Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

EMBUN menari-nari di tiup angin. Di bawah siraman cahaya lampu merkuri, sesekali Sumarno menikmati pemandangan itu sambil menyapu jalanan. Sejenak dia lupakan keluh istrinya semalam karena belum dapat uang cucian. Belum lagi si Mardi yang demam dan kini tergolek lemah di kamarnya. Persediaan beras memang masih cukup untuk seminggu. Tapi, apakah mereka akan makan nasi tanpa lauk sama sekali?

Tiba-tiba Sumarno merasa aneh dengan tempatnya berpijak. Dia merasa berdiri di atas genangan air. Padahal seingatnya kemarin hujan tak turun. Di dorong rasa penasaran, kepalanya menunduk, mengamati apa yang sedang diinjaknya. Begitu menyadari benda apa yang mengepungnya, Sumarno melompat kaget. Beat-beat jantungnya tak lagi berirama. Ada sesuatu dalam tubuhnya yang merayap ke ubun-ubun dan membuatnya menggigil sesaat.

Darah. Merah. Kental. Di mana-mana.

Sumarno telah menginjak gumpalan darah kental yang mulai mengering. Belum habis keterkejutan Sumarno, seekor anjing buduk hitam melenggang santai di depannya. Di mulut anjing itu tergantung benda bulat yang bergoyang ke sana-kemari. Sebutir kepala manusia!

Refleks, pandangan Sumarno menyebar. Dia tertegun lama, menyaksikan pemandangan yang menikam matanya. Sungguh menakjubkan! Ada puluhan, bahkan mungkin ratusan, kepala-kepala manusia berserak tak karuan. Di dekat tong sampah, di depan toko, di jalan raya, di halaman rumah ibadah, di mana-mana. Dilatari darah merah kental. Menggelinding ke sana ke mari di sapu angin pagi. Kepala-kepala aneka bentuk dan ukuran itu telah berpisah dengan tubuhnya tanpa sempat mengucap kata perpisahan.

Anehnya, kali ini Sumarno tidak terkejut lagi. Barangkali rasa kagetnya sudah habis. Tapi, sungguh, kelakuan anjing hitam tadi telah membuat Sumarno keki. Keterlaluan! Sepagi itu seekor anjing telah mempermalukannya. Binatang itu begitu mudah mendapatkan daging segar untuk sarapan pagi. Batin Sumarno melolong. Oh, anak istriku, maafkan segala kehinaanku.

***

KALAU ada keluarga yang paling berbahagia di muka bumi malam itu, keluarga Sumarnolah yang merasakannya. Sayup-sayup, terdengar tawa anak-anak Sumarno dibawa angin. Melesat ke langit malam. Perlahan-lahan, bulan tertutup awan. Sayup-sayup terdengar tangis serigala yang menyayat-nyayat. Tumpang tindih dengan kegembiraan keluarga Sumarno.

Akhirnya mereka bisa makan enak. Benar kata orang, datangnya rezeki kadang tak terduga. Malam itu di meja makan telah terhidang menu istimewa: sup daging. Sumarno sudah lupa kapan terakhir kali dia bertemu menu seperti itu. Sekarang tibalah saatnya melunasi dendam pada kemiskinan.

Sendok garpu beradu dengan piring. Suaranya berdenting-denting. Giyarsih memang istri yang adil. Setiap orang diberi semangkuk sup sama rata. Tak ada cemburu. Tak ada protes. Keadilan masih tersisa di rumah itu.

Tiba-tiba, anak beranak itu tertawa ketika si bungsu Lestari, meneteskan air liur dari ujung bibir lalu menghisapnya lagi dalam-dalam, saking menikmati sepotong daging.

‘'Kenapa? Enak, ya?'' tanya Giyarsih.

‘'Nggak enak. Susah dikunyahnya,'' jawab Lestari lugu, sambil mengembalikan potongan kuping manusia itu ke dalam mangkuknya. Derai tawa lagi-lagi bergema. Suaranya disusul lolong serigala yang sayup-sayup entah dari mana asalnya.

‘'Ini, tukar saja dengan punya Emak''.

Sendok Giyarsih tenggelam ke dalam mangkuknya. Sekejap kemudian keluar lagi. Sebuah benda seukuran bola pingpong mengambang dan bergoyang-goyang di atasnya. Sebutir mata manusia. Lestari mencomot, melesakkannya ke dalam mulut, dan mengunyahnya seperti mengunyah permen bon-bon. Matanya terpejam-pejam. Sungguh nikmat.

***

MALAM itu mereka bisa tidur nyenyak tanpa perut melilit-lilit. Tapi Sumarno belum bisa memicingkan mata. Dia masih menikmati rasa bangganya menjadi kepala keluarga yang bisa membahagiakan anak istri. O, beginilah rasanya jadi lelaki yang bertanggung jawab. Ia tersenyum. Suara serigala melolong-lolong di kejauhan ketika Sumarno menguap.

Sumarno merebahkan badan di dipan kayu. Mendadak dia ingat berita yang ditayangkan di televisi. Ada sebuah bom meledak di pusat kota tadi siang. Puluhan orang mati dengan tubuh cerai berai, ratusan lainnya luka-luka, gedung-gedung jadi puing, dan banyak mobil mewah disulap jadi arang.

Sumarno hafal jalan ke lokasi pemboman itu. Dia biasa menyapu jalan di sana. Sumarno berniat, besok pagi-pagi sekali, dia akan berangkat ke sana. Menyisir tempat itu dengan sapu lidinya. Harus lebih hati-hati kali ini, pikirnya. Siapa tahu masih ada kepingan-kepingan tubuh manusia yang tercecer di sekitar tempat itu dan bisa dibawanya pulang. Terbayang di pelupuk matanya, sarapan pagi dengan menu semur daging panas terhidang di meja makan. Aromanya mengepul mengundang selera. Lalu disantapnya menu itu bersama-sama. O, gurihnya daging manusia!

Di ujung kantuknya, Sumarno berdoa dalam hati, semoga kebiadaban di negerinya tak pernah berakhir, agar keluarganya bisa turut merasakan nikmatnya memakan sesama manusia.***

Bandarlampung, 2002

Sebelumnya: Daging di Meja Makan 1