Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Pembuat kubah itu bercakap-cakap sambil bekerja dan tukang pos muda itu memperhatikan serta bertanya-tanya. Wajah lelaki tua itu dilihatnya berseri-seri meski kulitnya keriput. Lengannya coklat, kukuh serupa kayu. Urat-urat di tangannya hijau bertonjolan, melingkar-lingkar. Tangan tua itu amat cekatan melipat atau membulat-bulatkan seng. Menggunting, atau menokok-nokok dengan palu kayu. Atau mematri. Semua dilakukan pembuat kubah itu tanpa buru-buru, sambil bercakap-cakap dengan si tukang pos.

"Hebat!" puji si tukang pos muda.
"Ya?"
"Hebat benar Pak Kubah bekerja!" ulang tukang pos.
"Cekatan, seolah mudah saja pekerjaan itu buat Pak Kubah."
"Hehehe. Alah bisa karena biasa, Pak Pos. Seperti Pak Pos mengantar surat dengan sepeda motor."
"Dan ikhlas," ujar si tukang pos.
"Ya, ya. Kalau tidak tentu berat terasa," sambut si pembuat kubah.
Mereka terus bercakap-cakap, dan tukang pos muda terus pula memperhatikan tangan si pembuat kubah. Juga tubuhnya. Tubuh lelaki tua itu tentu akan tampak lebih tinggi, juga besar, kalau saja punggungnya tidak melengkung bungkuk dan badannya lisut. Tetapi wajahnya selalu berseri meski kulitnya keriput. Tukang pos itu berpikir, apakah wajah ayahnya, yang samar-samar saja ia ingat, akan keriput dan berseri andai sempat jadi tua. Jika tak wafat saat dia di sekolah dasar. Wajahnya juga. Apakah nanti keriput, juga berseri, bila Tuhan memberi dia usia panjang seperti tukang kubah itu?

"Berapa umur Pak Kubah tahun ini?"
"Hehehe. Tidak jelas, Pak Pos. Tapi pasti sudah panjang, sebab punggung ini tak kuat lagi menyangga tubuh." Pembuat kubah itu kembali tertawa.

Musim hujan kemudian singgah di kota itu. Meski tidak selalu lebat dan lebih kerap berujud gerimis tapi tiap hari mendesis. Kadang-kadang sore, sepanjang malam, pagi, atau siang hari. Tukang pos itu berteduh di bawah pohon atau emperan toko bila hujan turun deras, dan kembali berkeliling ketika hujan menjelma gerimis. Tubuhnya tertutup mantel, sebatas leher ke atas saja mencogok bak kura-kura. Tapi di kepalanya ada pet. Dan mukanya ditutupi sapu tangan seperti perampok.

Pembuat kubah itu sudah menggeser tempat kerjanya dari bawah pohon jambu ke emperan rumah agar terhindar dari hujan maupun tempias. Sedikit jauh dari pagar. Tetapi telinga si tua itu tajam. Tiap kali terdengar suara sepeda motor si tukang pos ia teleng-telengkan kepalanya. Tukang pos itu mulanya hendak lewat saja karena sapu tangannya sudah kuyup, mukanya perih ditusuk-tusuk gerimis. Atau cukup melambai, dan teriak, "Kosong, Pak Kubah!" Namun, dia tepikan sepeda motor begitu tiba dekat pagar laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu mendekat tertatih-tatih setelah menegak-negakkan punggung.

"Wah. Kosong, Pak Kubah!"
"Kosong?"
"Kosong. Tapi mungkin besok."
"Ya, ya. Besok. Mudah-mudahan. Singgahlah dulu. Ngopi."
"Terima kasih. Masih banyak surat harus diantar." Tukang pos itu lalu melaju. Sejenak dilihatnya si tua itu tertatih-tatih di bawah gerimis, melangkah kembali menuju emperan rumah. Punggungnya makin bungkuk, seolah ingin sekali mencium tanah.

Seperti biasa musim hujan cukup lama di kota itu. Atap, pohon, dan jalan-jalan tidak pernah kering. Orang-orang berpayung ke mana-mana. Berbaju hangat, jas, jaket atau mantel, sebab angin juga rajin bertiup meski tak pernah berubah jadi badai.

Tukang pos itu juga tak lepas-lepas dari mantel, pet serta sapu tangan menutup sebagian wajahnya. Dan walau sejenak, dengan muka terlihat makin putih juga perih ditusuk gerimis, ia berhenti dekat pagar berucap "kosong Pak Kubah, mungkin besok" dengan suara, bibir dan dada bergetar. Kemudian dilihatnya pula lelaki tua itu kembali melangkah, terbungkuk-bungkuk di bawah gerimis menuju emperan rumah.

Tetapi suatu hari, tukang pos itu merasa jadi manusia paling bahagia sedunia. Meski masih pucat, malah kian perih ditusuk gerimis yang terus mendesis, wajahnya berseri-seri. Belum tiga menit lalu dia bersorak kepada pembuat kubah itu, dan kali ini tidak dengan dada serta suara yang bergetar. " Surat Pak Kubah!"

" Surat ?"
"Ya. Surat ! Dari anak Pak Kubah!"
Pembuat kubah itu menerimanya dengan jari-jari bergetar. Dan saat si tukang pos itu melaju pula di jalan, dilihatnya laki-laki tua itu masih berdiri di bawah rinyai hujan, melambai-lambaikan tangan. ***

@ Lenteng Agung, 23 Juli 2005

Sebelumnya: Pembuat Kubah dan Tukang Pos 1