Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Senja

Cerita Pendek Yanusa Nugroho

Sering dibayangkannya bahwa awan-awan yang putih di bentangan langit biru itu adalah pulau-pulau kapas. Kadang, awan itu membentuk bentangan air terjun yang membeku, atau gunung karang putih yang mengambang di lautan biru.

Sehari penuh dia amati setiap perubahan yang ada di langit sana . Dan ketika awan-awan itu kian memerah dan akhirnya hilang oleh gelap malam, dia pun berjalan pulang ke rumahnya. Di sapanya rumput, batu, tanah dan perdu. Disenyuminya angin yang dengan nakal menyusup-nyusup di sela rambutnya.

Sesampainya di rumah, dia disambut keheningan yang berjingkrak-jingkrak bagai kanak-kanak menyambut ibu pulang dari pasar. Gelap, beranda rumahnya, berisi kursi plastik yang jebol di sana-sini, serta selapis debu siang hari.

Disapanya mawar merah dalam pot di beranda itu dengan siraman air. Kemudian dinyalakannya saklar dan beranda menunjukkan wajahnya yang samar-samar. Beberapa serangga mengitari bola lampu, seperti bergembira menyaksikan kehidupan ada di rumah itu.

Apa yang bisa dilakukannya setelah semua pintu kantor tertutup baginya? Tak ada lagi sisa pekerjaan. Kantor tak membutuhkan seorang laki-laki kurus, apatis, dan lamban seperti dia. Kantor tak membutuhkan otak yang selalu menolak dan menilai sebuah tugas. Tidak. Pintu-pintu kantor terbuka bagi mereka yang muda, gesit, dan tak banyak tanya; kecuali jumlah billing yang akan diterima kantor. Mereka bicara hanya soal insentif.

Laki-laki itu mendesah. Sejak semuanya tersapu badai krisis 98, istrinya pun minggat bersama --entah siapa. Meninggalkan semua, bahkan juga kenangan.

Laki-laki itu duduk, setelah tentu saja mandi, memasak mi instan dan memakannya di beranda. Sebatang kretek menyala dan terselip di sela jarinya yang kurus. Entah mengapa, dia ingin sekali menengok kotak pos di pagar. Dengan lesu, dia berjalan dan membuka kotak pos itu. Tak di sangkanya di sana ada sepucuk surat.

Dengan harap-harap cemas dia segera mengambil surat itu, membukanya buru-buru, dan mencari tempat di bawah lampu untuk membacanya.
Surat itu berasal dari seseorang yang tak dikenalnya. Si pengirim menyebutkan bahwa dia mendapatkan alamat serta nama si laki-laki itu dari seseorang yang "...kenal betul dengan bakat anda..", begitu yang tertulis di situ.

Dia tertegun. "Bakat?" gumamnya. Lalu dilanjutkannya membaca. Intinya, setelah panjang lebar menguraikan berbagai hal, si pengirim meminta laki-laki itu untuk bertandang ke rumahnya di kompleks perumahan mewah di kota itu.

Aneh. Mengapa dia tak langsung saja datang. Mengapa harus berkirim surat , jika tinggal di kota yang sama? Di situ, di bawah tanda tangan si pengirim, disertakan sebuah nomor telepon.

Usai membaca, laki-laki itu duduk lagi di kursi plastik jebolnya. Ada sesuatu yang tiba-tiba muncul di benaknya --entah apa, dia sendiri tak begitu paham. Dengan cepat dihisapnya rokok kretek itu. Asap mengepul-ngepul, sebelum lenyap ditiup angin.

Bergegas pula dia ke telepon, dan sambil melihat nomor yang ada di surat itu dia pun menekan-nekan angka yang dimaksud. Dia terdiam beberapa saat. Kemudian, "Haloo..." dan terjadilah pembicaraan yang agak tersendat-sendat.

Laki-laki itu banyak terdiam, mendengarkan. Jika pun harus menjawab, bibirnya hanya menyuarakan "oke" atau "baik", dan paling banyak "ya". Pembicaraan itu akhirnya selesai, setelah si laki-laki menjawab, "sama-sama."

Kembali dia duduk di beranda, sambil mencoba menyatukan berbagai kilasan bayangan di pembicaraan telepon tadi. Dinyalakannya sebatang rokok lagi. Lalu, sesaat setelah hisapan ketiga baru saja dilakukan, dia seakan mendapat jawaban akan apa yang seharusnya dilakukan.

Next