Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

”Lepaskan, Nak. Tumpahkan terus. Menangislah keras-keras!” ujar bibi masih tersenyum. Kakak terisak. Bahunya bergerak-gerak. Adik-adik dan Kak Lela berlarian mendekat. ”Kakak! Kakak!” Mereka rangkul tangan dan tubuh kakak. Kakak tersedu-sedu dalam pelukan bibi.

”Maulud Nabi kemarin sudah tak disuruh orang dia mengaji,” kata ibu seperti berbisik kepada Paman Jafar.

”Buya Nawawi juga tidak menyuruh?”

”Dia tetap. Sengaja buya tua itu kemari. 'Siapa pula anak gadis sefasih engkau mengaji Mariani, ia bilang. Mengajilah saat maulud, sebagai biasa'. Tapi yang muda-muda menolak. Sekarang orang-orang muda berkuasa di surau. Katanya, ingin bersih-lingkungan.”

Paman Jafar melempar pandang ke luar rumah. Sebuah bendi lewat di muka rumah, penumpangnya tak menengok. Paman kembali melihat ibu. ”Sebaiknya Kakak ikut denganku ke Pakanbaru,” dia bilang.

”Bagaimana aku bisa pindah, Jafar,” jawab ibu. ”Rumah ini bagaimana.”

”Jual.”

”Ei, siapa bersedia membeli rumah yang penghuninya dianggap serupa hama !” Ibu tersenyum masam. ”Diberi cuma-cuma atau ingin merampas, banyak, Jafar. Tapi aku yang tak rela!”

Adik ibu itu terdiam. Menyulut rokok. Melihat pula ke luar. Orang-orang tetap lewat di muka rumah, tak menengok. Hanya melirik jip hijau Paman Jafar di halaman.

”Sstt!” ucap bibi perlahan. ”Tidur.” Berbisik pula pada adik-adik, ”Ambil bantal, selimut!” Lalu dia rebahkan kepala kakak hati-hati. Dia luruskan kakinya. Diselimuti.

Saat tidur begitu muka kakak persis bayi. Bersih. Polos. Tak sedikit pun tersisa galau yang mendera: ayah yang lenyap, diputus tunangan, ditolak jadi guru. Padahal, sudah tiga bulan ia mengajar, menanti pengangkatan. Berangkat gembira di pagi hari. Juga siang, sewaktu pulang. Dan terkadang terdengar riang menyanyi di kamar mandi: tak ' kan lari gunung dikejar/ hasrat hati rasa berdebar…. Atau diajaknya adik-adik, aku, Kak Lela berdoa, supaya ayah lekas kembali—entah dari mana.

Lalu, penolakan jadi guru itu tiba suatu hari, serupa badai. Karena status ayah. Dan laki-laki itu muncul di suatu petang, berwajah dingin memulangkan cincin belah-rotan. Juga karena status ayah, meski tak diucapkan. Tetapi, dia maupun keluarganya selalu lewat di depan rumah dengan dagu terangkat pongah, saat kakak mulai terbiasa duduk di muka jendela. Kemudian lelaki itu memang tidak terlihat lagi. Kata orang ia sudah merantau ke Jakarta. Sementara kakak semakin betah di muka jendela, menatap kejauhan tak berbatas.

”Sudah ke mana-mana kuobati,” kata ibu, memandang paman serta bibi penuh harap. ”Belum juga ia berubah. Ada kira-kira dokter di Pakanbaru dapat menangani?”

”Ada!” Paman dan bibi menjawab serempak. ”Tenanglah Kakak,” lanjut bibi. ”Kalau perlu kami bawa ke dokter Caltex. Sesekali kubawa pula ke sekolah. Kawanku membuka sekolah taman kanak-kanak.”

”Kukhawatirkan justru Kakak,” ulang Paman Jafar. ”Ikutlah ke Pakanbaru!”

”Tak perlu khawatir, Jafar,” balas ibu. ”Tidak semua orang jahat atau bernafsu mengucilkan. Lagi pula, bila aku pindah, bagaimana kalau abangmu pulang? Ke mana dia cari kami? Walaupun sudah setahun lebih, belum pupus harapanku abangmu bakal pulang. Paling tidak, tahu keberadaannya. Bagaimana keadaannya. Bila mati di mana berkubur….”

Kakak terus tidur di beranda, tak bergerak-gerak seperti bayi. Napasnya lunak. Kulitnya bersih. Putih. Apa gerangan terlintas di pikirannya sehingga mukanya begitu bersih dan tenang? Apakah dalam tidurnya dia bertemu ayah? Di antara kami kakak paling dekat dengan ayah. Barangkali karena perempuan, putri sulung; tapi tangannya campin pula, terampil-cekatan menangani rumah. Ayah bangga dengannya, berharap kakak jadi guru tamat SGA. Sedangkan Kak Lela diharapkan menjadi perawat, kalau cukup biaya.

”Kakek-nenek kalian guru. Mestinya ayah juga. Tetapi malah juru-api kereta api.” Ayah tertawa suatu ketika. ”Syukur ada kakak kalian, ya?” Kami mengangguk, turut bangga walaupun kakak waktu itu baru kelas satu Sekolah Guru Atas.

”Rencanaku besok kembali,” ucap Paman Jafar. ”Kubawa Mariani sekalian. Tugasku menunggu. Di Pakanbaru juga kacau keadaan.”

Ibu mengangguk-angguk. ”Terpikir olehku, Dik,” ujarnya kemudian. ”Apa tak berbahaya buatmu kalau orang tahu status ayah Mariani?”

”Tidak!” Paman menggeleng keras-keras. ”Komandanku tahu. Dia kawanku, Kak. Anak Ampek Angkek.”

Ibu bernapas lega. Besoknya, kakak dibawa paman dan istrinya. Ibu menangis. Kami juga. Rumah jadi lengang—lengang sekali. Kakak telah pergi. Tidak lagi berada di tengah-tengah kami. Dekat kami. Tapi, kalau laki-laki itu pulang suatu hari, dia pun takkan melihat kakak lagi termenung di depan jendela, memandang gunung ataupun kejauhan tiada batas. Tidak dapat lagi dia atau keluarganya mengangkat dagu dengan pongah bila lewat di muka rumah.

Sekali waktu lelaki itu pasti pulang ke kota kami; tak mungkin tidak. Juga lalu di muka rumah. Tidak ada jalan dapat dia lalui untuk tiba di rumah ibunya, kecuali dia buat jalan sendiri dengan meruntuhkan Bukit Tambun Tulang serta menimbun Lurah Situngka Banang—sesuatu yang amat mustahil. Tetapi, mungkin juga bukan mustahil bila hatinya semakin dingin serupa penguasa-penguasa lalim yang dengan telunjuknya dapat membelok-belokkan apa saja. Termasuk jalan hidup anak manusia, seperti ayah, kakak, atau kami yang kehilangan mereka. ***

Jakarta , 30 Juli 2005

Sebelumnya: Kalau Lelaki Itu Pulang... 1