Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Kembang Gula

Cerita Pendek Yessy A.F. Sinubulan

SEMUA bermula dari jaket cokelat tua yang kau lekatkan di tubuhku.

***

Pagi itu aku bangun lebih cepat dari biasa. Segera kubereskan sisa mimpi semalam yang masih menempel di seprai. Setelah itu kubuka jendela agar mataku leluasa memandang ke jalan di seberang pagar. Dia sudah mengirim surat seminggu yang lalu, dan harusnya hari ini surat itu akan tiba. Aku sudah tidak sabar.

Sejam. Dua jam. Tidak ada pak pos yang datang. Aku merasakan suhu kamar makin gerah. Rambut yang belum sempat kukeramas tadi pagi, sudah mencapai pusu tingkat tinggi.

Tiga Jam. Aku memutuskan untuk keluar pagar. Aku berdiri di pintu pagar dan memandang ke ujung jalan. Tidak ada tanda-tanda pak pos akan datang. Mungkin besok.

***

Kata ibu, selama hidup aku harus mencari kembang gula sebanyak-banyaknya. Kembang gula itu di simpan di antara awan-awan, dan dilindungi penjaga langit yang berbadan kekar.

Selain bermacam tanaman yang ditanam ibuku di tanah kering, tumbuhlah aku si rumput liar yang senantiasa mengusik hari-hari ibu. Tidak seperti tanaman ibu yang tumbuh dengan susah payah karena kemarau, tumbuhlah aku dengan subur ditengah cuaca yang tidak tentu.

Walaupun aku menganggap diriku adalah rumput liar, tapi kata ibu aku adalah serupa kembang gula baginya. Sebelum tidur ibuku selalu berpesan bahwa aku harus mencari kembang gula untuk diriku. Kembang gula itu tersimpan di antara awan-awan putih. Dan untuk ke sana ibu akan memberikanku sayap yang telah dipersiapkannya selama bertahun lamanya hanya agar aku bisa terbang.

"Kenapa ibu tak ikut mencari kembang gula bersamaku?"

"Dengan memiliki kamu, ibu serasa memiliki seluruh kembang gula di dunia."

***

Maka pagi itu kuputuskan untuk meninggalkan rumah. Patung wanita dengan seorang anak kecil yang memelas dibawah kakinya, masih berdiam di gapura desa. Tangan anak itu hampir lepas dari genggamannya karena semen yang menyatukannya hampir patah.

Di retak-retak tanah sawah yang kering telah kusisipkan berbagai mimpi sebelum aku benar-benar pergi jauh. Telah kutitip kata untuk menjaga ayah, ibu, kakak, dan rumah yang masih berdinding papan. Aku tahu jika hujan turun, retak itu akan tertutup dan berganti lumpur yang akan menumbuhkan pesan. Dan ayah, dan ibu, dan rumah papan bisa membacanya. Aku tahu itu.

Sekali lagi kupalingkan mataku ke belakang sebelum benar-benar pergi dan menghuni langit dan mimpi baru. Bantal lama telah terlempar keluar jendela. Digerogoti anjing-anjing yang kelaparan. Bersama bantal itu mungkin telah terlempar pula seperiuk masalah atau malah seperiuk harap yang masih terpendam.

***

Kutemui kerumunan orang di stasiun. Semua tiket telah habis, yang ada tinggal tiket yang berdiri maka kuputuskan mengikut saja, walau dengan risiko kaki kram. Hup, aku melompat dan sekarang kereta telah mulai melaju. Kupegang erat-erat pegangan kereta dan menutup mata dengan kencang, berharap kereta segera tiba.

Ini adalah pengalaman pertama keluar dari rumah dan aku tidak tahu apa yang akan kuhadapi di depan. Hutan belukar ataukah taman yang penuh dengan kembang gula, penuh dengan orang yang selalu tersenyum, selalu bahagia, dan segalanya mencukupi.

Belum separo jalan mataku sudah mengantuk, kakiku sudah mulai mengeras. Kereta api ini seperti tempat pembuangan sampah, penuh denga manusia dengan berbagai macam aroma dan bawaan. Di belakangku seorang ibu membawa seekor ayam dalam keranjangnya, dan sesekali kotoran itu akan menghias kaki penumpang.

Dalam perjalananku mencari kembang gula, tidak kutemukan seorang pun yang mengenalku. Setelah sekian lama baru aku menemukan dia. Aku menemukannya ketika napasku mulai melemah karena padatnya kereta yang kutumpangi. Ia tiba-tiba membuka jendela, membiarkan angin membawa udara ke paru-paruku. Aku sangat bersyukur asmaku tidak sampai kambuh.

Aku melihatnya Bu, melihat kembang gula yang kau ceritakan itu. Kali ini warnanya lebih menarik, putih bersih. Plastiknya berwarna merah dengan totol-totol kuning. Ya Bu, aku melihat dia tersenyum padaku, maka kuhampiri ia bu. Siapa tahu ia salah satu dari kembang gula yang kau ceritakan itu.

Aku tidak berani menyentuh wajah kembang gulanya karena aku takut akan meleleh di tanganku. Bahunya seperti ranjang kecilmu Bu, sehingga mengundang kepalaku untuk rebah, menciptakan mimpi untuk sesaat.

***

Next