Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Dermaga

Cerita Pendek Lan Fang

Aku sedang berada di dermaga. Aku sangat suka dermaga. Dari pinggir dermaga, aku bisa melihat laut lepas dan langit luas. Menurutku, dermaga adalah sebuah tempat yang nyaman. Dermaga juga sebuah sandaran. Setelah jauh melaut, bukankah harus kembali? Dan dermaga adalah tempat melabuhkan semua penat.

Ini dermaga di ujung laut Gresik. Hanya sebuah dermaga sederhana yang ditata dari kayu. Laut sedang surut sehingga tepinya tampak seperti lumpur. Ada beberapa ketam kecil berlarian di atasnya. Perahu-perahu kayu sedang tertambat. Ada nelayan yang sedang menjahit jaring. Juga ada yang sekadar cangkruk menunggu waktu melaut.

Dermaga ini jauh berbeda dengan Dermaga Docklands di Melbourne yang pernah kukunjungi. Itu dermaga tempat merapat kapal-kapal motor. Laut dan langitnya tampak sangat biru. Di tepinya ada sebuah bar. Di sana kami pertama kali bertemu sekaligus berpisah tanpa kata-kata perpisahan.

Sebetulnya sebuah dermaga tidak terlalu perlu untuk diingat-ingat. Tepatnya, aku tidak perlu mengingat-ingat dia lagi. Bukankah kami sudah berpisah? Dan tidak ada yang perlu diingat dari perpisahan.

Tetapi dermaga selalu membuatku teringat kepadanya. Ia memiliki sepasang mata yang sangat kukagumi. Juga tak mungkin kulupakan. Sepasang mata indah yang teduh. Bening seperti pantulan cermin. Bagai langit yang becermin pada laut. Atau laut yang mengaca kepada langit. Entahlah. Itu tidak terlalu perlu bagiku. Karena aku melihat pantulan diriku di matanya.

Tetapi aku bukan sekadar menyukai matanya. Aku juga menyukai rambutnya yang berwarna seperti helai-helai jagung. Terlebih lagi bibirnya yang terlihat segar. Kupikir, itu bibir yang enak untuk dicium.

"Aku tidak merokok," jawabnya ketika hampir setengah hari kami bersama. Ia sama sekali tidak mengeluarkan sebatang rokok pun.

Pantas saja! Aku suprise sekali.

"Tapi aku suka nge-bir," sambungnya sambil tertawa. Tampak menarik sekali.

Sejak hari itu ia selalu mentraktirku minum sambil duduk-duduk di pelataran Dermaga Docklands. Ia pemilik Fish Bar. Sebuah bar yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil di tepian Dermaga Docklands. Ia meletakkan banyak kursi dan meja bulat di pelatarannya. Sehingga dari pelataran bisa mencium udara laut. Udara yang membuat dadaku terasa lapang ketika mengirupnya dalam-dalam.

Aku sudah seminggu di Melbourne. Kantorku sebuah perusahaan yang bergerak di bidang periklanan sedang membuat iklan untuk promosi sebuah biro perjalanan. Aku diberi waktu sebulan untuk memotret Australia. Dan kupilih Melbourne sebagai tempat tinggalku untuk sementara. Karena bagiku Melbourne tidak sesibuk Sydney.

Aku kerasan di sini. Aku sangat menikmati trotoar Melbourne yang lebar, rapi, dan bersih. Tidak banyak kendaraan lalu lalang dengan berisik, berdebu, dan semrawut. Mataharinya juga tidak seterik Surabaya . Sehingga aku lebih sering berjalan kaki bila hendak menjemput senja di Dermaga Docklands.

Awal perkenalanku dengannya sangat klise. Seperti adegan roman remaja saja. Sebagai pemilik Fish Bar sudah tentu ia harus ramah kepada pengunjung barnya. Memberikan senyum, menyapa, "Hallo, how are you?" dan "thank you" untuk segelas minuman yang kubayar. Tidak ada yang istimewa.

Lalu aku menempati tempat duduk kesukaanku. Kursi di pelataran yang agak di sudut dan menghadap laut. Aku lebih suka duduk di luar daripada di dalam bar. Karena di luar aku bisa mendengar nyanyian angin. Pekik burung yang berbaur dengan deburan gelombang yang pecah terantuk dermaga. Melihat kapal-kapal motor yang merapat dan terayun-ayun. Dan mencium wangi laut. Sedang di dalam hanya ada orang-orang yang berbicara dan musik yang kadang ingar-bingar.

Kadang aku membaca. Kadang aku menulis. Kadang memotret. Kadang cuma membuang pandang.

Kemudian dia datang ke kursiku.

Besoknya ia datang duduk lagi.

Lusanya kembali datang, duduk dan bercerita.

Hari-hari berikutnya, ia selalu menanyakan bila aku tidak datang.

Lalu aku jatuh cinta. Aku merasa pasti kalau aku jatuh cinta kepadanya. Karena aku sudah terlalu sering jatuh cinta. Jadi aku tahu persis gejala orang jatuh cinta.

Bagi orang jatuh cinta, waktu bersama akan terasa pendek dan waktu berpisah terasa sangat panjang. Saat bersama, tidak ada yang dilakukan kecuali hendak menyimpan matahari. Agar matahari tidak cepat-cepat tergelincir di pengujung waktu. Sedang ketika berpisah, serasa tidur di atas bara. Gelisah ingin rembulan segera menyingkir.

Dan gejala itu terjadi padaku!

Apalagi saat itu ia berkata, "Aku punya dua tiket pub untuk malam ini. Aku mau kamu menemaniku. Bagaimana?"

Sudah tentu aku mau!

Next