Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

”Ayah yang menginginkan aku berhenti, pindah. Dia ngotot betul pada kursus yang mengandalkan komputer, dan bukan pada manusia,” kata gadis itu lagi seraya memeluk gurunya. ”Kalau tergantung padaku, aku ingin tetap di sini. Tapi…, maafkan aku, Ibu.” Untuk pertama kali gadis itu merasakan pahitnya perpisahan. Dia tersedu dibuatnya.

Dua hari lalu, Karsih, Ambiya, dan Kerton datang berbarengan minta diri sambil bersungut-sungut mencerca kemauan orangtua mereka. Sebelumnya, Tami, murid yang lafal ”r”-nya begitu sempurna, terdengar lidahnya seperti bergulung dengan ujungnya yang nyaris menyentuh langit-langit rongga mulutnya. Juga Fajrul dan Fatma. Pokoknya, semua muridnya yang sepuluh orang, sudah datang hanya untuk mengucapkan selamat tinggal.

Laptop tak bisa berbuat apa-apa. Lantaran orang yang berada di belakangnya berpatah-arang dengan zaman. Dia merasa telah dilahirkan di satu kurun waktu yang tidak dia inginkan. Waktu yang telah merenggut harapan hidupnya. Tidak hanya cita-cita dan harapannya, juga kemuliaan tubuhnya. Begitu menyengsarakan hidup yang dia tempuh, sehingga ketika ada kesempatan bangkit, dia bukannya berdamai dengan waktu, tetapi malah melampiaskan dendam pada tanda-tanda kemajuan zaman. Dia bersikukuh tetap menggunakan mesin tik manual. Terdengar aneh, tentu, tetapi buat dia itulah kesetiaan.

Sebegitu getirnyakah zaman, sampai dia harus berkata tidak pada pencapaian peradaban? Cuma dia yang tahu. Kata tak pernah bisa menjadi cermin yang pas untuk jalan hidupnya. Camkanlah kisahnya ini: Akhir Oktober 1965, suaminya, seorang aktivis, dicari-cari tentara. Apakah sang suami turut membantai para jenderal di Jakarta, sehingga sang istri harus dijadikan sandera sampai suaminya tertangkap kelak? Dia tak pernah jumpa dengan suaminya itu lagi—yang seperti dia juga—adalah guru.

Bagaikan pelacur gudikan tak tahu malu dan tak laku, bokongnya ditendang sepatu larsa, dan dia dijorokkan bagai sampah ke dalam kamp konsentrasi—pusat penahanan yang tiba-tiba menjamur di kotanya menyusul peristiwa berdarah di Jakarta. Ditanya dengan membentak, di mana suaminya, dia menjawab tak tahu. Guru, mengapa berbohong?! pekik tentara memaksa. ”Saya memang tak tahu, Pak. Kami menikah baru beberapa bulan, mengapa saya harus berbohong,” jawabnya, membuat berahi si tentara terbakar. Kejujuran yang dititahkan kepada setiap guru yang baik, selalu menjadi pelita hatinya. Tetapi, di depan interogator yang haus darah, juga nyawa, pengakuan apa adanya hanya memancing bencana. Dia disiksa, diperkosa, untuk memperoleh pengakuan yang, demi Tuhan, memang mustahil.

Suatu hari, seorang kapten mendatanginya. Untuk seseorang yang baru disiksa habis-habisan, sikap perwira itu luar biasa. Dibelainya rambut perempuan kita itu. ”Kau bukan PKI. Kau aku bebaskan. Ikut aku,” katanya.

Dia dinaikkan ke jeep, dan diturunkan di sebuah rumah di luar kota.

”Bantulah aku, cuma berdua kita di sini,” rayu sang kapten. Dia mulai mencuci pakaian kotor yang dibiarkan tentara itu berantakan di bawah tempat tidur. Dia juga menyediakan makanan untuk paduka tuannya itu. Ketika luka siksaan yang dia tanggungkan berangsur sembuh, sang kapten merapat, merayu, dan menggiringnya ke dalam kamar, mencumbunya habis-habisan, hingga perwira jelmaan musang berbulu ayam itu, terkulai di puncaknya.

Hari-hari dilalui perempuan kita itu tak lebih dari sekadar seorang budak gratisan, malam-malam dia lewati tak lebih dari sekadar segumpal daging simpanan. Ketika dia sudah hamil dan melahirkan anak laki-laki, kapten itu mengabarkan dia dipindahkan ke pulau seberang, dan akan kembali menjemputnya. Kata-kata itu cuma janji kosong.

Bagi seorang perempuan, anak yang lahir dari rahimnya tak pernah menjadi anak haram. Hanya lelaki keji yang mengantarkan anak jadah. Bertungkus lumus dia membesarkan jabang bayinya dengan kemuliaan. Dia bekerja sebagai pelayan di sebuah toko busana. Sebelum berangkat kerja, dia mencari penghasilan tambahan, berjualan kue di sekolah. Malamnya, barang satu-dua jam, dia sempatkan berdagang bandrek di pangkalan becak. Ketika merasa sudah cukup modal untuk mendirikan kursus, dia mengundurkan diri dari toko itu.

