Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

"Hei, Bego!" terdengar teriakan yang sedikit mengusik keasyikannya bermain. Dia mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara dengan sikap tak peduli.

"Hei, kau lihat suamiku?" tanya perempuan itu dengan memaksa.
"Mana kutahu. Itu bukan urusanku!" jawabnya jengkel.

"Hei, anak kecil, sopan sedikit bicara sama orang tua!" bentak Kak Minah. "Kau tahu, suamiku dibawa lari makmu?"

"Mana kutahu, itu urusan mereka!"

Mendengar jawaban itu, Kak Minah menjadi jengkel dan geram. Ingin rasanya perempuan itu meremukkan kepala botak anak kecil itu. Tapi Bego tak peduli. Dia kembali asyik dengan motor-motorannya.

"Kurang ajar! Kau berani kurang ajar sama orang tua. Dasar anak lonte!" makinya.
Yang dimaki tetap tidak peduli, seperti tidak mendengarkan apa-apa. Dia terus saja menyetir motor-motorannya. Sementara, Kak Minah semakin geram melihat ketak-acuhannya. Kak Minah seperti dipermainkan anak bandel itu.

"Hei, Bego. Tolol. Bloon. Aku sedang ngomong sama kamu. Dengar enggak?!" bentaknya.

"Siapa yang enggak dengar suara segede itu. Orang pekak pun pasti dengar," jawabnya masih dengan sikap tak acuh. "Suamiku dibawa lari makmu, tahu?"

"Memangnya kenapa?"

"Akan kucincang-cincang makmu. Dagingnya akan kukasih anjing!"

"Ya sudah, cari sana . Jangan bikin ribut di sini!"

"Kau memang anak kurang ajar!" Kak Minah melepaskan sandal jepitnya dan melemparkannya ke arah Bego. Sandal itu mendarat tepat di punggung anak itu. Bego yang masih asyik dengan mainannya terkejut. Sebelum sandal yang sebelah lagi melayang, anak itu sudah lari duluan. Tapi, Kak Minah tak peduli. Dikejarnya Bego sambil mengacungkan sandalnya. Bego terus lari semakin menjauh dari kejaran Kak Minah. Lantas menghilang entah ke mana. "Dasar anak haram!" makinya geram.

Kak Minah kembali ke rumahnya dengan perasaan yang teramat kesal. Ketika itu terdengar kembali kumandang adzan, menandakan telah masuknya shalat Magrib. Suara itu mentrenyuhkan hatinya. Namun, tak ada yang peduli. Orang-orang terus sibuk dengan pekerjaan dan dirinya sendiri, seakan tak ada waktu untuk memikirkan Tuhan.

Sampai di rumah, Kak Minah kembali meronta-ronta, menangis seraya menghujati Ina yang membawa lari suaminya. Suara itu tak banyak mengundang orang. Yang datang hanya Kak Lela dan Kak Rabiah saja, tetangga terdekatnya. Mereka kembali lagi menenangkan Kak Minah.

"Sudahlah, lupakan saja, Dik," bujuk Kak Rabiah.

"Apa? Lupakan? Mana bisa!"

"Serahkan saja semuanya sama Tuhan. Allah pasti akan melemparkannya ke dalam neraka Jahanam!"

"Iya," Kak Lela menimpali, "Kita semua harus mengingatNya selalu. Ini semua sudah kehendak Tuhan. Dia hanya menguji keimanan kita. Kita sabar apa enggak."

"Betul," sambung Kak Rabiah. "Dulu sewaktu suamiku dibawa lari lonte, aku tetap sabar, aku tak pernah peduli. Mana bisa aku peduli sama lelaki hidung belang. Karena aku sabar dan selalu mengingat Tuhan, aku mendapat jodoh baru dengan Bang Leman, biarpun giginya ompong dan mukanya runyam, kan lumayan daripada menjanda terus."

"Apa iya?" tanya Kak Minah.

"Lha, iya. Yang penting kita selalu ingat dan mohon petunjuk padaNya. Iman kita akan bertambah," sambut Kak Rabiah lagi.

"Apa bisa kita bertambah iman kalau tidak sembahyang?"

"Lha, yang penting niat. Niat kita baik. Allah tahu itu," sahut Kak Rabiah. Memang mereka semua jarang sembahyang, kecuali bulan puasa dan hari raya. Selebihnya sesekali ketika ada penyambutan parayaan Maulid Nabi dan Israk Mikraj.

Di sebuah lorong sempit yang terapit rapat rumah-rumah, Bego sedang menendang-nendang motoran kaleng susunya yang sudah peot-peot. Anak ini tidak peduli bau busuk sampah-sampah yang bertebaran di sepanjang lorong, jalan hingga ke rumah-rumah di kampung kumuh itu.

"Payah, Kak Minah," dumalnya. "Suaminya hilang bikin aku susah. Entah untuk apa diurusin. Orang tua memang aneh-aneh. Selalu bikin susah. Enggak bisa lihat orang lain senang. Suami hilang aja diributin!" Bego berhenti sesaat sambil menendang kaleng susu reotnya ke sungai. "Aku, mobilku rusak, enggak bikin ribut. Ah, memang payah dia!" sambungnya.

Sayup-sayup terdengar lagi kumandang adzan, menandakan masuknya shalat Isya. Masih suara dan nada yang sama. Orang-orang kampung itupun masih dengan sikap yang sama, tak begitu peduli pada panggilan itu.

Previous