Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Jakarta 3030

Cerita Pendek Martin Aleida

Bongkah emas yang menengger di puncak Monumen Nasional sudah lama ditakik dan disingkirkan dari tempat duduknya. Dia digelindingkan begitu saja di daratan. Tak lebih berharga dari segundukan tanah merah. Emas sudah tak bisa mempertahankan kemuliaannya di atas besi atau timah. Anak-anak saja sudah bermain-main dengan lempengan-lempengan emas yang mereka ciptakan dari adonan kimia. Kesemarakan dan lambang kekuasaan sudah berubah makna, paling tidak di kota ini. Yang disanjung orang sekarang adalah gizogasarm, senyawa kimia hasil ekstraksi dari inti api, yang dijadikan bahan mentah untuk memproduksi chip yang bisa menampung data jutaan kali lipat dan dengan kecepatan tak terperikan dibandingkan seribu tahun sebelumnya.

Kata-kata. Karena sifatnya yang bisa ditafsirkan dalam berbagai pengertian, kata-kata sebagai sarana ekspresi sudah ditinggalkan. Sekarang adalah dunia presisi, dengan bahasa ketepatan yang memiliki pengertian tunggal. Bayangkanlah bagaimana pentingnya presisi sepuluh abad yang akan datang, kalau sekarang saja apabila Anda salah memasukkan angka PIN, maka tak sepeser pun yang bisa Anda tarik dari ATM. Pemujaan pada angka membuat manusia kelu. Dan ketika kata-kata hilang dari percakapan mereka, maka burung-burung mengambilalihnya.

Di mulut burung-burung, yang sudah berkicau sejak jutaan tahun yang silam, kata-kata menemukan melodi yang membuai menghanyutkan. Burung-burung berkata-kata dengan ritme yang jauh lebih menawan dibandingkan dengan gelombang percakapan manusia zaman sekarang. Hilanglah sudah kata-kata dari perbendaharaan verbal. Dan bunyi yang tertinggal dalam komunikasi manusia hanyalah ketukan di atas keyboard.

Jakarta terkurung dalam kutukan karena kejahatan kemanusiaan yang didewakannya selama lebih dari tiga dasawarsa menjelang akhir abad keduapuluh. Ingatan kolektif penduduknya bisa lenyap. Tetapi, zaman tak pernah akan lupa bahwa pada waktu itu ratusan ribu orang dibunuh seperti tikus comberan. Anak-anak muda yang ganteng dan manis-manis, yang bercita-cita sangat sederhana, hanya sekedar untuk bisa meludah karena tak tahan mencium bau amis para penguasa yang durjana, diculik dan dilenyapkan rezim bersenjata. Mereka yang membunuh dan menculik tak pernah merasa bersalah. Hukum buat mereka hanyalah angin yang dengan gampang bisa ditepis. Orang yang seharusnya bertanggung jawab dengan lihai menghindar dari hukuman sambil meluncur-luncur di atas kursi roda. Ngelencer kesana-kemari. Aman-aman saja dengan berpura-pura kena encok.

Namun, adil ataupun tidak, zaman tak tertahankan. Dia melaksanakan hukumnya sendiri. Kota jadi terpencil dari alam sekitarnya. Daerah sekelilingnya membalas penindasan yang berpusat di kota itu dengan membangun pagar yang lebih dahsyat dari tembok Tiongkok untuk membuat kota ini terisolasi dari sinar Matahari. Kota terkurung dalam tembok. Orang-orang yang menyimpan dendam kesumat terhadap kezaliman kota ini mengharapkan dia lekas saja mati karena kekurangan vitamin D.

Berita-berita pembunuhan yang saban hari muncul di media massa dalam seribu tahun belakangan ini menunjukkan betapa murahnya harga nyawa. Seakan tak lebih bernilai dari lalat atau belatung. Teknik-teknik pembantaian lebih keji dari yang mungkin dibayangkan. Dan penduduk kota membaca berita-berita seperti itu sebagai sesuatu yang rutin. Emosi mereka tumpat. Hati mereka lebih tersentuh oleh teka-teki silang. Kepekaan menjadi tumpul. Membuat kemanusiaan berada di titik paling rendah. Kaum budayawan berdiam diri, sementara kaum politisi dan negarawan bermain-main mencari keuntungan dari situasi ini. Seribu tahun dalam pemujaan, maka pragmatisme menemukan dampaknya yang paling mencengangkan.

Next