Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Pagi itu ia terbangun oleh ketukan halus di pintu kamarnya. Ibu kos yang janda itu memanggil-manggil namanya dengan genit. Biasa, membagikan jatah termos berisi air panas tiap kamar. Laki-laki itu menduga bahwa dua kamar lainnya pasti sedang kosong. Biasanya, kalau semua penghuni sedang "indoor", termos air panas pagi hari cukup diletakkan saja di atas meja makan. Ia tahu persis, kalau nada suara ibu kos itu mulai bergenit-genit, pasti dalam keadaan aman. Artinya, seperti beberapa kali dialaminya, ketika ia membuka pintu, tangan lembut ibu kos yang memegang tangkai termos air panas itu sekalian ditariknya ke dalam kamar. Ibu kos hanya pura-pura saja menolak yang kemudian merintih, "Ah, si Akang genit ah."

"Yang lain pada ke mana?" tanya lelaki itu meyakinkan dirinya.

"Pada pulang. Pergi setor," sambil tertawa cekikan.

Padahal, kalau penghuni tiga kamar belakang itu lengkap, hal itu tidak akan terjadi. Dan, lelaki itu memaksa ibu kos menyedukan kopi untuknya sebelum meninggalkan kamar. Seperti biasa, ia menurut, bahkan seperti hendak memuntahkan kerinduannya kepada si Akang. Janda beranak dua yang kedua anaknya sedang sekolah di SMP dan SMA itu sudah lama ditinggal suaminya yang pelaut. Konon itu cerita dia, ketika pertama kali janda itu melayani lelaki itu.

Aroma kopi dan aroma perempuan di pagi itu adalah dua hal yang saling tumpang tindih menggoda lelaki itu. Antara rasa beruntung dan rasa cemas yang dideritanya semalaman, ditumpahkannya semua dengan kapasitas penuh. Langit Jakarta tetap saja mendung, seperti hendak bersiap dengan tenaganya yang besar untuk membasuh kepengapan selama bertahun-tahun membebani kota ini. Dari balik tirai jendela kamar yang terletak di lantai dua itu, genteng rumah tetangga kelihatan basah. Seekor kucing melintas cepat dan menghilang di balik got genteng rumah sebelahnya lagi.

Ibu kos cepat-cepat membenahi pakaiannya ketika bunyi bel yang dipencet pembantu cuci dan masak yang datang kehujanan. Ia cepat-cepat turun. Lelaki itu pun bersiap hendak mandi sambil bersiul-siul menirukan irama sebuah lagu dangdut. Siulan itu pun berganti dengan suaranya ketika bertimba-timba air menyirami tubuhnya. Ia baru berhenti bersenandung ketika selesai berpakaian dan bersisir di depan cermin.

*

Lelaki itu terbangun ketika suara gaduh langkah-langkah orang menaiki tangga kayu di depan kamarnya. Udara dingin yang datang dari tempias hujan dan angin mengguyur Jakarta. Ia terlonjak dan melihat jam weker di meja. Pukul tujuh lewat. Suara gaduh itu membuatnya keluar kamar dan langsung berhadapan dengan ibu kos yang dibantu oleh pembantu mengangkat barang-barang yang mungkin dapat diselamatkan dari serbuan banjir.

"Pak, tolong Pak. Banjir," ujar ibu kos terengah-engah.

Lelaki itu cepat masuk kamar, memeriksa kembali kardus yang ditaruhnya di bawah tempat tidur sore kemarin, sekadar meyakinkan dirinya bahwa kardus itu tidak basah. Kardus mi instan itu masih di sana. Ia menariknya ke luar dan merogoh isinya. Hanya plastik-plastik bekas pembungkus alat-alat komputer yang beberapa hari lewat dibelinya di Manggadua. Tak lebih dari itu. Ia sangat kecewa.

*

Rawamangun, 29 Maret 2004

Sebelumnya: Sebuah Kardus Mi Instan 1