Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Diruangi Hujan

Cerita Pendek M. Irfan Hidayatullah

Hujan sudah hampir satu jam. Deras. Kilat bersusulan dengan geledeg. Tanah seperti ditikam-tikam. Setiap tikaman memuncratkan darah coklat. Jalanan kampung kemudian tergenang, menuju banjir. Ini pagi sebenarnya.

Ya, ini pagi sebenarnya, tapi hujan itu sempurna menutupinya. Ibarat tirai penutup kenyataan. Dan kenyataan adalah ruang di balik tirai itu. Ruang yang betul-betul terpisah denganku saat ini. Tapi ada baiknya. Setidaknya hujan membantuku menghilangkan sekat waktu.

Waktu yang terus memburu. Memburuku dengan pisau mengilat di tangannya. Aku seperti tanah yang ditikam oleh hujan itu selama ini. Namun, tidak untuk saat ini karena hujan yang menikam-nikam tanah itu membantuku.

Ini pagi sebenarnya, tapi kelam. Karena hujan itulah pagi ini jadi kelam. Bahkan jadi mencekam. Tak ada seorang pun keluar rumah. Bahkan mungkin semua meneruskan tidur mereka. Bergabung lagi dengan mimpi-mimpi mereka. Namun, tidak denganku karena aku sepertinya harus merayakan terbunuhnya waktu.

Hujan sudah hampir enam jam. Masih deras. Aku masih merasakan betapa waktu telah kalah dan terbunuh. Mungkin sekarang harusnya sudah siang. Mungkin harusnya sekarang seperti siang kemarin saat aku terpanggang waktu, terbungkus debu. Saat aku tertampar-tampar kesempatan. Saat peluh telah menyatu baju melekatkannya pada tubuh ringkih. Saat aku tersaruk pada putus asa.

"Ini dia sampah!"

"Lebih busuk dari sampah!"

"Tak berguna!"

"Kerja, kek... ngapain, kek."

Hujan sudah hampir enam jam dan aku semakin yakin. Sementara itu, sepertinya yang tertidur sudah bangun. Mereka kini ramai menyelamatkan rumah masing-masing. Rumah yang mulai digenangi air. Rumah yang disatroni air. Rumah yang dikuasai air. Mereka seakan telah tak punya kuasa. Mereka hanya berusaha. Mereka terus mengeduk. Mereka berusaha membendung. Mereka bahkan berusaha berteriak-teriak minta tolong. Hujan terus berlangsung. Deras yang konstan diselingi geledeg.

Begitu pun rumahku, tepatnya, gubukku, telah sempurna dimasuki air dari berbagai jalan. Bocoran dan rembesan telah bermuara di ruang tempatku duduk mematung. Pada tanganku sebilah pisau. Aku telah mengasahnya hampir seminggu. Air itu semula hanya aliran kecil. Semula hanya ngeclak sesekali. Dan aku membiarkannya menjadi bah. Dan aku mempersilahkannya menjadi hujan pada hujan pada langit atapku yang bergayut dan kelabu.

Suara-suara ribut di luar sana tak membuatku bergeming. Aku betul-betul telah bulat memasuki sunyi. Ya, aku akan menyempurnakan sunyi duniaku. Setelah satu persatu manusia yang kukasihi luruh seperti kelopak bunga terbadai hujan deras, layaknya saat ini.

Istriku adalah kelopak terakhir yang gugur. Ia meninggalkanku saat aku hampir sebulan memasuki labirin itu. Saat aku berputar-putar pada jalan tak berujung. Saat aku mencari-cari ruh anakku yang direnggut dari kebahagiaan sederhana kami. Tabrak lari!

Next