupsi, kampanye polisi bersih, mengganyang mafia peradilan hingga memindah koruptor ke Nusakambangan."

"Terlalu banyak program, Bung. Satu saja, fokus; kampanye polisi bersih. Hong Kong 25 tahun lalu mirip negeri ini. Banyak koruptor. Bertumbuh preman-preman berdasi. Kolusi penguasa dan mafia. Sampai penyelundupan yang direstui. Tapi apa yang dilakukan pemerintah Hong Kong ? Fokus pada satu hal, mencetak polisi bersih." Anna menimpali.

"Analisismu luar biasa, kawan. Polisi Hong Kong sekarang merupakan polisi paling ramah di seluruh jagat."

Espresso tinggal sepertiga cangkir. Kulirik jam tangan. Angka-angka digital menunjuk ke 07.52. Segera kuteguk habis sisa espresso. Anna setali tiga uang dengan polahku. Disambar habis tiramisunya. Diteruskan dengan menenggak habis sisa-sisa capucinno. Kami berbarengan meninggalkan Starbucks Coffee. Menuju pintu lift . Terbenam di dalamnya. Di lantai 21 Anna meloncat keluar. Menuju kantornya. Enam lantai berikut, di lantai 27. Di sini kantorku.

Laptop kunyalakan. Jaringan internet kupasang. Memeriksa puluhan e-mail . Sebagian besar e-mail sampah. Sisanya e-mail yang layak dibaca dan dibalas. Setengah jam berikut, Tini, sekretarisku, membawa guntingan koran. Ada sepuluh kliping berita dan analisis. Semuanya tentang saham dan keuangan. Kuamati satu analisis. Kubaca judul tulisannya, "Merekayasa Laporan Keuangan: Tanggapan Atas Tulisan Agung Kusuma." Lalu kupelototi penulisnya, Anna K Wijayanti.

Anna, namanya seindah parasnya, secerdas otaknya. Menanggapi analisisku. Analisis tentang penggorengan saham yang dilakukan oleh perusahaan kliennya. Kuserang habis perusahaan klien Anna. Kutelanjangi intrik-intrik laporan keuangannya. Kubeberkan perkembangan nilai-nilai sahamnya yang nyaris tidak masuk akal. Pagi ini, gantian Anna membela habis-habisan kliennya. Bahkan pada tulisannya, aku disebut analis kacangan yang cuma mencari sensasi murahan. Lalu ditutup dengan kalimat pendek namun amat tajam. "Beginilah kalau tukang kayu mencoba menjadi pemain saham. Semua dianggap sebagai paku." Wow, luar biasa tanggapan wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya.

Selanjutnya: Bursa Efek Jakarta, Suatu Senja 2