Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Suamiku.

Aku pergi. Kita hidup sendiri-sendiri saja. Jika telah siap, pinang aku kembali! Tapi jangan cari diriku sebelum kau menemukanmu.
Istrimu.

Surat istriku di hadapanku sebenarnya, tapi aku tak bisa membacanya lagi. Aliran listrik terputus. Aku hanya bisa mengingatnya. Kata demi kata.

Tiba-tiba tetangga sebelahku berteriak, Azan. Azan dengan sisa-sisa harapan mereka karena air telah menenggelamkan hampir setengah meter, padahal perkampungan ini termasuk berada di dataran agak tinggi. Kini tubuhku pun mulai terendam, tapi pada tanganku sebilah pisau.

"Kau mau apakan aku?"

"Aku mau memakaimu."

"Untuk apa?"

"Untuk membunuhku."

"Pada apa?"

"Pada urat leherku."

"Aku ngak sudi."

"Bukankah kau menginginkanku juga?"

"Enak saja."

"Kau berkilat ketika terbayang olehmu urat leherku?"*)

"Aku berkilat karena cahaya-Nya."

"Ha...ha..ha..ha, antar aku menuju cahaya-Nya, kalau begitu?"

"Kau tidak akan menghampiri Sang Mahacahaya karena kau kini takdicahayai-Nya."

"Ha..ha... pisau sok tahu. Aku tak akan basa-basi lagi."

Aku pun mengantar pisau itu pada urat leherku sendiri. Namun, pisau itu menolak. Aku berkeras. Dengan sekuat tenaga kutarik pisau itu menuju leherku, tapi tetap pisau itu pun bertahan. Bahkan tenaganya begitu kuat. Aku pun memakai dua tanganku untuk menariknya. Entahlah, aku tak habis pikir. Semakin aku berusaha mengeluarkan tenaga semakin kuat pula pisau itu bertahan.Sementara itu, di luar hujan semakin ramai. Ya, suara hujan, suara geledeg, suara azan tetanggaku, dan suara-suara orang meninggalkan rumah-rumah mereka.

Aku justru tengah berjuang. Aku kini bahkan bergumul dengan pisau itu di lantai, di genangan air. Aku ditenggelamkannya agar aku sudi melepaskannya. Jelas aku tak sudi, aku balik membenamkannya ke banjir itu dengan harapan ia akan kehabisan tenaga.

Namun, harapanku tak jua tercapai. Kami sepertinya seimbang. Kami terus bergumul sampai napasku betul-betul habis. Tapi aku takakan melepaskannya. Ini harapan terakhirku untuk menyempurnakan sunyi.

Lelah amat sangat menerpaku. Aku seperti tercekik oleh rasa itu, tapi aku tak mau semua berakhir dalam posisi kalah oleh mata pisau itu. Namun, aku tak mampu. Kini, aku hanya mampu berteriak.

"Aaaaaarrrrrgh... lepaskan aku pisau sialan. Aku telah mengasahmu bukan untuk sebuah pembangkangan."

Senyap. Tapi beberapa saat kemudian aku mendengar tetanggaku berazan kembali. Terus terang aku bosan dengan suara itu.

"Hai,... Juned. Diam kau."

Lalu suara-suara sibuk di luar pun semakin jelas. Kini aku merasakan hening itu pecah. Aku seperti dihubungkan kembali ke dunia bising. Dunia yang tak berjarak dengan diriku sendiri. Dunia yang selama ini justru berusaha kuhindari.
"Biar aku yang menghentikannya."
Tiba-tiba suara merdu itu hadir.

"Istriku?"

"Ya."

"Kau?"

"Ya, aku istrimu."

"Kau...?"

"Ya, aku datang untukmu."

Lalu istriku menghampiriku. Tangannya meraih pisau di tanganku. Aku heran, saat tiba-tiba pisau itu tak melawan. Ia pasrah di tangan lembut istriku. Lalu istriku pun meraihku. Mengangkatku dari rendaman air banjir itu. Aku betul-betul diangkatnya. Saat dia tersenyum sepertinya aku kembali pada diriku sendiri.

"Sudah lepaskan saja." Ujar istriku.

Aku tak mengerti dengan ucapannya.

"Siapa yang harus aku lepaskan?"

"Bukan kamu."

Lalu istriku mengusap mukaku dengan kemesraan yang memang telah melekat padanya. Kemesraan yang menghilang selama ini. Tiba-tiba saja duniaku jadi terang. Hujan berhenti, ruang tempatku berdiri dimasuki cahaya serentak, air banjir yang menggenangi lantai tiba-tiba surut.

Semua menjadi terang kini. Dan, di sekelilingku tetangga-tetanggakku berdiri dengan peluh. Di antara mereka ada Juned yang terus menerus Azan. ***

*) Gubahan baris terakhir sajak Mata Pisau karya Sapardi Djoko.

Previous