Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Bukan hanya karena aku memang ingin berkencan dengannya. Tetapi caranya mengajakku adalah cara yang tidak pernah dilakukan oleh para laki-laki di Indonesia yang kukenal. Semua selalu berkata, "Apakah kau mau pergi denganku? Atau, "Kalau kau mau pergi denganku, aku juga mau pergi denganmu." Atau, "Terserah kamu."

Menurutku, itu semua kalimat yang sangat tidak nyaman untuk perempuan. Kalimat ajakan yang hanya untung-untungan. Niat berkencan yang diibaratkan permainan iseng-iseng berhadiah. Syukurlah bila mendapat hadiah. Tetapi juga tidak masalah bila tidak mendapat hadiah. Toh hanya sekadar iseng.

Aku tidak suka laki-laki iseng. Karena aku bisa lebih iseng dari laki-laki. Tapi aku juga tidak suka dengan laki-laki serius. Karena aku juga punya keseriusan yang melebihi laki-laki. Aku suka laki-laki cerdas. Laki-laki yang bisa mengisengi keseriusan dan menyeriusi keisengan.

Kurasa ia cukup cerdas untuk menangkap seleraku. Kalimat ajakannya itu, "...aku mau kamu menemaniku," terus terang tetapi tidak murahan. Tidak malu-malu kucing tetapi juga tidak sok jaim. Kalimat yang membuatku tidak bisa menolak karena merasa terhormat. Kalimat yang membuatku jatuh cinta.

Sempat aku berpikir, apakah tidak terlalu cepat bagiku untuk jatuh cinta kepadanya? Bukankah yang datang cepat juga akan segera pergi? Tetapi mungkin tidak. Bukankah cinta bisa datang tiba-tiba seperti pencuri yang masuk lewat jendela? Tidak pernah permisi mengetuk pintu terlebih dahulu.

Terpikirkan pula olehku, bukankah yang terlalu terus terang akan segera membosankan? Tidak sempat dimainkan oleh perasaan gelisah karena kerinduan. Apakah tidak lebih mengasyikkan memetakan perasaan yang dikejar tanda tanya? Terusik perasaan untuk mencari jawaban.

Tetapi, baiklah, aku bukan gadis remaja yang jatuh cinta pertama kali. Bukan seperti gadis belasan tahun yang dilanda cinta monyet. Lalu cuma bisa mesem-mesem cengengesan seperti monyet. Itu kuno. Terlalu membuang-buang waktu. Aku perempuan dewasa yang sudah bosan dengan cinta yang lalu lalang. Aku wanita matang yang butuh sandaran. Aku perahu yang mencari dermaganya.

Hei, ingat! Dia bukan laki-laki sebangsa. Sudah bukan rahasia lagi, akan banyak kesulitan mempunyai pasangan dari budaya yang berbeda. Debat itu masih berseliweran di kepalaku.

Tapi, logikaku selalu saja kalah dengan perasaan.

Dan, pergilah kami malam itu ke sebuah ruang yang memekakkan dengan dentum irama yang menghentak. Tubuh-tubuh meliuk, berpelukan dan berciuman, seperti kesurupan. Lampu spootlight seperti kilat menyambar-nyambar. Musik yang berdentam keras seakan menghantam dada. Jantungku seperti meloncat. Telingaku jadi tuli.

Dalam kilatan lampu dan ingar-bingar, maka orang-orang harus merapatkan tubuh bila hendak berbicara. Juga merapatkan wajah. Merapatkan mulut ke telinga. Mungkin untuk berbicara dan berteriak. Mungkin juga untuk mencium dan mengunyah telinga. Semua tidak jelas terlihat. Tetapi jelas bisa dirasakan.

Makin malam semakin penuh. Bukan cuma dipenuhi orang-orang berambut pirang dan bermata pantulan cermin. Tetapi juga orang-orang dengan rambut hitam dan berwajah Asia sepertiku. Mereka menggerakkan seluruh anggota tubuh dari kepala sampai kaki dengan merdeka. Aku canggung. Jadi kami cuma duduk di kursi bundar bar saja. Tetapi cukup bisa kunikmati. Toh, tubuhku tanpa bisa dicegah juga bergoyang-goyang mengikuti beat-beat lagu. Kurasakan ada kebebasan yang berbeda dengan yang kurasakan saat memandang laut dan langit dari dermaga.

Bila dari tepi dermaga, aku merasa ada kebebasan yang menyatukan diriku dengan alam. Aku merasa begitu kecil dan tak berdaya. Sehingga aku selalu membutuhkan dermaga, merindukan sandaran, ingin tempat untuk bertambat.

Tetapi, di sini, aku merasa bebas dan berkuasa dengan diriku sendiri. Diriku adalah milikku. Diriku ada di dalam tubuhku. Semakin lama aku membesar. Karena tanpa membesar aku tidak bisa mengatasi diriku yang harus bersaing dengan tubuh-tubuh yang lain. Maka, kugerakkan tanganku ke atas, kepalaku ke kanan atau ke kiri atau kakiku melompat. Di sini aku tidak membutuhkan dermaga. Walaupun tubuhku seperti sekoci oleng tak ada nakhoda.

"Are you okey? Kamu tidak mabuk?" ia bertanya kepadaku dengan menegaskan kata "tidak". Ia kelihatan khawatir karena aku sudah menghabiskan gelas bir yang ketiga.

