Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Daging di Meja Makan

Cerita Pendek M. Arman AZ

JALAN-JALAN sepanjang kota itu menempati ruang istimewa dalam hati Sumarno, begitu juga sebaliknya.. Berpuluh tahun dia jadi saksi perubahan zaman yang terjadi di kotanya. Andai saja tiap ruas jalan itu punya jemari, tentu nama Sumarno akan mereka catat dengan tinta emas lalu di bingkai dalam sejarah. Tapi apalah artinya jelata seperti Sumarno, yang kaumnya cuma bisa pasrah dan tabah ketika dijadikan tumbal oleh para penguasa.

Sebagai tukang sapu jalan, dia cukup tahu diri untuk membusungkan dada atau mengabarkan pada setiap orang bahwa ia adalah pahlawan. Lelaki tua berbadan kecil, bungkuk, ringkih dan mulai sakit-sakitan itu hanya percaya bahwa sebagian besar kenangan tentang pergulatan hidupnya telah disumbangsihkan untuk jalan-jalan yang hingga saat ini tak seluruhnya mampu ia ingat namanya.

Pagi buta. Sumarno sudah siap menjalankan rutinitas sehari-hari. Dengan senjatanya: sapu lidi, karung goni kumal, dan seragam yang sudah tidak layak membungkus tubuh; Sumarno bak serdadu yang siap bertempur ke medan perang. Dia pergi diam-diam tanpa pamit pada istri atau anak-anaknya. Tak tega ia membangunkan mereka. Biarlah anak beranak itu tersenyum dalam mimpi indahnya masing-masing, sebab cuma tinggal mimpilah yang bisa mereka miliki secara gratis.

Berjalan menyusuri kota yang masih pulas, Sumarno ingat kemarin ada demo lagi. Ribuan orang tumpah ruah di jalan. Entah apalagi yang mereka tuntut. Bagi Sumarno, usai pesta rakyat itu berarti tumpukan sampah berserak di mana-mana, dan dia bertanggung jawab membersihkannya. Sumarno pernah ngedumel. Apa mereka tidak sadar kalau ulah mereka membuat bebannya tambah berat? Tapi siapa yang peduli pada Sumarno. Apalah artinya keringat tukang sapu jalan, dibanding niat tulus para demonstran yang, konon, demi masa depan bangsa. Toh, sampah-sampah itu tetap harus dilenyapkan. Atasannya pernah memuji peran Sumarno dan rekan-rekan seperjuangannya. Karena jasa merekalah kota itu bisa mempertahankan Adipura untuk kelima kalinya.

Meski cuma tamatan SD, Sumarno tahu lingkungan kotor membuat hidup tak nyaman. Apa jadinya kota yang hiasi sampah? Para pejabat pasti malu bukan kepalang kalau turis-turis bule yang mampir menganggap sampah sebagai ciri khas kota itu. Sumarno pun maklum kalau sampah jadi barang haram di kota itu. Tapi Sumarno manusia, bukan robot atau binatang. Dalam tubuhnya ada jiwa dan hati nurani. Maka, dalam hati sering dia memaki, ‘'Apa pejabat-pejabat itu juga ngerti kalau aku ini orang miskin? Yang aku butuhkan itu uang! Bukan pujian! Bukan penghargaan! Aku perlu uang, untuk mengganjal perut anak istriku! Heh, apakah mereka itu manusia juga?''

***

SUMARNO duduk terpekur di trotoar jalan. Dia ingin istirahat barang sejenak. Sudah ratusan meter dia menyapu jalan. Keringat menyembul satu-satu dari pori-pori kulitnya. Gelas plastik, koran, bungkus nasi, poster-poster, bungkus rokok, dan spanduk-spanduk, masih bertaburan di depan matanya. Di mana para demonstran itu sekarang? Mereka pasti masih ngorok ditemani mimpi-mimpi muluk tentang negeri mereka. Omong kosong mereka semua itu! Batin Sumarno memaki di antara dengus nafasnya. Semenjak sang raja di depak jatuh, kiai jadi presiden, sampai kaum hawa jadi penguasa, toh nasib tukang sapu tidak bergeser sesenti pun. Aku tetap orang kere, pikirnya.

