Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Fei

Cerita Pendek Jusuf AN

Sebulan silam, kau tentu masih ingat, ketika kepala perusahaan menugaskan kita berdua ke luar kota , di atas kereta yang melaju, entah kenapa tiba-tiba kau ceritakan tentang kekasihmu, calon suamimu. Katamu, ia lima senti lebih tinggi darimu, tubuhnya tegap dan lehernya gempal padat. Mukanya bulat dengan kulit sedikit gelap. “Entah kenapa aku tertarik dengan lelaki black sweet, ” jelasmu. Aku diam saja, sesekali menoleh ke jendela memandangi pohon-pohon lari terbirit.

Entah apa maksudmu mendadak bercerita perihal lelakimu. Mungkin sebenarnya kau ingin mengatakan, “Aku mawar sudah ada yang punya, jadi kau tidak boleh terlalu dekat, apalagi memetiknya. ”

Kenapa tidak katakan terus terang? Atau kau sedang memancingku, menjebakku, mengetes kelelakianku? Ya, siapa tahu. Tentu lelakimu bahagia bisa mendapatkan perempuan seperti kau, Fei. Perempuan energik. Pintar. Dan baik. Baik? Ah, barangkali aku salah menilai jika kau perempuan yang baik. Kau memang ramah, murah senyum, dan tubuhmu selalu menebar aroma harum.

Di kantor, kita satu ruangan, kau perempuan satu-satunya dari tujuh karyawan termasuk aku. Tetapi kau bisa mengakrabi semua rekan. Tak jarang kau menawari kawan-kawan kopi sebelum jam istirahat resmi tiba. Kau memang cukup nakal. Suka mencuri waktu diam-diam.

“Betapa lelah lima jam berhadapan dengan kertas kerja, ” begitu kau sering menjelaskan. Maka, sering kali sekitar jam sepuluh kau menawari kami kopi dengan suara setengah berbisik. Setelah kami mengangguk kau keluar ruangan dan kembali bersama seorang petugas dapur yang membawakan delapan cangkir kopi hitam. Kau tak pernah tahu jika rekanrekan kerja seruangan kita sering diam-diam membincangkanmu.

Dari mulai pinggulmu, dadamu, senyummu, sampai mengira-ngira bagaimana suara desahmu ketika bercinta. Ah! Aku sering hanya diam dan tersenyum- senyum saja. Aku memang jarang bicara dan lebih menutup diri. Dan payahnya, semua rekan kerja memaklumi sikap pendiamku sehingga aku merasa tenteram dan tak berpikir untuk mengubahnya. Termasuk kau, semua rekan akan bertanya hal yang penting saja kepadaku, khususnya seputar pekerjaan.

Aku lebih senang mendengar dan jarang bercerita jika tidak ditanya. Ketika ada yang bertanya, aku sering menjawab sekenanya, seperlunya. Dan kau, juga yang lain seolah menjadi malas untuk bertanya banyak hal kepadaku. Mulanya aku juga seperti rekanrekan yang lain, menganggapmu perempuan yang baik, sebelum kita kembali ditugaskan ke luar kota untuk ketiga kalinya.

Kadang aku heran, selalu saja kepala perusahaan menugaskan kita berdua untuk pergi ke luar kota. Seolah-olah ada tangan gaib yang merencanakan ini semua. Demikianlah, perjalanan selalu saja menyediakan jeda antara keberangkatan dan kepulangan yang kadang membosankan dan terasa sunyi.

Mungkin dengan bercerita kau bermaksud membunuh kesunyian, mempercepat roda kereta sampai tujuan. Di atas kereta yang melaju, kau memuntahkan isi hatimu. Ya, aku tak pernah memintamu bercerita. Selalu kau sendiri yang memulai. Tidak adakah orang lain yang bersedia mendengar keluhmu, Fei?

“Ternyata penampilannya saja yang nampak dewasa. Gayanya pakai jas dan dasi. Tapi otaknya, pikirannya, sifatnya, masih kekanak-kanakan. ” “Maksudmu, dia manja?” “Dia terlalu posesif. Pencuriga. Memang dia cukup uang. Tapi aku tak suka sifat borosnya. Setiap hari isi SMS-nya selalu sama, ‘Kamu lagi ngapain? Dengan siapa? Aku kangen. Apa kamu juga kangen? Kenapa waktu berjalan lambat?' Menghabiskan pulsa saja! Betapa bosan aku menjawab pertanyaan yang tidak kreatif macam itu. ” “Itu tandanya dia cinta sama kamu. ”

“Tapi aku tak senang dengan caranya mengungkapkan. Aku jadi tahu kalau dia orangnya tidak sabaran. Padahal tinggal tiga minggu lagi pernikahan kami. Ini cincinnya, masih kupakai, dan selalu kutunjukkan padanya setiap kali kami bertemu, pertanda aku masih setia. ” Kau diam sejenak, memasukkan ponsel ke dalam tas dengan gerak sewot. “Sebelum kami jauh melangkah, mungkin lebih baik…. ” “Tak boleh kau begitu. Aku lelaki, Fei. Membayangkan diriku berposisi sebagai lelakimu, barangkali aku juga akan melakukan hal yang sama. . . . ”

Entah kenapa, saat itu aku serius menanggapimu. Kalimatmu meluncur deras. Mati-matian kubela lelakimu, kusalahkan dirimu. Kau balik membela dirimu dan menyalahkannya. Sampai kemudian kita sama-sama mendesah. Mata kita bertemu sejenak sebelum kau menunduk lama. Aku menelan ludah. Benar kata orang, perempuan yang hendak menikah terlihat lebih segar dan cantik. Sungguh, aku mengakuinya sekarang, setelah mengamatimu diam-diam.

Next