"I am okey. Aku belum mabuk," jawabku juga menegaskan kata "belum"

Lalu sambil setengah berteriak aku merapatkan mulut ke telinganya. Tetapi tidak punya keberanian untuk mencium atau mengunyah telinganya (padahal aku ingin). Kuceritakan bahwa aku tidak pernah mabuk, berteriak-teriak lalu muntah di tempat umum. Itu memalukan!

"I am a drinker. Not a drunker!" seruku.

"Aku mulai mabuk. Kamu bisa menjagaku, please?" ujarnya ganti setengah berteriak ketika merapatkan mulutnya ke telingaku. Tetapi ia tidak mencium atau mengunyah telingaku (padahal aku ingin). Sehingga aku meragukan kadar mabuk yang dikatakannya.

Bagaimana mungkin laki-laki yang mengaku mulai mabuk tetapi tidak segera menyaplok dan mengunyah telinga perempuan yang sudah menempel ke mulutnya? Bukankah laki-laki yang tidak mabuk saja pasti melahap rakus telinga perempuan yang ada di depan mulutnya?

Banyak perempuan keliru besar. Para perempuan sibuk menggantungkan bermacam aksesoris di telinga. Baik yang imitasi sampai kilauan permata. Itu lambang kecantikan.

Padahal banyak laki-laki mengatakan bahwa telinga perempuan justru lebih seksi ketika tanpa mengenakan apa-apa. Karena lelaki bisa bebas mengunyahnya seperti kerupuk. Atau menjilatinya seperti es krim. Kenikmatan pasti akan terganggu bila lidah yang menyelip di belakang cuping telinga mendadak tertusuk ujung giwang.

Nah, aku tidak memakai apa-apa di telingaku. Dan, aku sudah menyerahkan telingaku bulat-bulat di depan mulutnya. Tetapi tidak juga telingaku berada di dalam mulutnya. Sampai malam habis seperti kami menghabiskan bergelas-gelas bir tanpa mabuk. Kami tetap saja tidak saling mengunyah telinga.

Pasti ada sesuatu yang salah di sini, pikirku.

Mungkin memang ada sesuatu yang salah.

Seperti biasa sore itu kuhabiskan di tepian Dermaga Docklands. Tetapi di Fish Bar ada sesuatu yang tidak biasa. Kuhitung-hitung sudah hampir seminggu ini ia tidak tampak. Aku rindu matanya yang biru. Sebagai gantinya, ada lelaki lain di belakang meja bar. Lelaki cokelat bermata seperti buah kenari dengan wajah yang sangat Asia. Ia tampak maskulin dengan wangi tembakau. Tetapi ia sangat mahal senyum dan sangat irit kata-kata. Mata buah kenarinya menghujamkan pandangan yang membuatku salah tingkah. Tepatnya aku merasa jadi bersalah.

Setelah membayar minuman, aku cepat berlalu dari hadapannya. Padahal ada keinginan untuk menanyakan ke mana laki-laki bermata biru itu? Tetapi kubatalkan niatku ketika bertubrukan dengan pandangannya. Matanya seperti ingin menelanku.

Ternyata aroma tembakau itu mengikutiku. Mata buah kenari itu sekarang duduk di depanku. Bibirnya mencoba membuat lengkung sebuah busur. Tetapi tetap saja tidak bisa menipu wajahnya yang keruh. Padahal langit dan laut di belakangnya masih tetap biru.

"Kamu cantik dan menarik. Pantas ia tertarik padamu. Tetapi kurasa tidak sulit bagimu membuat laki-laki lain tertarik padamu," kata-katanya menimpa debur kapal motor yang merapat ke dermaga.

Aku masih belum bisa meraba ke arah mana bicaranya. Kupikir lebih baik menunggu kelanjutan kata-katanya. Kelihatannya ada hal yang ingin disampaikan kepadaku. Maka, pertanyaan jadi bergelantungan seperti pelampung-pelampung yang diikat di tepi dermaga.

Lalu kenapa kalau aku cantik dan menarik? Kali ini aku merasa takut untuk mendengarkan kelanjutan kata-katanya.

Kularikan gelepar ketakutanku dengan membuang pandang ke ujung dermaga. Tapi di sana sepi. Tidak ada seorang pun. Tidak ada dia. Bahkan juga tidak tampak seekor burung terbang. Yang kelihatan hanya kapal-kapal motor yang membisu. Jauh di belakangnya, kelihatan gedung-gedung tinggi seakan tak terjangkau. Kelihatan begitu dingin walau matahari sore memantulkan kilau dari jendela kacanya. Memantul kembali ke permukaan laut. Untuk dipantulkan lagi ke permukaan mataku yang bekerjap-kerjap membuang silau.

Tapi gelisahku tak kunjung hilang. Aku tahu ada sesuatu di ujung lidah lelaki yang duduk di depanku itu.

"Kapan tugasmu selesai? Kapan kau pulang ke Indonesia ?" Ia bertanya.

"Minggu depan," suaraku seperti mengambang.

Kali ini ia tersenyum. Sebuah senyum kelegaan. "Kau pasti bisa menemukan dermaga lain yang lebih nyaman." Kali ini suaranya jauh lebih ramah.

"Kenapa?"

"Because I love him very much. Jangan membuatnya jatuh cinta kepadamu, please."

Oh! Pantas saja langit dan laut di Dermaga Docklands luas tak bertepi. Seperti hatinya. Ternyata aku telah salah membacanya.

***

Surabaya , 2007
Pro: Ben, yang entah sekarang ada di mana.

Previous