Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Perjalanan Terakhir

Cerita Pendek Wina Bojonegoro

"Ini akan menjadi perjalanan yang panjang dan melelahkan," ujar Noy.
Udara pengab. Kipas angin di atas lorong kereta tak lagi berguna. Satu-satunya harapan hanyalah angin yang menyeruak dari jendela kereta. Derai harmonika mencicit. Ditimpa suara gendang bertalu-talu. Meski terganggu, perpaduan keduanya cukup mengobati luka akibat derita kegerahan ini.

"Ini akan berlangsung selama 12 jam," desis Noy lagi. Aku menghela nafas. Apa daya, hanya ini pilihan terbaikku. Semoga petang nanti aku sudah sampai di mulut desanya.

Seseorang bernyanyi. Harmonika dan gendang mengiringi. Suara-suara lain menimpali. Orang-orang mencoba membunuh sepi. Beberapa pemuda gondrong bersiul-siul. Sesekali tertawa. Asap rokok mengepul dari hidung dan mulut mereka. Ini zaman merdeka, begitu mungkin pikir mereka. Kami boleh berasap di mana pun suka, tak peduli ada hidung lain yang merana.

"Kau sudah mengirim kabar?" tanya Noy di tengah kegaduhan. Aku menggeleng. Noy melotot.
"Kau tak banyak punya waktu. Sudah kau sia-siakan hidupmu..." Ya...ya…dia benar. Perjalanan ini memang penuh risiko. Mungkin ini merupakan perwujudan jiwa petualang, yang lama tak menemukan kesempatan.

"Kira-kira seperti apa wajahnya?" Noy menerawang keluar jendela kereta. Pertanyaan itu pula yang beberapa hari ini menggerayangi pikiranku. Tapi selalu kucoba menjawabnya sendiri. Seperti apa pun, aku tak peduli.

Kereta melambat. Gendang tetap bernyanyi. Harmonika tetap berdenyit, meski sama sekali tak padu. Suara-suara lain melemah. Kabut kantuk mulai membelenggu para penumpang kereta. Derak-derak roda melemah, kereta akhirnya berhenti. Stasiun Wonosari. Pedagang tahu, roti, mangga, boneka, berhamburan mencari peluang. Mendadak suara-suara kembali bangkit. Udara bertambah gerah. Genderang belum juga berhenti.

"Bagaimana perasaanmu?" Noy menoleh ke arahku. Aku tak pernah peduli, meski pada rasaku sendiri. Aku pergi hanya mengikuti intuisi. Sudah begitu lama kucoba membuang bayangnya, sejak ia berkata: "Kau sudah menjadi milik orang lain, aku pun akan melakukan hal yang sama. Kita akan mencari milik kita masing-masing.

Meski aku tahu ia tak sungguh-sungguh, aku toh pergi juga meninggalkannya. Aku laki-laki muda, waktu itu. Laki-laki selalu penuh keinginan. Mungkin juga kesalahan. Dunia begitu penuh warna, laki-laki muda kadang silau oleh pancaran kemilaunya. Hingga sesuatu memudarkan pancaran itu, hadirnya seorang gadis muda yang berkata: Aku sudah telat lima minggu.

Roda kereta berderak kembali. Harmonika telah bungkam. Gendang membisu. Suara-suara lain kembali melemah. Ladang jagung menua, seolah berlari di antara kereta yang diam.

"Pernahkah kau merasa bersalah?" Noy menatapku tepat di kedua mata. Kubuang pandangku pada deretan ladang jagung yang menggelar warna putih kekuningan. Mestikah perasaan bersalah diberikan dalam bentuk pengakuan? Yang kulakukan sepanjang 8 tahun terakhir adalah mendoakannya, semoga ia bahagia dengan siapa pun lelaki pilihannya. Sesekali ia datang dalam bentuk mimpi atau fatamorgana di siang bolong. Tetapi aku laki-laki, aku dilatih dengan baik oleh lingkunganku untuk membunuh suara hati.

Next