Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Pat Ngiat Pan

Cerita Pendek Sunlie Thomas Alexander

Diam-diam aku masih sering berharap dapat melihat Song Ngo1. Perempuan cantik di zaman Dinasti Hsia yang terbang ke bulan setelah menelan pil tumbuh-tumbuhan itu. Sering kubayangkan tubuhnya yang berbalut gaun putih panjang berenda-renda tembus pandang, melayang-layang di atas tanah bulan yang berbatu-batu dan penuh lubang dalam sebuah pemandangan yang sempurna.

"Song Ngo akan selalu menaburkan kembang di permukaan bulan ketika purnama penuh setiap tanggal lima belas bersama ibumu." Kuingat ayah, "Terlebih setiap tanggal lima belas bulan kedelapan, ketika orang-orang menggelar meja sembahyang di halaman rumah." Maka aku kecil pun duduk dengan manisnya di teras depan rumah, memandang bulan yang sebesar nampan dengan takjub. Menunggu dengan penuh minat dan harap. Meskipun kemudian sampai jam dua belas malam dan sembahyang harus diakhiri, Song Ngo tak juga kunjung muncul. Apalagi ibu. Aku hanya dapat menelan kekecewaan dan menahan marah. Dan biasanya ayah akan membujukku dengan kue bulan bekas sembahyang: Ngion Kau, Teu Sa Piang, Nyuk Piang, dan lain-lainnya yang begitu manis. Namun mataku sudah sedemikian berat untuk dapat menemaninya minum teh. Hingga tinggallah ia sendirian di teras rumah, memetik gitar tuanya sambil menembangkan pantun-pantun:

Ngiat kong an liong, keu an phoi
Jai jap hoi-hoi, thian fung choi
Jai jap hoi-hoi, thian lu sui
Ako ta pan, thian moi loi�2

Aku pulang lagi ke Belinyu. Setiap tahun pada bulan kedelapan Imlek, aku selalu menyempatkan diri untuk pulang. Lebih-lebih setelah ayah meninggal. Sepanjang perjalanan di atas KM Bukit Raya milik Pelni yang kutumpangi dari Tanjung Priok, bulan di langit yang nyaris sempurna tampak menyerpuh keperakan dari palka kapal, mengetok-ketok pintu masa silam yang sentimentil. Begitu mempesona. Ai, purnama Pat Ngiat Chun Chiu3 memang selalu akan terlihat lebih indah dari biasanya, demikian selalu dikatakan ayah dulu. Dan di permukaan bulan itu, aku seolah-olah melihatnya sedang memetik gitar tuanya sambil menyenandungkan pantun-pantun berbahasa Hakka. Dia tersenyum kepadaku. Senyum teramat kurindukan yang selalu membuatku tenteram.

Ayah adalah orang yang lembut. Sejak kecil hampir tidak pernah ia memarahiku, apalagi sampai memukul. Manakala aku sudah terlewat nakal misalnya, terutama sewaktu beranjak remaja, cukuplah ia memelototkan mata saja sudah membuat aku tertunduk tidak berani memandangnya. Tapi yang paling kukagumi dari dirinya bukanlah kelembutannya sebagai seorang ayah tersebut, ataupun ketegarannya membesarkanku seorang diri dengan mesin jahit bututnya. Tetapi, kesetiaannya kepada ibu. Ah, ibu yang lebih kukenal dari foto buram terbingkai di kamar ayah dan dari cerita-ceritanya. Hanya samar-samar saja kuingat sosok sebenarnya dari perempuan cantik itu. Aku hanya ingat beliau dulu selalu menggoyangku di ayunan sarung sambil menembangkan pantun-pantun Hakka yang suka dinyanyikan ayah itu, hingga aku terlelap. Pantun-pantun yang percaya atau tidak, selalu meruapkan harum hio setiap kali ditembangkan.

Ibu memang meninggal terlalu muda, ketika aku baru berusia lima tahun. Konon, ayah tidak menangis saat itu. Tetapi beberapa teman dekatnya --hal ini pernah dikatakan Ngian Suk4, seorang teman baik ayah kepadaku-- tahu kalau hatinya remuk redam. Cintanya pada ibu, kata Ngian Suk, tak terbayangkan. Begitu besar. Hingga ia rela mengorbankan segala-galanya demi ibu. Termasuk keluarga dan hak warisnya. Melawan adat dan pantangan turun-temurun leluhur yang sama sekali tabu dilanggar, menurut kakek sama saja dengan menentang Thian5. Ayah diusir dari rumah.

"Aku tak peduli dengan apa pun, selain dapat menikah dengan Ngiat Ngo!" Syahdan ayah berteriak-teriak lantang di depan kakek-nenek dan saudara-saudaranya sebelum pergi

Ngiat Ngo! Berarti angsa bulan, betapa nama ibu itu begitu meresap dalam batinku. Namanya sebagai salah seorang anak angkat dewi bulan Song Ngo. Dari ayahlah aku mengetahui semua riwayat mengenai hal itu. Cerita ayah, sewaktu kecil ibu selalu sakit-sakitan. Hingga nenek kemudian membawanya kepada seorang sinsang6. Berdasarkan petunjuk dari kitab sam se su7, sinsang itu kemudian menyimpulkan kalau jiwa ibu tidak selaras dengan nenek sebagai orangtua dan anak, tidak sang sen8 istilahnya. Maka tiada cara lain yang lebih bijak, kata sang sinsang, selain ibu harus diangkat anak oleh dewi bulan dan berganti nama.9 Maka melalui sebuah ritual kecil di kelenteng, digantilah nama ibu dari Kim Ngo yang artinya angsa emas menjadi Ngiat Ngo. Sesudah itu ibu tidak lagi sakit-sakitan. Namun sebagai seorang anak angkat Song Ngo, pada setiap tanggal lima belas bulan ke delapan Imlek, ibu atau keluarganya harus mengadakan sembahyang bulan di halaman rumah sebagai bentuk kebaktian kepada sang dewi.

Next