Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Aku tersenyum malas,'berdecak kecil. Kukira, kota tempat aku tinggal tidak menempatkan urusan makanan di tempat yang paling penting, sebagaimana kota-kota lain. Teman-temanku bilang, itu karena tradisi orang-orang di sini yang lebih senang makan di rumah ketimbang di luaran. Bisnis makanan akhirnya tidak begitu ramai. Untuk itu jika suatu hari menginjakkan kaki di kotaku, jangan tanyakan tempat makan yang enak. Aku tidak akan pernah tahu ke mana membawamu, selain ke rumahku. Aku bisa menyuguhkan segelas teh aroma melati dan satu toples kacang tojin sebelum hidangan makan malam di meja makan, tentunya. Tapi kau telah menolaknya sebelum aku berpikir apa aku harus mengganti menu kacang tojin itu dengan yang lain atau mengganti teh aroma melati dengan aroma asam manis kopi Sumatera.

Kau tertawa sangat lebar, "Kenapa kelihatan bingung."

"Entahlah," ujarku ringan.

Tawamu tertahan. "Aku tahu kau sedang berpikir ingin mengacaukan pertemuan ini, dan kau tengah memainkan perasaanmu."

Kembali kita saling diam. Kaki kita bergerak lambat menyusuri Jalan Soeprapto yang tidak terlalu ramai; beberapa remaja berseragam sekolah tertawa ceria, penjual CD bajakan di pinggir jalan tengah termenung dan sesekali berusaha tersenyum pada orang-orang berwajah dingin yang kebetulan lewat. Berada di Jalan Soeprapto, mengingatkanku pula pada beberapa kawan. Andom dengan bukubuku tergelar di lantai dingin depan sebuah toko manisan (barangkali milik Cina), masihkah dia memasang tulisan "menerima buku bekas". Juga Bagus dengan macam-macam kerajinan dari kulit kayu. Lalu sedang melukis apakah Safrin dan Topik sore ini, ketika udara mulai terasa panas dan awanawan bergerak lambat di langit sana . Acank, apa kabar. Mungkin saja ia tengah mengaransemen sebuah lagu baru atau menulis puisi pendek. Sudah lama aku tidak bertemu mereka. Beberapa bulan ini aku lebih sering keluar kota, mengikuti seminar atau acara. Alasan lain, bisa jadi karena aku mulai ngeri berada di Jalan Soeprapto, apalagi harus melewati Simpang Lima, tempat puluhan mata kanak-kanak dibiarkan berhamburan. Bergulir begitu saja.

"Tunggu sebentar, aku belikan kau es krim." Kau berhenti dan singgah di salah satu restoran siap saji yang sedang sepi pengunjung.

Beberapa menit kemudian kau keluar dengan dua mangkuk kecil es krim rasa vanilla yang disiram coklat di atasnya. Kesukaanku.

"Kau gila," kataku,"'kita jarang sekali menemukan seseorang makan es krim sambil berjalan di sepanjang Jalan Soeprapto, apalagi ia seorang perempuan, dan berumur hampir tiga puluh tujuh tahun."

"Kalau lelaki?"

"Kadang lelaki bisa makan di mana saja. Mana ada orang yang begitu peduli. Lelaki bebas peraturan."

"Lelaki yang malang, hahaha...." Kita tertawa begitu ekspresif. Hatiku lumer sebagaimana es krim mulai menetes di jejari tanganku. Sudah lama aku tidak begini terbuka, telah bertahun-tahun ini. Tepatnya sejak aku menolak seseorang yang mencuri seluruh diriku, dari ujung rambut sampai ujung kaki, karena satu alasan: aku benci sebuah pernikahan, sementara dia menganggap sudah waktunya untuk menikah atau akan terlambat. Perpisahan yang membuatku demikian biru. Beberapa hari aku hanya bisa berada di tempat tidur. Membuka kembali beberapa surat lama dan merobeknya kecilkecil jika ternyata aku tidak menyukai beberapa kata di dalamnya.

Kami memutuskan duduk di depan toko sepatu, dekat sekelompok anak muda menjual macam-macam souvenir.

"Kenapa kau ingin kita bertemu di kota kecil ini," aku bertanya pelan.

"Kau terlalu terburu-buru," sindirmu.

Kembali kami tertawa, tidak peduli menjadi tontonan orang-orang.

"Waktu bergerak cepat, bukan. Sebentar lagi malam datang," kataku.

"Aku ingin kita ditawan malam tepat di Jalan Soeprapto ini, tempat sepuluh tahun lalu kau menolakku. Dulu aku terluka jika mengingat peristiwa itu, tapi sekarang aku sudah bisa tertawa."

Aku menangkap segaris sembilu keluar dari tubuhmu, dan matanya mengarah tajam ke dadaku. Jangan. Jangan. Itu sudah berlalu. Telah diredam waktu. Aku merintih. Aku mengeluh. Aku cair bersama sisa es krim dalam mangkuk kecil. Aku ingin jadi es krim. Manis. Harum. Lezat. Terutama karena es krim disukai anak-anak. Aku mau anak-anak. Pipi montok, aroma bedak, minyak telon dan tangis keras malam hari. Tapi aku tidak bisa menikah. Aku takut tidak cocok. Aku ngeri membayangkan perpisahan. Agamaku melarang perceraian kecuali kematian. Lelaki itu meniup udara kosong. Aku menyandarkan tubuh yang mulai terasa berat pada tiang bercat putih kusam. Sampai hari gelap, aku dan dia belum beranjak. Kami hanya diam serupa patung perahu di Simpang Lima . Aku tinggalkan dia. Aku berlayar naik perahu itu. Pelayaran yang hening dan sepi. Hingga dia menarikku kembali dan berbisik, ayo kita pulang! Dan aku tahu, itu artinya aku dan dia sudah berakhir.

Sepuluh tahun, dulu.

Sudah berlalu. Jauh.

Kini ia kembali tumpah dan berceceran di Jalan Soeprapto. Betapa aku ingat sekali detailnya, betapa aku ingat warna muram hari malam. Burung-burung walet berterbangan di atas ruko di Jalan Soeprapto. Suara mereka riuh, membuat tubuhku meremang. Suara yang membuatku tidak pernah nyaman mendengarnya. Entah ada apa.

Jalan Soeprapto akan makin tua. Orang-orang pergi. Kau pergi. Lantas aku menjadi perempuan yang menumpuk ketakutan-ketakutan di atas kedua kaki. Lalu masihkah mata kanak-kanak akan berhamburan di Simpang Lima, dan tidak pernah tahu jalan pulang, seperti aku yang tidak pernah bisa pulang pada lelaki.

"Kau tahu besok barangkali matahari benar-benar lupa untuk kembali hingga kita terkurung dalam malam selama-lamanya," kau berbisik.

Aku tidak mungkin bisa, kataku untuk kesekian kali. Aku harus keluar dari Jalan Soeprapto, melangkahkan lagi kedua kakiku yang makin berat ke tempat-tempat terjauh. ***

Bkl-Pdg, 07-08

Previous