Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Anak Inkubator

Cerita Pendek Yonathan Rahardjo

Bayi mungil itu meringkuk di dalam inkubator. Ia bernafas cukup berat, kembang-kempisnya dadanya yang di dalam rongganya meringkuk jantung dan paru-paru. Menjadi pratanda betapa organ-organ vital bagi si anak manusia yang baru dilahirkan ibundanya itu mesti menghadapi dunia yang belum tentu ramah pada kehadirannya.

Ibunya masih tergeletak di tempat tidur rumah sakit. Wajahnya yang dalam kondisi sehat berrona hitam manis semu kemerahan bila menunjukkan suatu reaksi sikap tertentu, kini pucat. Leher yang menyangga kepalanya tak bisa menolak ketika kepalanya yang pada tempatnya ditumbuhi rambut bergelombang itu terkulai lemas.

Ayahnya-lah yang harus menunjukkan sikap kasih sayang super penuh untuk menjadi penghubung antar insan yang disayanginya itu dengan insan-insan lapis kedua dan ketiga dalam lingkaran kehidupan mereka.

"Lik, anakmu bagaimana?"

"Masih di inkubator, Bu De.."

"Bagaimana ibunya?"

"Masih di ruang bersalin."

Rona panik terpancar dari roman muka mereka. Perempuan yang bertanya kepada ayah anak mungil yang baru lahir itu pun menjadi salah satu pemerhati, bersama seorang lelaki, suaminya. Mereka menyediakan waktu untuk menjenguk mereka setiap hari. Bersama keluarga dan teman kedua orang tua si bayi.

Bobot si bayi yang di bawah rata-rata, dengan kekuatan jantung yang kerjanya mengkhawatirkan, mau tidak mau menyandera mereka untuk intensif ulang-alik rumah tinggal-rumah sakit.

Begitu waktu cepat berlalu.. Beberapa tahun kemudian anak inkubator yang lemah itu sudah tumbuh menjadi remaja yang gesit. Namun tetap saja ia disebut dengan julukan anak inkubator.

Suatu sore, ibunya yang telah melahirkan dengan susah payah di rumah sakit bingung.

"Di mana anakku?"

Ketidakadaan anaknya di rumah merupakan teka-teki. Anak masih belum dewasa, sudah lenyap tanpa ada pemberitahuan.

"Mungkin di rumah temannya."

Tapi teman yang mana?

Perempuan itu pun bersama suaminya, mencari tahu pada anak yang dikiranya temannya. Tidak ada. Ternyata anak inkubatornya punya teman banyak. Dan belum tentu anaknya bersama salah satu di antara mereka. Hingga terbercik kabar, salah satu dari teman anak mereka itu telah pergi bersama ke ibukota propinsi. Naik kereta.

Maka lebih paniklah kedua orang tua itu. "Telepon Mas, Puteranya Bu De."

Mas, keponakan mereka yang di ibukota provinsi pun menjadi tumpuan ikut dalam pencarian. Ia yang dianggap tahu seluk-beluk kota metropolitan itu pun membuang agendanya yang bisa diganti dengan agenda pencarian anak inkubator, adik sepupunya itu.

Keponakan orang tua itu memastikan ke mana sesungguhnya adik sepupunya itu kelayapan tak tentu rimba di kota besar macam ibukota provinsi. Dianggapnya adiknya masih terlalu kecil untuk bisa menghadapi hiruk-pikuk kota besar yang hanya mengenal orang-orang besar. Itu dalam pandangan rata-rata di keluarga mereka.

Namun, Mas anak Bu De Padahal berpendapat dengan relatif lebih mudahnya masyarakat memperoleh bahan makanan sumber gizi, kedewasaan fisik dan hormonal yang berpengaruh pada kedewasaan sel-sel otak anak inkubator akan menjadikannya pun lebih cerdas dari perkiraan orang tuanya yang mengkhawatirkan ketidakberdayaannya menghadapi keganasan kota. Meski, anak inkubator sudah lebih dari dua hari tidak pulang ke rumahnya di sebuah kota kecamatan kawedanan di antara Kota Besar dengan Kota Kecil kampung halamannya.

Mas anak Bude menjadi orang paling sibuk hari itu. Mas mencari adiknya di setiap sudut stasiun Kota Besar, Stasiun kereta api yang besar dan sibuk mengantar kepergian dan kedatangan orang dari dan ke arah barat pulau mereka. Menurutnya, kekhawatiran kedua orang tua anak inkubator sangat beralasan karena ia adalah anak satu-satunya. Ia pun masih tergolong darah dekatnya. Maka ia harus mendapatkan adik sepupunya dalam keadaan selamat dan baik-baik saja, kalaulah anak inkubator di stasiun itu.

Kedatangan dan kepergian kereta api di stasiun peninggalan penjajah Belanda itu ia rasakan dengan penuh selidik, apakah ada adiknya di tempat-tempat stasiun itu. Sejak matahari masih bersinar garang sampai yang berkuasa adalah keremangan dan kegelapan di tiap sudut stasiun yang tidak tersirami lampu, ia coba lebih teliti.

Di antara kerumunan penumpang yang datang dan pergi, ia harapkan tampak kepala adiknya yang rambut di kepalanya hitam kemerahan itu.

Pencarian Mas berbuah kesia-siaan karena adiknya itu tidak ia temui di stasiun itu. Ia laporkan hasil pencariannya pada ibunya di Kota Kecil melalui pesawat telepon yang saat itu kebetulan belum lama dipasang di rumah di Kota Kecil itu.

Next