Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Setidaknya kau tahu perasaanku tetap sama seperti 10 tahun lalu. Belum pernah ada caretaker di dalamnya. Peluang itu tetap milikmu, meski dulu terlontar keinginanku akan mencari pria lain. Sekarang keinginanku cuma satu: aku ingin mati dalam bahagia.
Saraswati
Pacar pertamamu

Kalimat terakhir itu tak kusukai. Sekaligus menjadi magnet, menciptakan pusaran, semakin kuat tiap jamnya. Akhirnya inilah perjalananku.
Para petani tembakau mulai beranjak meninggalkan ladang. Mereka melambai pada kami dengan wajah berseri. Aku tak tahu apakah hal ini semacam kebiasaan, atau sebentuk kekaguman pada lokomotif merah dengan sembilan gerbong yang meliuk-liuk menciptakan gaduh di antara ketenangan sawah ladang. Aku mencoba ikut melambai sebagai tanda partisipasi.

Harmonika berdenyit lagi. Suara gendang berganti jenis pukulan. Kali ini lebih pantas disebut genderang perang. Suara istriku kembali terngiang.
"Aneh! Sejak kapan seorang redaktur mendapat tugas reportase, di Lawang lagi. Ada apa sih di sana ?" Sekali lagi, kemampuan improvisasiku mendapat tantangan.

"Liputan khusus tokoh-tokoh veteran. Semua reporter mendapat tugas meliput di ibukota. Kalau tidak percaya, telepon saja pemred-ku." Tentu saja aku sudah membuat perjanjian dengan bosku itu, dan menyuap teman-teman sebelah meja dengan nasi padang beberapa bungkus untuk mempermulus perjalanan ini.

Noy kembali kepadaku. "Sudah dekat, bersiaplah," serunya. Akhirnya memang, kereta berhenti di Stasiun Lawang. Sekeranjang perasaan bahagia bergelembung menyertai pergeseran kakiku. Segera kulipat Noy dan kurapikan, lalu kembali kumasukkan ke dalam dadaku, karena di situlah tempatnya sehari-hari. Dari situ pun kami tetap bisa berdialog sepanjang mataku terbuka.

Matahari benar-benar telah ditelan Bethara Kala ketika aku meloncat dari ojek. Bulan mengintip di angkasa dengan separuh wajahnya. Deretan pohon akasia berbaris dingin di sepanjang jalan. Dewa Maruta berlenggok tipis penuh kemalasan. Sementara anjing-anjing kampung melangkah gontai mencari pasangan kawin untuk melawan dingin. Sesekali raungnya mengiris telinga.

Aku berdiri tepat di depan rumah yang sama sepuluh tahun lalu. Rumah kayu berwarna hijau dengan pagar beluntas dan pohon rambutan di sekelilingnya. Samar-samar cahaya lampu dinding menyeruak melalui celah-celahnya. Termangu sejenak, menata debar sebelum aku memukulkan jemariku pada daun pintu dengan ketukan khas milik kami berdua. Setelah ketenangan kembali tergenggam, aku mulai beraksi.

Tok toktoktok toktok tok
Tak ada reaksi. Sekali lagi.
Tok toktoktok toktok tok.
Terdengar suara sendal diseret, pintu berderit.
"Yon…kaukah itu?" suara yang sama. Irama yang sama. Dadaku kian berontak. Perasaankukah yang masih sama?
Pintu kayu membelah dari kedua helainya. Seraut wajah menyembul. Masih wajah yang sama. Bedanya hanyalah saputan pucat di wajahnya. Ia nampak begitu kurus dan menua.

Aku memeluknya. Ia memelukku. Nyaris tanpa kata-kata. Jantungku mendadak berguncang begitu hebatnya. Dan kurasakan Noy meronta-ronta dari dalam dadaku. Entah ia mau bilang apa.

"Akhirnya kau datang, Yon. Akhirnya…." Ia menciumi seluruh wajahku tanpa ampun. Aku membalasnya dengan keganasan serupa. Aku tak merasai apa-apa kecuali rindu yang pekat, kehilangan yang begitu lama. Akhirnya kami tergeletak tak berdaya, lelap dalam mimpi bahagia. Dan terjaga esok pagi oleh sengatan matahari yang berhamburan dari jendela. Tetapi aku tak lagi berada di atas kasur, melainkan di atas kursi malas di ruang tengah, tempat kami dulu berbagi cerita menanti malam.

Tetapi kali ini kursi malas tidak sendiri, dia menempati salah satunya.
"Selamat pagi, pria perkasa." Ia sering memanggilku demikian, aku suka mendengarnya. Entah palsu atau nyata, panggilan itu semacam kalimat pemujaan, membuat laki-laki merasa begitu bangga.

"Sekarang kau milikku selamanya, kau tak bisa ke mana-mana." Secara spontan aku bangkit, namun sesuatu menahanku. Kedua tangan dan kakiku terbelenggu pada kursi malas. Nanar kutatap satu per satu dengan penuh tanda tanya. Dia tersenyum menatap keluar jendela seraya mengayun-ayunkan kursi goyangnya. Dengan wajah penuh kemenangan ia mengangkat segerombolan anak kunci.

"Mereka akan kubuang ke dalam kakus. Kau akan di sini menemaniku sampai ajal menjemputku. Hodgin Limpoma-ku sudah akut sejak beberapa tahun lalu. Kaulah satu-satunya yang harus menyaksikan kepergianku nanti. Jangan takut berteriak kalau kau ingin. Para tetangga sudah menantimu lama, seorang mantan penghuni rumah sakit jiwa Menur. Mereka juga yang menyiapkan pasungan berbentuk kursi malas ini."
Yang bisa kulakukan kini hanyalah menatap wajahnya dengan putus asa.

Previous