Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Kalau Lelaki Itu Pulang...

Cerita Pendek Adek Alwi

Jika lelaki itu pulang ke kota kami, tidak akan dilihatnya lagi kakak duduk termenung di muka jendela, memandang gunung ataupun kejauhan tiada batas. Paman Jafar telah membawa kakak ke Pakanbaru bulan lalu dan ibu melepasnya dengan lega berurai air mata. ”Elok-elok di sana,” pesan ibu. ”Paman dan bibi akan menjagamu. Kau akan dimasukkan kerja. Engkau akan mengajar lagi nanti, Nak. Kau senang dapat mengajar lagi, bukan?”

Kakak diam saja. Hanya memandang. Lurus. Kosong, jauh. Lebih-lebih kalau duduk depan jendela. Angin kadang memburai-burai rambutnya sampai masai, namun kakak bergeming. Matanya terus menerawang ke cakrawala. Wajahnya tambah putih, kian lesi. Tidak jarang air matanya merambat sepanjang pipi. ”Kakak! Kakak!” adik-adik mengimbau, berlari mendekati, memeluk, serta menarik-narik tangannya. Kakak tak hirau.

Tetapi ibu terus bicara. Ibu bilang kami juga harus sering bicara dengan kakak, menyeru namanya. ”Tapi kakak diam saja,” kata adik-adik. ”Seperti tak mendengar.”

”Kakak mendengar,” ujar ibu. ”Dia sayang sekali kepada kalian.”

”Mengapa kakak tidak menyahut?” adik terkecil bertanya kepada Kak Lela.

”Kakak sedang malas bicara,” jawab Kak Lela. ”Ajaklah terus berkata-kata.”

”Malas bicara, seperti kalau aku ngambek?”

”Ya. Begitu.”

Sambil lambat-lambat menyisir rambut kakak yang sepinggang ibu berucap, ”Ai, ai, harum dan bagus sekali rambutmu, Mariani. Ikal. Legam. Ah, tidak elok kita terus mengenang yang sudah-sudah sampai rambut tak terurus. Itu, paman dan bibimu tiba, Nak. Salamilah paman dan bibimu.”

Kakak tetap tidak beringsut. Sudah lama kakak serupa patung hidup. Sejak dia tidak jadi mengajar, disusul perginya lelaki itu sembari mengembalikan cincin belah-rotan, tanda pertunangan—tak lama sesudah ayah ditangkap kemudian lenyap entah di mana dan di tangan siapa.

Orang terlalu banyak saat itu mengurung rumah. Membawa ayah. Seolah-olah beliau orang penting, padahal hanya masinis kereta api. Bukan kepala stasiun. Apalagi pengurus ataupun ketua organisasi buruh DKA. Sedang kami hanya bisa memandang, bertangisan. ”Ayaaah! Ayaaah!” kakak meraung-raung mengimbau, tetapi ayah tidak terjangkau. Raib dalam kerumunan manusia yang gemuruh. Paman Jafar yang pulang setelah kejadian itu juga mencari, namun ayah tetap tidak dapat dicari. Sampai kini.

”Baru pekan lalu kuterima surat Kakak,” kata Paman Jafar seperti minta maaf. ”Payah hubungan pos sekarang. Lambat. Aku tidak dapat pula cepat-cepat berangkat, izin dulu ke komandan.”

”Jalan pun buruk, Kak. Berlubang-lubang,” istri paman menambahkan.

”Paham aku itu,” balas ibu mengangguk, lalu menoleh kepada kakak. ”Begitu keadaannya, lihatlah.”

Istri Paman Jafar menghampiri kakak. ”Tapi mau dia makan, Kak?”

”Mau. Disuapi.”

”Disuapi?” Bibi senyum memeluk bahu kakak. ”Disuapi engkau Mariani, anak rancak? Eh, kenapa keningnya ini?” Senyum bibi tiba-tiba lenyap.

”Anak-anak nakal itu,” sahut ibu. ”Tapi tidak dalam. Sudah kering sekarang.”

”Terlalu! Tengoklah, Bang!”

Mendengar ibu menjerit melihat darah muncrat di jidat kakak, aku melesat ke luar rumah. Kuburu anak-anak itu. Ada empat orang, sama besar denganku. Langsung kutumbuk hidung anak terdekat. Dia melengking, berdarah-darah. Yang lain siap-siap menyergap. Tapi seorang terjerembab saat lututnya kusepak. Lantas ku-nyanyah pula mukanya hingga lumat. ”Kalian lukai kakakku! Kalian lukai kakakku!”

Orang-orang berhamburan memisahkan. Ibu-ibu menceracau, berteriak-teriak. ”Dasar kurang ajar! Anak tidak tahu diuntung! Tukang berkelahi!”

”Maling mangga! Pembuat onar! Pembawa sial!”

”Mereka yang salah,” kubilang. ”Mereka lempar kakakku dengan batu.”

”Bohong! Dasar pencuri jambu! Anak Gestapu!”

Melihat puting susu perempuan itu terjuntai panjang dan hitam belum dibenahi sehabis menyusui, kubalas berteriak, ”Kau ibu anjing!” Plak! Tubuhku terhuyung ke belakang. Hampir terjengkang. Kepalaku nanar. Kuping mendenging. Seorang lelaki membelalak garang di depanku, mengibaskan tangan bagai mengusir anjing. ”Pergi!”

Bibi merebahkan kepala kakak di dadanya. Membelai-belai rambut dekat luka. ”Masih rajin engkau mengaji, Mariani? Nanti mengaji, ya. Bibi ingin mendengarmu mengaji. Pamanmu juga.” Tidak berjawab. Hanya bulu mata lentik kakak mengerjap-ngerjap. Kemudian air matanya membersit lambat-lambat, bagai rembesan pada panci rusak.

Selanjutnya: Kalau Lelaki Itu Pulang... 2