Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Mayat-mayat bergelimpangan seperti rongsokan. Bau sengat yang mengundang kerumunan lalat menggunduk di setiap setiap tempat. Tapi Abdullah tak hiraukan itu. Matanya yang berpijar merah melata, susuri setiap mayat yang bergelimpangann itu. Tangannya mengorek satu demi satu mayat yang terhampar di kakinya.
''Ia tak ada di sana !''
Ibunya berseru. Rambut peraknya berkeriyap dihembus angin. Abdullah tidak ingin mendengar. Kakinya terus ia seret.
''Pulanglah, Abdullah. Maka kau akan menemukannya,'' suara ibunya memanggil lagi. Langkahnya makin melata. Seluruh sendi-sendi kakinya bergetar, merambat ke engsel tubuhnya. Tapi Abdullah tak mau mengalah pada keadaan tubuhnya. Ia seret kakinya dengan sisa tenaga. Jalan ibarat pasir yang menusuk luka di tubuhnya. Serakan mayat itu masih bergelimpangan di kanan-kiri. Halangi langkah tubuhnya yang makin ringkih. Mata-mata mereka membuka. Seperti hendak menyampaikan pesan pada Abdullah.
''Sudahlah, Abdullah. Pulanglah ke rumah.''
Abdullah singkirkan suara-suara itu dari udara. Langit menjadi-jadi bekunya. Hanya ada suaranya yang mengapai-gapai udara. Ia hampir kehilangan keseimbangan ketika kaki kanannya menabrak tubuh yang membujur. Tubuhnya mencoba menahan lengkung badannya yang hampir jatuh ke tanah. Tapi bumi seperti ingin memeluknya dan merengkuhnya. Berat badannya condong ke tanah.
Bunyi berdebam memecah sunyi ketika tubuhnya yang labil menimpa mayat itu. Mata yang putih. Seperti daun jendela yang membuka lebar. Menyeret Abdullah masuk dan terhisap ke dalamnya. Mata yang berkata. Mengapa kau tak yakin ini semua, Abdullah. Kemana kau campakkan imanmu itu. Pulanglah. Kembalilah ke rumahmu.
Abdullah menggeram.
Diamlah. Semuanya sudah kosong. Hambur oleh angin yang membawa pergi. Hanya satu yang masih tersisa. Aku sedang mencarinya dan ingin membuktikan keberadaan-Nya. Jadi singkirkan kakimu, hai mayat yang tak punya rasa. Tak ada yang dapat menghalangi langkahku.
Dengan menahan sakit pada tangan kirinya yang menimpa aspal kasar, tangan Abdullah menjangkau tongkat kayu dengan tangan kanannya. Ketika tumpuannya telah kukuh, Abdullah menaikkan tubuhnya ke atas. Begitu susah payah ia menegakkan tubuh. Tapi siapakah yang bisa mengalahkan kekerasan hatinya?
Setelah tubuhnya tegak seimbang, Abdullah menendang mayat itu. Ia injak dengan kaki kanannya yang masih menyimpan tenaga. Lalu mendengus.

Jalan yang ditempuh Abdullah makin menyempit dalam pandangan matanya yang kelabu. Tapi ia terus berjalan. Beberapa depa di depannya, Abdullah tersentak. Masjid Baiturrahman masih berdiri tegak. Seperti mercusuar tinggi di tengah lautan puing-puing yang menyerak. Warnanya yang putih pantulkan kilau matahari ke seluruh padang yang luas. Padang mahsyar.
Abdullah semakin kebut langkahnya. Seperti roda, kakinya yang pincang bergerak cepat. Ia berlari. Seperti kuda sembrani yang melintas di permukaan laut yang tenang.
''Mau kemana engkau, Abdullah?''
Abdullah tak menjawab. Ia terus seret langkahnya. Menekan gemuruh yang berputar dahsyat di kepalanya. Adakah Engkau di sana? Dadanya bergetar hebat. Sudah habis air matanya sejak berhari-hari lalu. Tapi apa yang ada di dadanya ini? Begitu hebat guncangannya, begitu keras gemuruhnya. Ketika tak ada lagi yang bisa menahannya, Abdullah meraung hebat. Seluruh persendiannya patah dan lunglai. Ia terjerambab dengan tubuh kehilangan daya. Dan terduduk di teras masjid dengan mata yang buta. Dengan tubuh yang tergugu. Adakah badai yang lebih besar dari ini, Ya Allah? Abdullah menangis. Hatinya basah.
''Apakah engkau menemukannya, Abdullah?'' Suara yang jauh meruapi telinganya.
Dagu Abdullah mengangguk makin hebat. Air mata menggenang di wajahnya. Membasah di janggutnya yang tipis. Seperti kilau minyak zaitun. Tak sanggup gelombang suara keluar dari kerongkongannya yang tercekat. Hanya lirih yang mengisi udara.
''Bagaimana mungkin, bukankah matamu telah buta, Abdullah?'' Suara yang lembut menghunjam dadanya.
Air mata Abdullah makin menderas. Tubuhnya lumpuh. Tak kuat menahan guncangan yang kuat dalam dadanya. Matanya memang telah buta. Sejak gelombang pasang itu meraup seluruh hidupnya. Ia tak melihat apa-apa lagi. Tapi air mata yang membasuh hatinya membukakan semua pintu yang terkatup.
Ia seakan melihat istrinya, ibunya, bapaknya, dan Ibrahim anaknya melambaikan tangan ke arahnya. Lalu di sebelah-sebelahnya, tetangga rumah, teman sesama nelayan. Senyum mereka merekah. Ikhlas. Seperti kuntum-kuntum embun yang membeningkan pagi. Lalu perlahan semuanya mengabur serupa kabut yang membias di fajar subuh.
Suara adzan menyayat telinganya. Abdullah merasa tubuhnya melayang dalam udara. Menyatu dalam ruang hampa. Ketika tersadar, ia melihat tubuhnya bersimpuh di depan mihrab masjid. Begitu kecil. Dan tanpa daya.***

Depok, 3 Januari 2005

Sebelumnya: Mata yang Berlabuh 1