Dulu, sewaktu duduk dengan damai di fakultas sastra Inggris, dia mahasiswi paling cemerlang. Kalau dia ditempatkan di dalam kamar, dan diminta berkata-kata dalam bahasa Inggris, orang di luar mengira yang berbicara itu native.

Dengan penghasilan dari kursus itulah dia membesarkan anaknya jadi manusia. Anak yang memberikan kebahagiaan, kecuali matanya yang tak kuasa dia tatap. Itu adalah mata laki-laki yang terus-menerus dipertanyakan hutan-rimbanya oleh anaknya itu sampai usianya sudah sedewasa sekarang.

Pintu pagar berderik. Saadatun Alimah adalah murid terakhir yang muncul dan minta berhenti. ”Siapa pula gerangan yang masuk itu?” tanya perempuan itu dalam hati. Dijulurkannya kepala dari mulut jendela.

”Ma…,” mengalun manja. Suara yang sangat dia kenal. Anaknya, yang dulu menghadiahkan laptop, masuk menjinjing satu kotak besar, satu lagi agak kecil memanjang. ”Mama…, ini Ma, peralatan in focus, ada screen-nya juga, layarnya seputih perak! Lihatlah, Ma! Pelajaran jadi lebih menarik, kabarnya. Cobalah, Ma,” suara anak muda itu riang.

Perempuan kita itu menyongsong dengan gairah. Dia tepuk bahunya, dia rangkul, dia cium pipinya, tetapi tidak untuk perangkat yang dibawa anaknya itu. Selama anaknya memperagakan in focus, mencatat kabel yang mana yang harus dicolokkan ke socket yang mana, hati perempuan itu sedingin es. Kalau tidak akan menyakiti perasaan anaknya, dia sudah melengos pergi. Tetapi, anak adalah buah hati semua Mama, kepada siapa mereka selalu mengalah, menyembunyikan perasaan, lantaran kasih. Matanya menyimak apa-apa yang dikatakan anaknya, tetapi pikirannya terbang entah ke mana.

Dia mendekat dan menyampirkan kedua tangannya yang layu di kedua bahu anaknya yang kokoh. ”Aku tak bisa menguasai semua ini. Aku kuno. Dan kau tahu, anak yang terakhir sudah pamit, minta berhenti. Siapa lagi yang akan kuajari?” katanya.

”Ma, Mama harus mencoba, akan kubantu. Cobalah, Ma, apa salahnya mencoba?”

”Ah…”

Ruangan itu diam.

Perempuan kita itu yang mencairkan kebekuan. Katanya sambil menghindari tatapan anaknya: ”Coba, kau bacalah kartu nama yang kuselipkan di jepitan mesin tik itu.”

Yang disuruh melangkah menghampiri mesin tulis di dekat jendela, di seberang ruangan. Sambil memegangi kartu itu, dia merapat ke dada ibunya. ”Siapa ini?”

Selayang, perempuan itu menjenguk mata anaknya. Cuma selayang. ”Kau ingat Lusiana, yang matanya mirip benar dengan matamu? Seminggu yang lalu, dia datang bersama ayahnya untuk pamit. Waktu akan meninggalkan aku, ayahnya berpesan, 'Siapa tahu, suatu ketika Ibu memerlukan saya, simpanlah ini,' sambil menyodorkan kartu nama itu.”

Entah mengapa, tiba-tiba dia merunduk di bahu anaknya. Tak bangkit-bangkit juga matanya dari lantai, takut bersitatap. Katanya teguh: ”Darahku berdesir, tubuhku terasa dingin, menggigil, ketika melihat mata ayah Lusiana. Jidatnya! Oh…, aku pasti, dialah yang menghamili aku, meninggalkan aku dan kau, membuangbalaikan kita berdua sesudah dia puas mencicipi. Waktu itu, dia kapten. Dan kalau kau baca kartu nama itu, dia pensiun dengan pangkat jenderal.

Diam seribu bahasa. Tak pernah dia bayangkan pengakuan itu akan memecut anaknya untuk mengejar sang ayah sampai pun ke balik dunia. Bukan untuk melampiaskan dendam, tentu, cuma mencari pengakuan. Dendam bisa kehilangan isi, ingatan tak pernah sirna.

Ruangan senyap. Mesin tik di satu sisi diam terduduk, sementara laptop di sisi lain mengendap terdiam. Kabel berseliweran. Pintu pagar terdengar dikuakkan tergesa. Si anak muda meninggalkan rumah ibunya, mencari ayah, dengan menjinjing penanda sepasang bola mata dan selembar kartu nama…

***

”Suara Perempuan Korban Tragedi ‘65,” Ita F. Nadia

Previous