Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

"Katakanlah dengan semangat kesetiakawanan, apakah yang kita lakukan ini bisa dimaafkan sejarah," kicau seekor burung Gazgazammut yang ragu dengan perlawanan burung-burung sebangsanya terhadap kebijakan Gubernur kota dan para pembantunya. Suaranya berat dan parau. Menggugah tapi liris.

"Dengan menjunjung tinggi dan atas nama langit ketujuh, kita berhak menolak untuk mematuki jenazah," sambut suara di tengah kerumunan burung itu.

"Tapi itu hanya akan memperburuk keadaan. Membuat busuk dan meracuni angkasa. Membikin manusia yang tersisihkan di kota ini akan terserang kolera dan semakin sengsara."

"Kolera sudah lama dikalahkan manusia."

"Ya, sama seperti TBC atau cacar atau malaria, kolera bisa menyebar kembali di kalangan penduduk. Apalagi pembiaknya adalah mayat manusia."

Seekor dari seratus burung Gazgazammut itu, sambil tegak di atas cakarnya yang kokoh, dengan sayap setengah terentang, mengalunkan suara: "Kita telah dibawa ke kota yang sedang tenggelam dan terkurung ini untuk dijadikan perangkat pemisah antara manusia yang beruntung dan yang tersisihkan. Apakah kita tak boleh mempergunakan hak kita untuk tak terlibat dalam kejahatan kemanusiaan ini? Kuat suara hatiku bahwa kita berhak untuk terbang kembali ke tanah air kita. Ke jantung Asia . Jangan terbetik rasa khawatir barang seujung rambut pun bahwa kita akan tersesat dalam penerbangan pulang." Matanya yang bening tajam menaksir-naksir sikap burung yang lain.

Burung yang kelihatan paling berwibawa itu lantas membujuk: "Aku tahu arus angin mana yang harus kita ikuti untuk sampai ke pohon-pohon yang murni hijaunya, dari mana kita telah dirampas, diperjualbelikan. Kembangkan sayap! Terjang dan ikuti angin buritan ini," katanya membujuk.

Beberapa detik kemudian, rrrruuuuummmm, suara kepak sayap mereka memenuhi angkasa. Taji di kedua kaki mereka yang kokoh bersiung-siung menerjang angin. Kawanan burung itu lenyap ke arah Utara. Tanpa sinar Matahari, mayat di atas monumen membusuk dengan cepat. Kota dicekik bau bangkai.

Sebenarnya, para penguasa tidak menemukan kesulitan untuk menyewa ahli dari luar untuk melenyapkan mayat-mayat kaum tersisih di kota itu menjadi setumpuk abu. Tetapi, masalahnya mereka memerlukan simbol kemenangan atas kaum tersisih. Mereka tak mau kehilangan kepuasan dengan menelan tablet-tablet kalsium yang dibuat dari tulang-belulang orang yang mereka kalahkan. Mereka hendak mempertahankan simbol kejayaan itu. Jadi, mereka membiarkan belatung yang mengerubuti mayat-mayat kaum tersisih. Tanpa menghiraukan protes penduduk.

Saya sendiri sudah lama menyingkir dari kota ini. Bersama teman-teman kami membangun pulau dari bangkai daun dan akar pohon yang hanyut dari hulu Sungai Siak. Sampah alami dari hutan-hutan yang dibabat ratusan tahun yang lalu cukup untuk membangun sehamparan daratan di mulut Sungai Siak yang selalu ternganga sampai ke tepi laut yang tak tampak. Semut sudah sirna dari kulit bumi, kecuali di wilayah aliran sungai ini. Perut mereka yang rata-rata sangat ramping, ditambah lagi dengan kesukaan mereka bergotongroyong, dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap keserakahan. Ini ejekan permanen. Karena itu harus dibasmi. Beginilah aksioma zaman sekarang: kebajikan justru membawa bencana. Maka, pulau buatan yang sederhana ini kami namakan Pulau Penyemut, untuk mengabadikan kearifan semut yang mengilhami. *

Bengkalis, 14 Mei 2002

Previous