Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Buncit 12

Cerita Pendek Riz Koto

Sore itu, di halte bus Buncit 12, tiba-tiba saja hujan turun dengan lebatnya. Aku yang tadinya memperkirakan selamat dari hujan dalam perjalanan pulang dengan motor ke Pasar Minggu, terpaksa buru-buru berbelok dan berhenti di halte bus Buncit 12. Buru-buru pula aku turun dari motor untuk berteduh di bawah naungan atap halte.

"Hei!" Aku kaget, tak sengaja kakiku mengenai sesorang yang agaknya juga buru-buru untuk berteduh di sana .

"Maaf...," kataku sebelum sempat melihat orang yang kukenai, tapi aku yakin dia seorang wanita, berdasarkan suaranya. Aku buru-buru berbalik dan sekali lagi meminta maaf. Aku melihat dia mengusap tangannya yang tersenggol kakiku sambil bersungut-sungut. Badannya agak kurus, mukanya pucat, tapi tatapan matanya itu....

"Hei... Lind...da...," kataku kemudian tercekat. Aku membuka helmku buru-buru. "Linda...," kataku lagi senang. Jelas kulihat sekilas di wajahnya rasa senang, tapi kemudian tiba-tiba tak berekspresi, lalu cepat berubah cuek, bahkan berpaling. Apakah aku salah orang? Perasaan malu pun menerkamku. Apakah aku salah orang?

"Jangan sok kenal, deh, lihat-lihat orang, dong!" Ia kembali bersungut-sungut tanpa memandangku, malah menunduk dan sedikit memalingkan muka. Apakah aku salah orang?

Di tengah deru mobil dan gemuruh suara hujan, aku terpaku. Diam-diam, aku mencoba menegaskan kembali wajah itu. Benar! Wajah itu begitu kukenal, bahkan masih sering kukhayalkan meski sudah 20 tahun yang lalu aku begitu dekat dan amat mengaguminya: bibir itu dan tatapan senang yang tadi sempat kusaksikan sekilas. Apa ada orang semirip ini?

Tapi, bagaimana aku lupa tatapan indah itu? Bagaimana aku lupa lembutnya bibir itu? Dua puluh tahun yang lalu... kami sama-sama terduduk setelah beradu ketika buru-buru naik bus kuning di kampus UI Depok menuju Sastra.

"Heh eh..."

"Wadaw..."

"Maaf, maaa...af... aku nggak sengaja..."

"Eee..."

"Maaaf... suwer, aku buru-buru, telat nih, sorry, deh." Aku terus meminta pengertiannya karena telah menyebabkan dia terjengkang karena aku benar-benar buru-buru. Kalau aku tidak mengejar dan seruduk naik bus kuning saat itu, paling tidak aku menunggu lima menit lagi untuk sampai di kampus Sastra. Padahal aku sudah hampir telat, bisa-bisa aku terlambat memulai ujian kajian sastra hari itu.

"Emangnya elu doang yang telat, yeee... Gue juga mau ujian tahu...."

"Ya... iya sama, maaf deh, sungguh..." Aku tak berani lagi berkata. Sambil merapi-rapikan ransel buku, sekali-sekali aku meliriknya yang juga merapi-rapikan tasnya. Ah, cakep juga, kataku dalam hati. Ah bodo, aku kembali fokus pada ujian yang beberapa menit lagi dimulai.

"Aahh... selesai sudah, Jooook...," kataku pada temanku, sembari menghempaskan diri di bangku panjang balsem di bawah pohon karet di belakang kambus Sastra. Seperti biasa, sambil menghempaskan diri aku lalu mengangkat kaki tinggi-tinggi dan berbalik. Tapi kali ini hempasanku kurang pas sehingga aku justru terjatuh dengan kaki terjungkal ke belakang.

"Wadaw...."

"Aduah... mmmaaf..."

"Eh, lu lagi... Iiih, sialan, lu..."

"Maaf...."

"Sakit, tahu..."

"Maaf...," kataku, sambil terus nyelonong hendak mengusap lengannya yang kena kakiku tadi.

"Ee. eeh... malah megang-megang!"

"Bu bu kan...."

"Ah.. lu Ron, bilang aja mau megang ha ha ha," tiba-tiba temanku nyela sambil tertawa diikuti yang lain.

"Maksudku... aku benar-benar..." "Ah dasar lu... Namanya Sinta tu, langsung aja," kata Romi menimpal. Aku kehabisan akal. Mukaku rasanya panas, aku yakin wajahku memerah. Tapi aku senang, Sinta, kalau memang itu namanya, wajahnya juga memerah. Ia tertunduk malu, lalu pergi menarik tangan temannya. Aku kemudian terpana memandangnya pergi.

"Woy... alaaah playboy cap kampak lu, pura-pura terpesona, Namanya Sinta, anak China tuh."

"Oh ya... oooo." Aku duduk tak berkata-kata. Aku jadi membayang-bayangkan Sinta, kalau memang itu namanya. Kok dua kali?

Dan, sejak itu hidupku pun berubah. Benar-benar aneh, sepenjang hari pikiranku dipenuhi bayangan Sinta, sampai berbulan-bulan. Bahkan, sampai seperti setengah gila, aku kadang-kadang tak sadar menyebut-nyebut namanya.

Next