Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

ANGGOTA keluarga R kemudian lenyap satu-satu. Mula-mula Ridwan, anak pertama, yang suka senyum serta penyapa. Konon dibawa famili ke Jakarta. Menyusul Ruslan, ke Medan, juga dibawa keluarga. Di tempat kami wujud kekerabatan seperti itu. Mereka yang merantau, apalagi jaya, menjelma lokomotif penarik bagi yang lain. Jadi wajar bila Anda jumpa orang daerahku di mana pun kapan pun di pelbagai belahan dunia. Mereka pasti tidak sendiri di sana.

Lalu kepala keluarga, Rus'ad, lenyap. Tapi tak lama, sekitar lima-enam bulan. Barangkali penguasa tahun '66 juga berpikir, tak mungkin tukang gerobak seperti Pak Rus'ad ancaman bagi negara, sehingga ia dilepas kembali setelah di bui. Jika pun ikut-ikutan organisasi pasti agar lebih mudah dapat minyak tanah, sabun, atau gula; seperti ayah masuk koperasi.

Tetapi Pak Rus'ad tidak balik ke profesi semula pulang dari bui. Alih profesi jadi anak-ula , alias kernet lepas bus jurusan Bukittinggi --terkadang ikut bus ayah. Tubuhnya tambah kurus, kepalanya makin mirip jerangkong, keluar penjara. Dengan kondisi begitu bisa-bisa dia yang didorong gerobak disarati berkarung-karung beras, kelapa, minyak goreng, sayur-mayur, entah apa lagi. Masa itu, pedagang di kota kami mengandalkan gerobak bertenaga manusia mengangkut mata dagangan dari stasiun ke pasar atau sebaliknya. Sejumlah orang bergiat dalam jasa ini, tetapi tidak seorang pun bertubuh kerempeng dan berkepala besar bagaikan jerangkong.

Sementara itu, Rosmalia dan Rustam lenyap saat Pak Rus'ad di penjara. Rosmalia dibawa famili entah ke Dumai, Rumbai, Duri, tidak kuketahui. Yang tahu dan merasa kehilangan abangku, Zein. Selain sama-sama kelas satu SMA, sekelas pula, Zein ada hati pada Rosmalia. Itu sebabnya Zein oposan kami di rumah selain ibu dan ayah.

Tapi Zein berlebihan. Mati-matian dia bela keluarga R. Juga kelewat sensitif. Misalnya, kalau aku mengacungkan lidi sate kota kami yang terkenal sedap itu dengan menggoyang-goyangnya, Zein langsung membelalak. "Tidak baik begitu!" dia bilang. "Kalau rezeki Pak Rus'ad sebaik ayah tentu anak-anaknya sehat seperti kita!"

Rosmalia sebenarnya manis. Bahkan cantik, dengan kulit halus warna gading, suara dan senyum lembut, bola mata hitam-bulat tidak berputar-putar liar. Tapi seperti saudara-saudara serta orang tuanya, tubuh Rosmalia lurus saja, panjang, dan memang mirip lidi sate.

Ke mana raibnya Rustam diajak famili, tidak kuketahui. Mungkin ke Bandung , Semarang , Surabaya , sungguh tak terang. Aku juga tak bernafsu mengetahui. Sebagai kawan Rustam hanyalah mentimun bungkuk, ada tapi tidak masuk hitungan --kecuali ada ulangan. Selain itu, setahun setelah kepergiannya, tamat SD, giliranku lenyap dari kota kami. Ikut, sekaligus disekolahkan abang sulung yang sudah mandiri di Jakarta .

Hari-hariku selanjutnya sarat dengan kesibukan sekolah, kuliah, bekerja, lantas menikah. Keluarga R sesekali saja teringat. Misalnya jumpa relasi bernama Risman, Rasmin, Rismuji. Dan kalaupun ingat tidak merangsang tanya bila aku pulang sesekali ke kota kelahiran. Sampai satu hari tiga puluh tiga tahun sesudah kepergianku, mataku bagai terganjal tidak dapat berkedip menatap seorang pemakalah dalam suatu seminar di Bandung. Rustam Rus'ad, PhD ekonomi lulusan universitas kenamaan di Amerika Serikat!

Memang sulit dipercaya. Tapi ketika moderator membaca biodatanya, perlahan mataku berkedip lagi. Ia memang Rustam si mentimun bungkuk, keluarga jerangkong. Namun mulutnya tidak lagi menerowong. Dan meski bagian depan kepalanya botak bagai kepalaku, karena usia, kini tak mirip jerangkong. Malah serasi dengan tubuhnya yang bugar berisi, membuatku teringat kembali ucapan abangku Zein yang telah tiada, mati muda.

Kudekati dia saat rehat. Dan bila aku masih tertegun-tegun, Rustam langsung terbelalak. Sekejap kemudian didekapnya aku erat-erat. "Mandius! Mandius!” ujarnya dengan suara bergetar, dan serak. Kepada orang-orang yang terpana di sekitar kami, ia lalu berucap: “Saudara saya! Sahabat baik waktu kecil!" Alamak!

***

PULANG libur ke kota kelahiran bersama istri, anak-anak, dan calon menantu, kuceritakan pertemuan itu kepada ibu. "Jumpa aku si Rustam di Bandung," kataku.

"O, ya," balas Ibu. "Memang di Bandung dia. Abangnya si Ruslan sekarang di Batam, pengusaha hotel. Adiknya Rusmin, jadi dosen di Medan."

Betapa ajaib sang waktu memburai-burai nasib, sekaligus menatanya kembali. Kutoleh rumah seberang jalan itu melalui jendela yang lebar terbuka. "Siapa sekarang penghuninya?"

"Anak si Ridwan nomor tiga," sahut Ibu. "Si Ridwan pun kerap pulang setelah pensiun dari departemen luar negeri. Selalu singgah dia kemari."

Dari Ibu pula kutahu Rismun sudah meninggal dunia. Bukan jatuh dari tembok pekarangan kami, tetapi helikopter, pulang survei minyak di lepas pantai Pulau Pagai. Rismun insinyur perminyakan. Rosmalia istri wali kota di Sumatra. Dan ibu mereka, Rakena, bersama Ramena. Ramena sendiri, yang sejak kecil dibawa abangnya Ridwan ketika tugas di sejumlah negara Eropa, guru balet di Paris; menikahi pria bule, punya anak satu. Tentu bukan karena namanya serupa nama Rumania, atau orang-orang Eropa Timur.

"Senang hidup si Rakena itu sekarang, telah dua kali naik haji," ujar ibu. "Tapi Tuhan punya rencana lebih sempurna, buru-buru memanggil suaminya, seperti juga ayahmu."

Sebagaimana ayah, Pak Rus'ad telah wafat. Jauh lebih dulu dari ayah, kira-kira setahun sekeluar penjara. Walau lima-enam bulan saja di bui, agaknya tidak kuat batin dan tubuhnya yang tipis-kerempeng bak jerangkong menanggung derita.

Jakarta , 24 Juni 2005

Sebelumnya: Keluarga R. 1