Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Bertungkus Lumus

Cerita Pendek Martin Aleida

Dia menguakkan daun jendela keluar dan mempersilakan angin pagi menyongsong masuk dengan leluasa. Hati-hati disingkapkannya kain putih yang menutupi laptop di atas meja kecil, yang berdiri begitu rapat seperti hendak mencium bibir jendela. Beberapa saat dia berdiam diri dengan wajah cemas, seakan-akan benda yang tertutup di bawah kain putih itu cuma pembawa bencana. Dia meninggalkan tempatnya berdiri, kemudian datang lagi menenteng kemoceng. Kain penutup dia singkapkan dan debu yang tertidur di atas perangkat komputer itu dia kebutkan. Saban hari dia begitu, semacam ritus, selama hampir setengah tahun belakangan ini.

Baru sekali komputer itu dipakai, yaitu ketika putranya, yang datang menghadiahkannya, memberi petunjuk bagaimana cara kerja peranti terbaru itu. Sejak itu, komputer itu hanya terbaring di meja, di mana dia diletakkan dengan hati-hati dan rapi.

Pernah suatu hari perempuan itu diam-diam melepaskan katup laptop. Dia gugup untuk menenteramkan jantungnya yang tiba-tiba berdegup cepat begitu terlihat penampang keyboard, yang memuat begitu banyak tuts dan tanda-tanda serta petunjuk lain, yang tak pernah dia jumpai selama hidup. Dia kuatkan hatinya untuk melawan rasa enggan berhadapan dengan perangkat mesin paling dipuja zaman sekarang, dan mendorong dirinya untuk mencoba mengetik di situ. Dia menarik napas. Berdoa. Namun, tekanan ujung jari-jemarinya, yang terbiasa mengentak-entak di atas tuts mesin tik, membuat tiap huruf yang tampil di monitor berjejal-jejal tak bermakna. Dia mengeluh dalam. Dengan segera komputer itu dia matikan, kabel-kabel dia lepaskan, dan dia tebarkan kain seputih kafan menutupinya. Dia memejamkan mata dan menarik napas, membuat daun jendela di dekatnya seperti hendak turut berkeluh kesah.

Pagi ini, setelah membuka jendela, perempuan itu tak langsung menjauh. Dia memandang ke luar, melintasi daun belimbing, juga kersen, sementara bola matanya, yang sudah berbalut selaput keabuan, nanap memandangi papan nama bertuliskan Kursus Bahasa Inggris Rainbow, hitam di atas kuning, yang tegak di dekat pagar.

Rainbow, pelangi. Dia suka kata itu, karena dia pernah memberikan harapan begitu melambung—walau akhirnya harapan itu sirna dan dirinya lumat dan hina oleh kekuasaan—pada satu organisasi yang menggunakan perkakas berbentuk melengkung seperti pelangi sebagai lambangnya. Dia juga ingin menuliskan nama itu dalam bahasa Indonesia, tetapi kehendak pasar lebih kuat. Dan dia menyerah.

Di seberang bendul jendela, angin Desember mematahkan setangkai daun kersen kering. Patahan daun melayang melintasi mulut jendela dan menyelip di antara kerah kebaya perempuan yang berdiri memaku. Matanya menyelisik di antara daun-daun kering yang beterbangan di luar. Bukan daun kersen dan belimbing itu benar yang merenggut pandangnya, melainkan huruf-huruf di papan merek. Dia mengernyitkan dahi seraya menatap tajam huruf-huruf hitam yang menjentang. Hatinya terasa digulung duka. Sebersit air mata yang terasa hangat sesuam kuku menggenang di tapuk. Dia melihat huruf-huruf di papan itu sedang berguguran satu per satu. Buat dia, itu adalah alamat terakhir yang menandakan bahwa usahanya, yang berusia lebih dari duapuluh tahun, sudah membentur jalan buntu, dan tak siapa pun yang memerlukannya lagi. Ia mengusap bulir air mata dengan ujung kebaya.

Andra adalah murid terakhir yang datang menemuinya. Tanpa didahului basa-basi, murid kelas satu sekolah menengah atas itu, dengan tangan bergetar, jongkok memegangi lutut perempuan itu.

”Ibu, aku tahu aku akan kehilangan. Aku tahu, sulit bagiku menemukan kursus sebaik di sini, guru sehangat Ibu,” kata gadis itu terbata. ”Bahasa adalah soal perasaan dan hati, bukan masalah alat peraga.”

”Tidak. Takkan pernah. Aku sadar, dunia berubah begitu cepat, membuat aku jauh tertinggal. Percayalah, kau, juga teman-temanmu, akan menemukan yang lebih bagus. Orang setua aku ini sudah tak berguna. Sebuah komputer jauh lebih berfaedah,” kata perempuan itu menghibur. Dan dia teringat ketika anaknya menunjukkan jadwal pelajaran, lesson plan, dan bahan-bahan bacaan berhias gambar warna-warni, seperti pelangi, yang dikumpulkannya dari tempat kursus lain. Di sini, kertas pelajaran tampil dengan huruf yang majal, tintanya merekah pecah-pecah, karena karbon yang tidak rata.

Next