Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Keluarga R

Cerita Pendek Adek Alwi

WAKTU menyempurnakan segalanya. Memburai, mengacak, juga menatanya kembali. Tidak ada yang abadi. Juga di rumah seberang jalan itu. Dulu ada sembilan kepala, sembilan mulut, sembilan perut di rumah itu. Kami sebut keluarga R karena namanya semua diawali huruf R. Mulai Rus'ad, sang ayah; ibu, Rakena; lantas tujuh anak yang berleret susun paku: Ridwan, Rosmalia, Ruslan, Rustam, Rismun, Rusmin, dan Ramena.

Keluarga R dapat pula kita tandai dari kepala mereka yang terlihat lebih besar dari rata-rata kepala manusia, serupa jerangkong. Serta mulut menerowong seakan tak pernah mengatup, perut bagai tidak berlantai. Khusus Rustam yang sebaya denganku, dan Rismun sang adik, ditambah perangai balaku baruak alias nakal, rakus, bandel, kurang ajar tidak ubahnya beruk. Rusmin juga mulai mengarah perilaku itu, kendati masih tiga tahun. Apa saja dipanjat. Apa yang terlihat direbut, dipurukkan ke mulut. Ramena yang berumur beberapa bulan pun demikian. Tidak henti menggeliat, meliuk-liuk. "Lasaknya!," ujar ibu, tiap kali bayi serupa kera itu dibawa ibunya atau Rosmalia main ke rumah. Ditepuk-tepuk ibu pinggulnya tetapi Ramena tetap meliuk-liuk seolah terbuat dari karet.

Rustam dan Rismun, bukan cuma lincah memanjati tembok halaman belakang, bergayutan di pohon jambu, mangga atau pisang; juga menyusup masuk dapur, duduk mencangkung melihat ibu memasak. Tepatnya, mengamati yang dimasak ibu. Begitu yang dimasak diangkat dari penggorengan, mereka sambar. "Tunggu!," seru ibu, tidak jarang dengan menokok tangan keduanya. "Basuh tangan dulu!," Dua bersaudara itu terbirit-birit ke kamar mandi, sementara ibu menyendok dua piring nasi, sayur, sekerat ikan, atau kentang goreng balado.

Sedang lahap-lahap begitu kadang aku muncul. "Rustam! Rismun!" Keduanya tergeragap, menyeringai menampakkan taring dan gigi-gigi yang kuning. Dan selesai makan ngeluyur beriringan bak beruk kekenyangan. Lebih seru bila aku muncul saat mereka dicegah mencomot sesuatu. Selain kubentak, kusepak. "Rakus!," Keduanya lagi-lagi menyeringai, kabur, tetapi tak lama mencogok kembali. Ngehek benar!

Hanya saja, ibu dan ayah tak suka aku begitu. "Kenapa harus kasar dan marah-marah," tegur ayah. "Jangan biasakan dirimu dihuni rasa marah dan tidak suka kepada sesama!"

"Kasihan," ibu menambahkan. "Lagi pula, takkan mengurangi kalau kita beri."

Memang tidak mengurangi. Mangga atau jambu kami tetap lebat buahnya, dan yang diminta Rustam juga potongan potlot tidak terpakai, sisa hapusan atau buku tak digunakan. Ibu sesekali memberi pakaian bekas. Tetapi, jengkel terus aku menengok kepala bak jerangkong, mulut menerowong itu. Apalagi kalau bermain, tidak pernah Rustam tak membawa adik. Bila tidak Rusmin, ya, si Rismun. Keduanya sama, cuma nama saja dibolak-balik.

Satu-satunya yang meredam rasa gusarku, Rustam pintar di sekolah. Apa saja dijelaskan Bu Ainah langsung terperangkap dalam kepalanya yang besar, lekat bahkan berkembang biak di situ. Ia juga tidak pelit. Maksudku, kalau ada ulangan aku cukup mendesiskan "ssst" maka lembar jawaban dia dekatkan hingga bisa kusalin seutuhnya, hingga ke titik-koma.

Tetapi itu tetap tak membuatku cepat kaki ringan tangan disuruh ibu ke rumah seberang jalan itu; mengantar gulai, nasi, ubi, talas, keladi, pisang, serabi atau apa saja sebagai pengganjal perut. Ada saja alasanku, hingga adik atau kakak perempuan yang pergi. Sekembali mereka kasak-kusuk aku bertanya, "Bagaimana, bagaimana? Sedang mengapa mereka?"

"Menyanyi!"

"Menyanyi?"

"Menyanyi. Ngobrol. Tertawa-tawa!"

Itu lagi kebiasaan sekaligus keanehan keluarga R. Kumpul sore-sore, termasuk Pak Rus'ad dan nyonya, kemudian mengobrol, bernyanyi, tertawa-tawa, seolah tidak ada apa-apa.

Pernah, usai magrib, aku tak dapat mengelak disuruh ibu mengantar serantang makanan ke rumah seberang jalan itu. Memasuki halaman sudah kudengar suara-suara orang menyanyi, bercakap-cakap, diselingi gelak tawa. Lantas senyap, terhenti, waktu aku tiba-tiba mencogok di ambang pintu. Berpasang-pasang mata terpaku kepadaku. Persisnya, bawaanku. Kemudian Bu Rakena senyum-senyum menghampiri.

Pulangnya, iseng aku berbelok ke samping, dan diam-diam kulekapkan kuping ke dinding. "Mak, aku dulu Mak! Aku dulu!" Kalau tidak Rusmin, tentu Rismun. Bisa juga Rustam.

"Sabar, sabar. Semua dapat. Semuanya diberi."

"Tapi aku dulu Mak! Sejak siang aku belum makan!"

"Adik dan kakak-kakakmu juga. Nah, ini, makanlah!"

Sesampai di rumah kuceritakan semua, disertai rupa-rupa bumbu.

***

Selanjutnya: Keluarga R. 2