Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

TAPI, ayah ibuku itu tak betah lama di rumah kami di kota . Mukanya juga tak berseri. Padahal kugulungkan dia rokok, agar senang dan betah. Rokoknya daun enau, tembakaunya hitam berserat kasar. Kugulung sepuluh buah, kuikat dengan karet, aku taruh di selapah rokok. "Tinggal ambil kalau Kakek mau merokok!"

"Terima kasih." Wajahnya biasa saja, tidak berseri seperti di kampung.

Sekali, ketika dia termangu pagi-pagi di beranda dikawani pisang goreng dan kopi usai berbincang dengan ayah-ibu dan menyebut mau pulang, kutanya: "Mengapa Kakek tak betah di sini? Kenapa muka Kakek tak berseri di rumahku?"

"Karena tak bisa menghormati matahari," ujarnya. "Jangan-jangan nanti malah jadi ular!" Dia lirik abangku yang bergelung di kursi.

"Di sini kan ada matahari! Ada pagi!" protesku jengkel, juga sedih.

Ia tatap mataku, lalu wajahnya perlahan berseri. "Kau suka ayam?" tanyanya.

"Suka. Apalagi gulai ayam campur nanas muda buatan nenek!"

"Kita buat kandangnya di belakang?" katanya tersenyum.

"Ayo!" aku gembira. Tertawa-tawa kami pun ke pekarangan belakang. Sempat kudengar nenek berucap pada kakak di dapur, "Lihat kakekmu, diajaknya adikmu ke parak! Cucu hendak sekolah, diajak ke parak!" Suara nenek lalu berubah lembut-sabar mengajar kakak memasak.

Pulang sekolah kulihat kandang itu di halaman belakang. Juga tiga ekor ayam. Seekor jantan, dua betina; dibeli kakek saat aku sekolah. "Keluarkan dari kandang dan beri makan sebelum sekolah. Petang giring ke kandang," katanya.

"Beres," kubilang. "Kusuruh juga mereka berkotek bila aku tertawa!"

Ketika ia datang lagi dibawanya bibit cengkeh dan kulit-manis. Kami tanam di belakang, pagi-pagi, saat matahari menjalari pohon dan daun. Saat ia pulang aku sibuk dengan ayam, cengkeh, kulit-manis. Saat kakek datang lagi mukanya berseri melihat ayamku beranak, cengkeh, kulit-manisku makin besar. "Seperti kau!" katanya tertawa menepuk bahuku.

Sementara itu abangku tak suka lagi bergelung pagi-pagi. Usai shalat Subuh ia lari-lari dengan kawannya seantero kota. Mereka mau masuk akademi militer tamat SMA. Abang kelas tiga. Umurnya enam tahun di atasku, empat tahun di atas kakakku. Badannya tinggi besar seperti kakek. Bila ayamku masuk rumah disepaknya terkeok-keok. Aku marah. Apalagi, habis lari ia curi telurku. Ditelan mentah-mentah. Kulitnya berserakan depan kandang. Oh. Ibu saja beli! Uangnya aku tabung. Ayah pun berniat beli cengkeh dan kulit-manisku nanti buat kedai rempah beliau. "Tapi, aku tak mau di bawah harga pasar!" kataku.

"Boleh. Asal kau petik cengkeh dan kuliti kulit-manis itu sendiri."

Wah. Memetik menjemur cengkeh tak sulit. Panen kulit-manis? "Di bawahnya bolehlah," aku mengalah. Ayah senyum, menyalamiku. "Berniaga tidak boleh kaku," ujarnya.

"Eh, mana abangmu?" tanya kakek pagi-pagi, waktu dia berkunjung pula.

"Lari-lari. Dia mau jadi tentara. Sekarang lari pagi melulu, seperti kuda!"

"O, bagus itu."

"Bagus apa! Pacarnya ikut lari-lari!"

Mungkin kakek tahu aku kesal karena telurku raib. "Kau juga hebat!" katanya. "Ayo, kita lihat ayam, cengkeh dan kulit-manismu. Sebesar apa sekarang."

"Kakek belum mengopi."

"Nanti diantar kakakmu dua gelas!"

Kakak perempuanku waktu itu sudah SMP. Rajin, cantik, pandai masak seperti nenek. Kulitnya pun langsat persis nenek. Kalau nenek lengah ia ikut memberi makan ayam, kambing, berkeliaran dalam parak. Mukanya berkilau dicium matahari. Pipinya merah seperti tomat. Kakek tertawa senang. "Bagus, Gadis! Kau akan tumbuh sehat-cantik seperti nenek dan ibumu. Rebus pisang itu, ya. Kita makan nanti sama-sama!" Kakakku tersenyum, mengangguk, membiarkan pipinya terus dicium matahari.

"Ayo!" ajak kakek lagi. Dan kuikuti dia ke pekarangan belakang.

*

AKU sudah selesai kuliah dan kerja di Ibu Kota ketika kakek wafat. Aku tidak pulang. "Nanti saja cuti, ziarah," kata ayah di telegram.

Abangku juga tak pulang. Tugas di Timur Tengah, sebagai komandan pasukan perdamaian. Hanya kakak melepas kepergian kakek. "Beliau pergi di pagi hari, ketika matahari naik," tulis kakak dalam surat . "Muka kakek berseri-seri. Aku ingat saat kita kecil. Ketika kau menunggang kambing, saat kau dan kakek tertawa-tawa menyambut pagi, mengurus ayam, kulit-manis, cengkehmu. Wajah kakek persis itu saat berangkat menemui Sang Pencipta yang sangat dia hormati."

Aku terharu, dan sepanjang hidupku aku ziarahi beliau. Pagi-pagi, sebelum ke kantor aku masuki kebun dan kurawat bunga dan pohonan yang ada di situ. Kubiarkan tubuh dijilat matahari. Ketika pensiunku tiba kupilih tinggal di luar kota , kuisi hariku dengan berkebun dan beternak ayam.

Bila cucu-cucuku datang kuajak mereka ke kandang ayam dan kebun cengkeh. Istriku mantan model itu kadang mengomel. "Kakekmu itu... cucu mau liburan diajak mengurus ayam!" Ia terpekik melihat cucunya telanjang dada. "Sini!" Beberapa cucu mendekat. Lainnya tertawa-tawa. "Tenang, Nek!" Dan terus berkeliaran dalam kebun dicium matahari. "Kami menyambut pagi bersama Kakek!"

Kadang kakak perempuanku berkunjung dan cucunya pun kubawa ke kandang ayam dan kebun cengkeh. Kakak tersenyum. Matanya nanap menatap tubuhku dijilat matahari. "Suamimu itu...," katanya bergetar kepada istriku.

Abangku jenderal purnawirawan bintang-dua juga kerap datang. Pagi-pagi dia bangun, berjalan-jalan dengan istrinya yang tetap cantik bak di SMA. Tapi mereka tak kuat lagi lari-lari. Maklumlah.

Dan suatu pagi, usai jalan-jalan, abang terpana di luar kebun menatapku. Lalu berteriak, "Hei! Aku melihat kakek di situ. Itu, di sebelah kanan kau!"

"Ya!" kubalas berteriak. "Aku selalu bersama kakek!" Aku terbahak-bahak dan ayam-ayamku berkotek. Bulu-bulunya berkilau disinari matahari seperti tubuhku yang berpeluh. Tiba-tiba abangku ikut terbahak-bahak lalu kulihat dia menjejak tanah, masuk ke dalam kebun.

***

Previous