Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Meminjam mata setan Prakoso memandangi bola mata Melati. Dengan seringai harimau lapar, tanpa guntur tak ada halilintar, ia terkam Melati dengan kedua sayapnya, sayap Burung Nasar yang perkasa. Ia terkami tulang leher Melati dengan sepuluh cakarnya, cakar-cakar srigala. Dalam sekejap mata, tubuh Prakoso berubah sosoknya. Sang produser film yang intelek dan sok moralis ini, berubah bentuk menjadi raksasa gorila sang pemangsa.

"Mampus kau, lancang! Mata-mata! Belajar jadi CIA di rumah sendiri? Hhh!"
Melati limbung dan tumbang. Tetapi data-data menghilang. Ke mana itu foto? Prakoso terus mengigau. Di mana foto-foto melayang? Bukankah setiap helai dari rambutmu telah kurontokkan? Sepuluh jari yang kau miliki telah kupreteli? Duapuluh delapan gigimu telah kucongkeli dan kedua kakimu telah kuamputasi? Ke mana foto-foto berlari?

Prakoso juga berlari. Terus berlari dalam kejaran polisi-polisi, yang berbondong-bondong mencarinya atas perintah Melati. Di mana Melati? Belum jugakah ia mati? Setelah terlindas ban mobilku sebanyak duapuluh satu kali? Setelah minum racun yang kutaburkan di gelas susunya sembilan kali? Ia tidak mati. Ia semakin segar dan hidup di antara kumpulan yang menentang. Ia menjadi hantu gentayangan.

Ia menggerakkan barisan-barisan. Dua puluh orang. Tiga puluh orang. Kadang empat puluh. Kadang lima puluh. Tetapi jumlah terus membengkak menjadi empat ribu. Seperti peluru yang berseteru. Melati mengharu-biru. Ia terus maju dengan kelewang atau buku-buku. Dan buku-buku Melati besar dan tebal, sebesar kebohongan dan dosa-dosaku. Nyali Prakoso ngilu.
"Jalanku buntu," keluh Prakoso.
Di mana-mana buntu. Gang dan lorong buntu. Stasiun dan terminal buntu. Bandara dan pelabuhan buntu. Jalan raya, jalan kota, jalan desa, buntu. Bahkan pintu rumahku buntu. Lalu ke mana akan bertamu?

(Jika rumahmu menghilang oleh dosa dan penghianatan, ke mana berpaling dari terik mentari dan gempuran hujan, kawan?)

Seperti patung ia termangu. Patung batu. Tak berhala tak juga jadi obyek wisata. Lalu ia teringat selingkuhannya. Siapa tahu pintu rumahnya masih menganga. Dan Prakoso berlari mencari gerbang menganga. Ia tabrak pagar dan bendera. Ia sibak tabir dan lompati jendela. Ia jumpalitan di antara meja dan papan nama. Ia melihat di kejauhan sana, pintu gerbang masih menganga.

Hyaaaat! Prakoso loncat dengan tongkat maksiat. Seperti kilat, ia melesat dengan gairah penuh padat. Ia pun mendarat di hutan paling pekat, masuk ke dalam puri indah selingkuhannya, yang terkekeh mengerikan layaknya seekor drakula.

"Kaukah di sana ?" gaung tanya sebuah suara.
"Tidak! Aku ingin pulang saja," jawab Prakoso menggigil, tanpa daya.
Yogyakarta , 2004

Previous