Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Haji Dal

Cerita Pendek Edeng Syamsul Ma'arif

HAJI Dal menghembuskan asap kreteknya. Di beranda. Gelisah. Sudah tiga kali menunaikan ibadah ke Tanah Suci, tapi masjid di Kampung Dadap selalu saja sepi. Setiap salat Jumat shaf-shaf senantiasa kosong, terlebih pada hari-hari biasa. Lengang. Padahal, tak bosan-bosan, bersama Abah Haji Jamhur dan Surip, mengajak setiap orang untuk memakmurkan masjid Al Manzilah (nama ini diilhami oleh posisi Kampung Dadap yang diapit dua bukit), minimal setiap Jumat. Nihil. Tidak ada muka lain kecuali mereka bertiga di dalamnya, meski pengeras suara sudah diarahkan ke segenap penjuru mata angin, mengumandangkan azan pada tiap-tiap waktu salat.

Mulanya Haji Dal mengira, semakin sering dirinya pergi haji, orang-orang akan semakin tertarik untuk datang ke masjid. Haji Dal mengusap muka. Munafik. Selama ini ia telah melakukan dosa teramat besar. Menganggap haji adalah jabatan yang bisa dijadikan alat untuk memengaruhi orang-orang. Termasuk hartanya yang banyak dikeluarkan, semuanya mengandung pamrih. Bergidik Haji Dal membayangkan azab Allah yang teramat pedih. Segera ia berwudu.

Tekadnya, semua dosa harus ditebus. Ia berjanji, musim haji tahun ini akan berangkat lagi. Bukan untuk takabur, tapi untuk sebuah rencana besar dan berat, menyangkut kelangsungan hidup orang-orang di Kampung Dadap. Tak ada yang akan diberi tahu, juga Abah Haji Jamhur, gurunya yang telah sepuh. Hanya kepada Surip.

Ya, Surip. Kepadanya ia sangat percaya. Pembantu paling jujur yang pernah ditemui. Muazin fasih yang mengurusi segala kebutuhan hidup sehari-hari, setelah istri Haji Dal meninggal ketika wabah malaria mengganas di Kampung Dadap. Sedangkan anak, Haji Dal tak punya.

**

BEGITULAH Orang-orang Kampung Dadap selalu bergunjing. Terkagum-kagum memuji keberuntungan Haji Dal. Meski tak sekalipun datang ke masjid, haji adalah pangkat impian mereka. Memakai peci putih dengan harum zakfaron. Ke mana-mana mengurai tasbih berselendang sorban. Mustahil, kecuali Jibril salah alamat atau Roqib dan Atid lupa menghitung. Sejak dulu selalu begitu. Mereka memang bodoh. Meski fatwa seorang haji adalah hukum, tapi bukan hukum untuk datang ke masjid. Mendengar masjid mereka akan alergi, gatal-gatal, dan demam tinggi.

Sebenarnya, Haji Dal merasa tidak enak juga jika terus-terusan pergi haji. Seolah hanya dirinya yang mampu melakukan itu. Terutama pada Abah Haji Jamhur yang berulangkali menasihati agar biaya pergi haji itu lebih baik diberikan kepada yang lebih membutuhkan. Berbagi rezeki, kebahagiaan dan kemuliaan. Tapi siapa yang layak menerima? Orang-orang itu? Mana mungkin? Mereka memusuhi masjid. Kecuali Surip. Sayangnya, Surip selalu menolak tawaran untuk naik haji. Belum saatnya, selalu ia bilang begitu. Suatu saat mungkin sampai, katanya.

Tapi keputusan ini harus ditetapkan. Jika kedua tangannya sudah tak mampu lagi memperbaiki orang-orang, kenapa semuanya tidak dikembalikan kepada tangan mereka sendiri? Tekad Haji Dal sudah bulat, ia harus berani menantang risiko. Berat memang, terutama buat Surip yang akan dipercayainya.

Akan halnya di mata orang-orang Kampung Dadap, Haji Dal adalah panutan. Bukan semata karena sudah haji tiga kali, tapi mereka tak bisa menutup mata pada segala sesuatu yang telah mereka terima. Tak seorang pun yang datang ke rumah Haji Dal pulang dengan tangan hampa. Mereka meminjam uang untuk beli pupuk, alat-alat pertanian sampai kebutuhan hidup sehari-hari. Haji Dal tak segan memberikan pinjaman. Bahkan tak jarang merelakannya tanpa kembali. Orang-orang takjub. Haji Dal benar-benar memukau. Ia seorang dermawan sejati.

Itulah sebabnya, seluruh sawah, peternakan maupun ikan-ikan di kolam milik Haji Dal senantiasa aman dari ta-ngan-tangan penjarah atau maling pengganggu. Orang-orang Kampung Dadap akan dengan sigap menjaga dan membela segala sesuatu yang berhubungan dengan Haji Dal. Mereka berhutang budi. Tak ada iri, dengki apalagi menyimpan dendam. Tak ada celah untuk berbuat jahat atau khianat. Kecuali kepada masjid, mereka tak merasa berutang.

Hingga satu minggu menjelang keberangkatan Haji Dal, mereka sibuk mendirikan tarub. Ruangan di dalam rumah ternyata tidak cukup untuk menampung orang sekampung. Seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka akan mengaji selama satu minggu penuh. Mendoakan keselamatan dan kesejahteraan Haji Dal. Tak peduli mereka bisa mengaji atau tidak. Yang penting kumpul. Yang penting pulangnya bisa membawa berkat.

Mereka bersukacita, karena selama satu minggu tak perlu lagi mencangkul di ladang. Bingkisan bahan pangan dan sejumlah uang setiap habis mengaji, sudah lebih dari cukup untuk dimakan seluruh keluarga. Ibarat panen, mereka berbondong-bondong menghadiri kesempatan mahal ini.

**

Selanjutnya: Haji Dal 2