Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Kembang Dewaretna

Cerita Pendek Yanusa Nugroho

”Mas, ayo, sudah setengah delapan, lho…,” suara itu terdengar lembut meskipun ada nada khawatir ketika mengucapkan ajakan itu.

Laki-laki yang masih mencangkung dengan sebatang kereteknya itu menoleh sesaat. Sepasang matanya menatap perempuan yang menyapanya.

Yang ditatap merasakan kekosongan. Sepasang mata itu seperti lorong panjang dan gelap tak berlampu; seperti jalan yang dulu sering dilaluinya.

”Sampean sakit?” tanya perempuan itu.

Si lelaki menjawab dengan gelengan kecil. Tak lama kemudian dia membuang rokoknya, bangkit dan berjalan masuk.

Di dalam ruangan sempit itu bau bedak menusuk hidung. Celoteh di sana-sini menebar. ”Lho, Prabu Danaraja kok masih pakai sarung…,” mungkin itu suara Kemit yang malam itu sudah siap dengan kostum Bilung.

Perempuan yang tadi memanggil si lelaki, dan mengikuti langkahnya tepat di belakangnya, memberi isyarat kepada orang yang nyeletuk tadi agar 'jangan mengganggu'. Beberapa pasang mata yang sempat menyaksikan 'kode' itu bertanya-tanya dalam hati. Kemudian ada bisik-bisik dalam bisu. Ada gerak-gerik tanya jawab lewat tatapan mata.

Di luar panggung, Yu Marni sudah nembang. Gamelan sudah berbunyi, dan satu dua penonton sudah duduk manis di kursi masing-masing; tentu saja dengan sebungkus kacang rebus atau rokok yang mengepul di antara jari. Kang Siman, si pengendang dengan nikmatnya 'ciblon' riang membangkitkan semangat. Penonton mengalir dan memilih kursi-kursi yang masih kosong.

Laki-laki itu kini sudah selesai memoles wajahnya. Sejenak ditatapnya wajah di cermin itu. Dada, lengan hingga leher, menguning oleh lulur, menutupi beberapa bercak panu yang mengembang di sekitar tengkuk. Dia tinggal mengenakan mahkota.

Seharusnya, malam ini aku Rahwana, bukan Danapati, begitu pikirnya. Ada gerakan melumat di gerahamnya. Apakah karena dia lebih tinggi besar, kemudian terpilih menjadi Rahwana?

Laki-laki itu seperti mengutuki malam.

Tanpa disadarinya, Rahwana sudah berdiri di sampingnya.

”Mas?”

Teguran itu membuat Danaraja terkejut. Matanya menatap, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang di depan matanya adalah sosok yang nyata.

”Mas? Masih mumet?” tegur Rahwana dan itu membuat Danaraja yakin bahwa dirinya tidak bermimpi. Benar, beberapa hari ini sakit kepalanya serasa meremukkan tengkorak. Kemarin malam, dia bahkan tak mampu membuka kelopak matanya. Setiap denyut jantung, seperti dentuman mesin pemasang tiang-tiang pancang gedung.

Sesaat kemudian Danaraja tersenyum. Tampak pahit di mata Rahwana.

”Kalau sampean mau, masih ada waktu….”

Apa maksudnya? Tukar peran? Ah, bukankah kau kini raja yang berkuasa? Bagaimana mungkin kau mau bertukar peran dengan orang yang bakal mati?

”Sudah. Kita jalani saja peran kita masing-masing…,” ucapnya mencoba meredam gejolak batinnya.

”Jujur saja, saya kurang pas dengan peran ini…,” tambah Rahwana sambil meraih bangku kecil, kemudian duduk di samping Danaraja.

”Biar nanti penonton yang menilai….”

”Biasanya, kan , Mas Kadi, penonton menunggu Rahwana yang itu, bukan yang ini,” ujar Rahwana sambil menatap bayangan di cermin. Meski remang-remang, kedua orang itu bisa menyaksikan dua wajah hampa memantul di cermin retak yang sudah entah berapa lama menemani mereka.

”Bener, lho, Mas, kalau sampean mau, saya masih bisa jadi Danaraja.”

”Dik, ini sudah talu. Adegan pertama, kan bukan wilayah Lokapala, tetapi justru Ngalengka. Kamu harus kiprahan di adegan awal dan ini tinggal beberapa menit lagi.

Sudah. Kita jalani apa yang sudah jadi bagian masing-masing.”

Rahwana menghela napas. Danaraja mengenakan mahkotanya, sedikit mematut diri, lalu beranjak pergi.

Gending bertalu-talu, mengiringi gerak tari para raksasa kerajaan Alengka. Namun semuanya seperti jauh terbawa angin kemarau, di telinga Mas Kadi. Dia di halaman belakang panggung, yang hanya satu meter dari bibir kali mampet. Mata Mas Kadi menatap langit hitam berbintang. Bau busuk kali mampet menusuk hidungnya.

Haruskah dia menyalahkan Ki Purwo, dalang dan pemilik rombongan Wayang Wong ”Ngudi Budhaya” yang kini sekarat, setelah hampir 30 tahun mendenyutkan kesenian? Tidak. Orang tua itu sudah seperti bapak baginya, juga bagi hampir 100 orang anggota rombongan itu. Tentu Ki Purwo punya pertimbangan. Tetapi mengapa, pertimbangan yang selama ini bisa diterimanya, kali ini begitu menyakitkan? Mungkinkah sebetulnya dia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh orang lain?

Mas Kadi mengeluarkan sebatang keretek. Dua puluh lima tahun dia menjadi Rahwana, jika itu mengambil pakem Ramayana, atau Baladewa, jika mereka mementaskan pakem Mahabarata. Dua peran yang sangat dikuasainya dengan baik.

Dan malam ini adalah malam pertama dia tak berperan sebagai Rahwana. Lakon Kembang Dewaretna, yang disajikan malam ini, menuntutnya berperan sebagai Prabu Danaraja, yang akan berperang melawan Rahwana dan mati di tangannya. Rohnya diangkat ke suralaya dan mendapat tugas khusus sebagai penjaga Kembang Dewaretna; bunga bagi kelangsungan hidup para kera di dunia.

Next