Entah dari mana datangnya, kesadaran Sumarno membentur sekelumit kenangan masa kecil di kampungnya dulu. Almarhum Emak selalu mengingatkan Sumarno untuk selalu bangun pagi. ‘'Biar rezekimu tidak di patuk ayam,'' begitu kata almarhum emaknya.

Membandingkan nasehat itu dengan kondisinya saat ini, Sumarno tersenyum getir. Dari dulu sampai sekarang, dia memang tidak pernah telat bangun pagi. Dia malah sering bangun lebih cepat dari kokok ayam. Tapi, kalau soal rezeki, kenapa dia selalu kalah cepat dengan binatang bertaji itu?

Sejak dulu hingga zaman —yang kata orang-orang— reformasi ini, Sumarno tetap seorang kacung yang gajinya mentok untuk makan seminggu. Untuk makan selanjutnya harus diperjuangkan sendiri. Jadi makelar, pesuruh, atau apa saja asal menghasilkan uang halal. Untung istri dan empat anaknya bukan tipe manusia yang banyak menuntut. Giyarsih, istrinya, jadi tukang cuci di perumahan dekat gubuk mereka. Upahnya lumayan. Keempat anak yang masih kecil-kecil itu pun sudah ditempanya jadi manusia yang gagah menghadapi kemelaratan. Si Mardi, putra sulungnya, jadi penjual koran setelah putus sekolah. Sementara Barkah, anak kedua, tak pernah mengeluh meski jadi penyemir sepatu. Mungkin dua anaknya yang lain, Sumiati dan Lestari, bakal menyusul jejak kedua kakak mereka lulus SD nanti. Bisa baca tulis saja sudah cukup, biar kelak tidak gampang di kelabui orang pintar.

Begitulah, anak beranak itu jadi tulang punggung bersama keluarganya. Setiap malam, uang hasil memeras keringat itu disatukan dan esok paginya dibelikan beras serta lauk pauk ala kadarnya. Tak pernah ada menu daging di meja makan itu. Kalau lebaran tiba atau tetangga sedang ada kenduri, barulah mereka bisa merasakan makan enak. Di sela-sela kesedihan, mereka masih bisa tersenyum jika melihat salah seorang di antara mereka meneteskan air liur dari ujung bibir, lalu menghisapnya lagi dalam-dalam, saking menikmati sepotong daging yang demikian lezatnya.

***

DARI hari ke hari, kehidupan di kota itu semakin bertambah kejam. Kekerasan yang terjadi di tiap sudut kota dan menyebar hingga pelosok negeri adalah hantu yang tak lagi ditakuti. Pembunuhan, perampokan, perang saudara, pertikaian antar elite, dentuman bom, dan rentetan peluru, sudah dianggap klise. Semua orang seperti sepakat bahwa kekerasan tak ada bedanya seperti menonton telenovela, kuis, atau sinetron yang mengumbar kemewahan.

Aroma kekerasan yang mengepung negeri itu pun menyergap keluarga Sumarno. Lewat televisi hitam putih, satu-satunya aset berharga milik mereka, anak beranak itu terbiasa di suguhi berita kekerasan yang up to date. Anak Sumarno akan berdecak kagum ketika melihat berita demo-demo yang berujung adu jotos. Kekaguman mereka bakal bertambah tensinya begitu melihat darah berceceran di mana-mana. Sumarno dan istrinya tak ketinggalan. Ketika menyaksikan mimik pengungsi yang kebingungan sambil menangis, atau sosok politikus yang sedang berkicau merdu dan nyaring, mereka selalu tertawa terbahak-bahak. Di mata mereka adegan itu sungguh menggelikan.

***

Selanjutnya: Daging di Meja Makan 2