Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Sebab Nek Yam Sudah ke Jakarta

Cerita Pendek Alimuddin

Sudah dari dulu niat sungguh-sungguh itu terbesit di benak Nek Yam -- ingin sekali mengunjungi Jakarta .
Tak tahu Nek Yam sebabnya apa. Entah jin apa pula yang telah membisikkan hasrat itu. Yang jelas, keinginan itu kian menggebu saja tiap malam dan siang bertukar.
Jakarta menurut bayangan Nek Yam adalah kota yang sangat indah. Seperti yang kerap disaksikannya pada teve si Syam, tetangga dekat rumahnya -- malam hari penuh terang dengan lampu-lampu cantik terpajang di sepanjang jalan. Pun gedung-gedung yang tingginya seratus kali, malah lebih, dari gubuk reotnya.

Berharap sekali Nek Yam dapat merengkuh indah itu. Ingin kakinya terjejak di tanah Jakarta itu, meski cuma sekali selama masa hayatnya.
Sayang tapi, niat itu tak pernah terwujud. Apalagi kini kondisinya sebatang kara setelah ditinggal mati suaminya tujuh tahun lalu. Angan itu laksana pungguk rindukan bulan. Semasa ada suaminya pun, angan itu tak sanggup terjelma, apalagi tanpa lelaki itu kini.
Namun, lintas hidup seorang manusia tak dapat diterka oleh siapa pun. Nek Yam tak pernah menyangka jikalau hasratnya itu bisa terkabul juga akhirnya. Manakala usianya kian uzur pula.

Kala itu, tanah kelahiran Nek Yam, Tanoh Seuramoe Mekkah, ditimpa bencana teramat dahsyat. Banyak orang menyebutnya

'tsunami'.
Tsunami adalah air bah hitam yang berarus kuat dan mempunyai ombak yang sungguh tinggi. Cerita orang yang sempat melihat langsung, tinggi ombak itu nyaris sepadan dengan tiga kali tiang listrik. Mengerikan!
Tsunami itu telah meratakan sejajar tanah seluruh perumahan di tanah Aceh. Gubuk reot Nek Yam, yang berlokasi di Alue Naga, tak luput dari terjangan air bah hitam itu. Nek Yan beruntung meski, saat naas itu datang, kebetulan sosok itu tengah berada di Tanjung Selamat -- salah satu kawasan yang tak terjamah tsunami. Jika tidak, mungkin tubuh Nek Yam termasuk salah satu dari ratusan ribu manusia yang telah dipanggil oleh-Nya dalam tempo sekitar tujuh menit.

Empat hari baru usia bencana itu, manakala Nek Yam menjejakkan sepasang kakinya kembali ke Alue Naga, ingin melihat kondisi gubuk mungilnya. Namun hanya hampa yang terbentang luas di sana. Tanpa satu sisi rumah pun.
Seluruhnya telah dijarah paksa oleh tsunami.
Terpaku Nek Yam menatap pemandangan langka itu. Berdiri di manakah dia, tak tahu Nek Yam, sebab halaman di Alue Naga tak lagi berbatas pagar ataupun lainnya. Pun Nek Yam tak tahu juga di mana bekas rumahnya dulu. Tampak tersatukan semuanya.
Lama keterpakuan itu menaungi tiap inci dari tubuh senja Nek Yam. Pikiran itu terbayang panjang. Melamun, tak sadar hadir sendiri. Desah nafas berat berantrian sesak untuk mengudara.

Baru tersentak Nek Yam tatkala mampir tepukan halus di pundaknya. Menoleh lekas Nek Yam, ternyata seorang gadis muda cantik yang telah menepuk pundaknya barusan.
Terjadi percakapan serius di antara dua wanita yang berbeda generasi itu. Untung Nek Yam mahfum dengan bicara perempuan yang menggunakan bahasa Indonesia itu, meski wanita senja itu tak terlalu fasih bercakap dalam bahasa itu.

Dari pembicaraan itu tahulah Nek Yam, kalau perempuan muda itu bernama Leni Marlina. Non Leni, begitu Nek Yam menyapa gadis itu, atas suruhan gadis itu sendiri. Tahu juga Nek Yam, bila Non Leni itu datang dari Jakarta.
Manakala mendengar Jakarta, angan Nek Yam kembali terbit setelah terselubung banyak hal sebelumnya. Ingin sekali Nek Yam bersimpuh di hadapan gadis yang sepertinya belum menikah itu, memohon agar sosok itu membawanya ke Jakarta saat dia pulang ke sana nanti.
Malu tapi Nek Yam untuk melakukan itu, sebab gadis itu bukanlah apa-apanya. Kenal pun, dalam tempo singkat. Niat itu akhirnya hanya terbiarkan terkubur jauh di dalam relung hati Nek Yam.

Saat perjumpaan untuk kali kedua dengan gadis itu, juga di Alue Naga, nurani Nek Yam masih serupa -- sungguh ingin mengeluarkan unek terpendamnya. Tapi kembali ganjal itu tak sanggup teterbangkan juga.
Hari ke sembilan setelah tsunami, pertemuan itu berulang. Lama keduanya berbicara lebar. Gadis itu bertanya tentang keluarga Nek Yam. Nek Yam agak tersendat menggulir cerita. Dia mengatakan bahwa dirinya sudah lama hidup sebatang kara. Tanpa suami dan juga anak.
Perempuan itu tampak terkejut mendengar penuturan Nek Yam. Juga gadis itu menanyakan, akan kemanakah Nem Yam setelah rumahnya tak lagi ada. "Mungkin saya akan tinggal di pengungsian."

Untuk kedua kalinya, gadis muda itu tampak terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Nek Yam. Terbisu sesaat. Entah hal apa yang tengah berkecamuk dalam pikiran gadis itu.
"Ibu mau ikut saya ke Jakarta?" tak dinyana rangkai kata itu terlontar dari mulut gadis di depan Nek Yam.
Andaikata masih kuat, maunya Nek Yam berjingkrak-jingkrak saat kupingnya menangkap bunyi barusan.
"Apa, Non?" takutnya Nek Yam salah dengar.
"Apa ibu mau ikut saya ke Jakarta?" tak salah rupanya indera pendengaran Nek Yam.
Tak menunggu ulang untuk ketiga kalinya, sebuah anggukan cepat dan beriring senyum paling bahagia, terpasang di kepala Nek Yam.
Nek Yam diajak ke Jakarta!

Berangkatlah Nek Yam dan gadis muda itu ke Jakarta dengan menggunakan pesawat terbang kelas paling ekslusif. Luar biasa senangnya Nek Yam bisa berada di dalam tranportasi udara itu. Selama di perjalanan, tak henti perempuan senja itu berceloteh kegirangan.
Tiba di Jakarta, girang Nek Yam total sudah -- tak menduga sama sekali bila tanah kota impiannya berada di bawah sepasang telapak kakinya kini. Seperti sedang bermimpi saja rasanya. Teriak kagum keras terdengar dari mulut Nek Yam manakala gadis muda itu menunjuk ke arah bangunan tinggi besar sebagai rumahnya

Selanjutnya: Sebab Nek Yam Sudah ke Jakarta 2