Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Setiap kali hendak bertanya, lidah Ama cuma menancap pada ratusan mata pisau yang berkilap-kilap tersepuh segala mantra si burisrawa. Kucuran darahnya pekat mengalirkan kesaksian, betapa sebagai perempuan ternyata ia adalah sekedar hiasan tentang kerapuhan dan santapan bagi ketakutan yang terus dipelihara atas nama dunia. Dan Ama pun mengerti, betapa laki-laki sebenarnya sama sekali bukanlah pahlawan perkasa. Melainkan, makhluk yang selalu cemas pada kekalahan dengan kepala penuh berjejal prasangka. Ia pun tahu, mengapa si burisrawa sangat membenci bulan. Karena segala tabiat jahat yang disembunyikan di balik jubah pedandanya akan tersingkap sebulatnya saat cahaya purnama. Tapi, tentu saja, yang paling dibenci oleh si burisrawa dari segalanya adalah pertanyaan-pertanyaan Ama.

Setelah entah berapa lama tak lagi bisa bercengkerama dengan bunga-bunga Kamboja, Ama merasa betapa dirinya kini begitu tua. Tubuhnya mengering bertabur luka, jiwanya mengelupas lara. Di balik dadanya terperam beribu-ribu jarum berbisa yang betapa perih terus menusuki segenap relung batinnya. Tapi, seperti dulu juga, bibir Ama selalu tersenyum. Memang ia teramat letih, tapi pikirannya tak hendak berhenti bertanya. Setiap malam, selagi si burisrawa terlelap dalam dengkur, diam-diam kembali disenandungkannya requiem-requiem dan serenada bunga Kamboja, satu-satunya hiburan yang masih tersisa.

Ya, bibir Ama masih selalu tersenyum. Karena, dengan penuh seksama ia sebenarnya telah menata sebuah rencana mulia. Suatu pagi, ia akan meracun si burisrawa yang segera melahap segala yang disodorkan kepadanya tanpa membuka mata. Bangkainya yang berwarna biru toska akan dibaringkannya hati-hati dekat jasad ibunya. Perempuan yang menderita itu telah lebih dulu diselamatkannya dari nestapa tak terperi yang kian menyiksa. Pisau dalam genggaman tangan Ama telah berkelebat melintasi puncak keheningan pada malam sebelumnya, lalu tepat menghunjam jantung ibunya dengan sebuah liukan yang teramat mempesona. Tanpa pekik kesakitan, tanpa tangis penyesalan. Juga tanpa doa-doa usang dari buku-buku tua. Hanya mata Ama yang masih terpejam entah untuk berapa lama, meresapi sisa kenikmatan semburan darah yang tadi begitu hangat mengusap wajahnya. Itulah juga belaian lembut jemari ibunya yang sangat didamba, yang dulu selalu menenteramkan tangis Ama selagi ia masih seorang anak manusia yang belum mengenal apa-apa.

Esoknya Ama akan datang untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada sang Kamboja, sahabatnya, yang telah mengajari bagaimana menghapus rasa takut pada kenangan. Dan bahwa orang mati tak perlu bertengkar memperebutkan sorga. Akan dimintanya sekuntum lagi bunga yang berkelopak jingga, sebagai cinderamata. Lalu, hendak ditunggunya sang pangeran di depan garis cakrawala, saat malam datang menggantikan senja. Ama yang telah sempurna berhias koyak-moyak luka hendak memberikan ciuman perpisahan untuk pangerannya yang selalu berkelana menaiki kuda.

Kini Ama ingin pergi ke mana saja, mengembara hingga ke ujung-ujung dunia. Sendiri, tanpa sang pangeran, tanpa siapa-siapa. Kecuali sekuntum bunga Kamboja yang tersemat sunyi di dadanya. Bergerak perlahan, Ama pun mengendarai angan, di bawah putih cahaya bulan.
Yogya-Philadelphia, 25 2001/4

Previous