Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Rumah untuk Kemenakan

Cerita Pendek Iyut Fitra

Di bingkai jendela rumah gadang, Kalan menatap jauh ke halaman. Gelap yang terpampang. Sebuah panorama kelam dari malam yang menerjang. Segelap hatinya yang berselimut gundah. Getir. Ngilu. Dan serasa ada sayat yang tak putus-putus membuat dadanya tak henti dari kecamuk. Pikirannya kusut.

Sebulan yang lalu, setelah percintaannya yang panjang dengan Darti, perempuan berambut lebat yang bekerja sebagai pelayan toko dengan gaji yang teramat minim, akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Tak ada yang dapat mereka janjikan, sebagaimana mereka tidak bisa membuat komitmen apa-apa selain hidup yang sederhana.

”Setelah menikah, kita bisa tinggal di rumah kecil milik ibu,” ucap Kalan pada Darti satu ketika. ”Karena mengontrak rumah adalah sebuah beban yang sulit kita tanggung. Belum lagi tagihan listrik. Beli beras. Minyak. Sambal. Sabun. Iuran keamanan. Iuran ini. Iuran itu. Banyak lagi. Aku sudah bicarakan semua itu pada ibu, dan ibu sangat mengerti dengan keadaan kita,” terang Kalan sejelas mungkin, berusaha untuk meyakinkan Darti dengan pendapatnya.

Darti hanya menurut waktu itu. Mengikuti kehendak calon suaminya yang hanya tukang ojek. Karena bagaimanapun, angsuran motor yang harus dibayar tiap bulan tentu sebuah kondisi yang amat rumit untuk hidup lebih sejahtera, apalagi bila mengontrak rumah. Darti memahami semua itu. Sebab itu pulalah ia tak menuntut apa-apa, selain getar cinta yang telah lama mereka pertahankan, serta sedikit kebahagiaan yang diimpikan.

”Tidak masalah. Kalau kalian mau tinggal di rumah kecil tersebut, silakan. Toh, rumah itu milik ibu,” jawab ibu ketika kuutarakan keinginan untuk tinggal di rumah kecil tersebut. ”Tapi bagaimanapun, kalian tentu harus membenahinya agar layak untuk dipakai. Karena orang yang dulu mengontrak rumah itu membiarkan saja rumah berantakan. Atapnya sudah banyak yang bocor. Dinding-dinding juga bolong. Dapur kotor. Catnya sudah kusam. Dan lagi rumah tersebut belum ada kamar mandi,” tambah ibu menjelaskan keadaan rumah kecil tersebut.

Tapi Kalan dan Darti telah sepakat untuk menempati rumah kecil itu. Daripada mengontrak, itu pikiran mereka. Mencari rumah sewa sangat susah. Dan lagi tak ada sewa rumah yang murah saat ini. Belum lagi jarak Darti dari tempatnya bekerja dan jarak Kalan dari tempat mangkal ojeknya adalah hal yang mesti dipertimbangkan. Belum lagi kerukunan bertetangga dengan lingkungan baru. Pada kesimpulannya, rumah kecil ibu adalah sebuah pilihan yang strategis bagi mereka. Tekad Kalan dan Darti sudah bulat.

Setelah pernikahan yang tanpa pesta perkawinan, mereka pun pindah ke rumah kecil itu. Meski ada beberapa barang-barang rumah tangga yang masih bisa dipakai yang tertinggal di rumah itu, seperti dipan tua, tikar pandan, rak piring yang sudah reyot dan sebuah lemari usang, tapi tentulah tidak mencukupi untuk sebuah keluarga baru yang belum memiliki apa-apa.

”Kita harus beli piring dan gelas.”

”Kita harus buat kamar mandi.”

”Kita harus ganti atap yang bocor.”

”Kita harus tambal dinding-dinding yang bolong.”

”Cat.”

”Loteng.”

”Oya, periuk dan kuali. Sekaligus sendok.”

Ada saja yang diucapkan Kalan setiap malam, setiap mereka akan menjelang tidur setelah keletihan bekerja. Darti setuju. Sangat setuju. Bukankah yang akan diperbaiki dan dibenahi adalah rumah yang sekarang milik mereka.

Next