Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

"Mas pernah menikah, ya?"
"Ya...dengan seekor kupu-kupu," candanya.
Gadis itu tergelak, "Cantik, tentunya..."

"Ya. Secantik kupu-kupu. Serapuh kupu-kupu..."
"Ke mana dia sekarang?"

"Terbang. Bukankah kupu-kupu selalu ingin dikejar?"
Kembali gelak tawa si gadis terdengar. "Kok, Mas tidak mengejarnya?"

"Capek."
"Capek? Kalau begitu selama menikah Mas mengejar dia terus-menerus?"

"Ya."
"Mas tidak suka mengejar perempuan, ya?"

"Ya. Capek."
"Mas tidak mencari pacar?" /p>

"Tidak. Capek."
"Capek terus, sih?"

"Ya. Hidupku sudah amat melelahkan. Kamu sendiri ke mana saja selama ini?"

"Jalan-jalan."
"Ke mana?"

"Ke mana saja, asal tidak di rumah."
"Mengapa?"

"Capek?," jawabnya singkat menirukan gaya bicara si laki-laki. Keduanya kemudian tertawa bahagia. Sebuah dunia yang aneh, yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

"Kata ayahmu, kamu mau dikawinkan. Dan sejak percakapan itu, kamu ?"menghilang". Mengapa, nggak suka sama calon suamimu?"

"Tahu dari mana?"
"Tuh, dia yang mengatakan padaku?," jawab si laki-laki sambil menunjuk pada si "pembantu".

"Herder macam dia dipercaya."
"Herder? Terlalu bagus; buldog," tambah si laki-laki sambil tertawa. Si gadis pun tertawa.

Setelah itu hening. Setelah hening, "Aku capek Mas. Semuanya ditentukan dan sudah ada jalurnya. Aku nggak bisa mengatakan "tidak", ya, akhirnya aku pilih diam saja."

"Mas, mau nggak, ngajak aku ke rumahmu?"
Laki-laki itu terdiam. Dia bukan saja ingin mengajak gadis cantik itu ke rumahnya, tetapi bahkan ke atas ranjangnya. Dia ingin memeluk dan menumpahkan kegersangan jiwanya selama ini ke tubuh si gadis itu.

"Ada syaratnya...," akhirnya si laki-laki berkata.
"Apa?"

"Kau harus mau jadi istriku."
"Mengapa?"

"Ya?pokoknya harus," jawab laki-laki itu sekenanya.
"Kalau?pacar?"

"Wah..."
"Kalau pacar, gimana?"

"Ya?mmm... gimana, ya?"
"Kita pacaran dulu."

"Ah, kamu kayak kupu-kupu."
"Tidak. Kupu-kupu hanya memberi isyarat agar dikejar. Aku tidak ingin kejar-kejaran. Aku hanya ingin kenal lebih lama."

"Begini, Dinda," baru kali itu laki-laki itu mengucapkan nama si gadis, "tugasku untuk "menyembuhkan" kamu sudah selesai. Kamu, kan... sekarang sudah bisa bicara dan tertawa."

"Jadi Mas pergi? Lalu mengunciku dalam ruang kenangan?"
"Tidak. Bukan maksudku begitu."

"Kalau Mas pergi, aku akan "pergi" lagi."
"Jangan, dong..."

"Kenapa?"
Laki-laki itu diam, dalam hati dia juga bertanya, apa sebetulnya yang tengah terjadi dalam hidupnya ini.

"Mas nggak merasa bahagia bersama aku?"
"Bahagia, karena melihat kamu bisa ceria lagi. Kembali lagi seperti dulu kala."

"Sok tahu. Aku nggak mau seperti dulu. Aku mau seperti besok, seperti yang akan datang..."

"Jangan aneh-aneh."
"Aku nggak aneh-aneh. Aku cuma kepingin bisa bicara apa saja yang aku suka. Aku hanya ingin tertawa, kapan saja aku mau. Dan itu semua hanya bisa kulakukan dengan Mas. Kalau Mas nggak ada, lantas...?"

"Bapak-ibumu nggak bisu, kan?"
"Siapa, tuh?"

"Siapa, yang siapa?"
"Bapak-ibu."

"Hus. Sama orang tua, kok, begitu."
"Siapa yang orang tua?"

"Ah, anak sekarang. Dosa besar kamu mengingkari orang tua sendiri."
"Siapa yang Mas sebut orang tua?"

"Ya...orang yang mbayar aku, yang kasih honor aku puluhan juta rupiah ini. Siapa lagi?"
"Ooo?orang tua itu?"

"Hei?jangan ngawur, lho."
"Tidak, aku tidak ngawur. Orang tua itu, kan?"

Laki-laki itu menatap Dinda dengan pandangan menyelidik. Sepasang mata Dinda seperti sengaja menyambut tatapannya. Seakan mempersilakannya masuk dan membongkar setiap relung dan liku yang ada di dalamnya.

Laki-laki itu, yang biasanya hanya diam menatapi awan-awan berserakan di langit, yang merasa hidupnya kosong melompong, tiba-tiba kalang kabut. Betapa tidak, Dinda yang selama ini diketahuinya adalah anak seorang kaya, yang sakit jiwa dan karenanya si bapak mencarikannya dukun, dan secara kebetulan memilih laki-laki itu, ternyata hanyalah bapak angkat Dinda. Dan si bapak angkat ternyata menginginkan Dinda seutuhnya. Dia menyayangi Dinda dan memaksakan diri masuk ke dalam ruang-ruang kesucian anak angkatnya itu. Tak mengherankan jika Dinda membeku.

Laki-laki itu mendidih mendengar semuanya, dan karenanya, entah dengan pertimbangan apa, dia segera mengajak Dinda terbang mengendarai kuda terbang.

Dia mendadak merasa menjadi Pronocitro yang mengajak terbang Roro Mendut dari kungkungan Adipati Wiroguno.
Tetapi, laki-laki itu tiba-tiba merasa capek. Dia tak ingin mengejar dan dikejar. Dia hanya ingin duduk tenang di beranda rumahnya yang sepi dan berdebu. Dia hanya ingin setiap kali menyirami mawarnya, ada kesegaran yang menyiram jiwanya.

Seperti senja itu. Laki-laki itu kembali duduk di beranda rumahnya, dan merokok. Dia dengan segera melipat halaman-halaman indah buku kehidupannya --walau hanya beberapa lembar-- bersama Dinda.

Di keheningan senja, di beranda rumahnya, dia hanya bisa membayangkan Dinda berada di sampingnya, meskipun saat itu, mungkin berada dalam pelukan orang lain. Laki-laki itu benar-benar merasa lelah, bahkan sekadar untuk mengakui bahwa dirinya seorang laki-laki.
Pinang, 982.

Previous