Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Kau menundukkan kepala terlalu lama. Menangis? Adakah yang salah dengan ucapanku? “Maaf, jika ada kata yang kasar. ” Kau tertegun. Membersihkan air mata dan ingusmu dengan tisu. “Tidak, aku justru senang kau bersikap demikian. Ternyata kau begitu baik dan jujur. ” Aku kembali menelan ludah, menghindar dari tatapan tajam matamu. Apa yang kau tahu tentang diriku, Fei?

Tak pernah kau bertanya atau memintaku bercerita tentang keseharianku, keluargaku, dan lain-lainnya. Dan kau tentu paham, aku tak begitu pandai membuka cerita, kecuali jika ada yang bertanya. Aku lebih memilih diam. Kisah hidupku biarlah kupendam dalam-dalam. Dalam perjalanan pulang, mungkin karena kau terlalu lelah (mungkin rasa marah memang bisa membuat orang lebih cepat lelah) dan kehabisan bahan cerita, kau lebih banyak diam. Dan aku malas bertanya. Ah, barangkali lebih tepatnya aku hanya tak tahu apa yang mesti aku tanyakan. Kau tertidur.

Entah sadar atau tidak, kau sandarkan kepalamu di bahuku. Aku tak bisa menolak. Tepatnya, terlalu sia-sia jika aku menolaknya. Kubiarkan kau terlelap dan kupuaskan mata memandang wajahmu yang tengadah pulas. Hujan deras menjilati kaca jendela kereta, seolah ingin membelaimu juga.

Sejak perjalanan itu, tiap kali jam istirahat tiba, di kantin kantor, kau memilih duduk satu meja denganku. Semakin mendekati hari perkawinan air mukamu kian jelas menampakkan kegelisahan. Tapi masih kulihat cincin tunanganmu, berkilau setiap kau menggerak-gerakkan garpu. Meski acap kali kau tiba-tiba memuntahkan kekesalan atas sikap calon suamimu.

Ketika kau bersikap begitu, aku mengambil sikap seperti dulu: kubela mati-matian calon suamimu, dan kuperingati kau untuk hati-hati. Kukatakan padamu bahwa lelaki cenderung lebih stres daripada perempuan menjelang hari perkawinan. Ya, aku sangat tahu tentang hal itu. Aku sangat paham. Tetapi kau malah tertawa keras dan panjang mendengar penjelasanku. Bisa jadi sebaliknya, katamu, lalu tertawa lagi. Entahlah. Tapi kau kemudian membuktikan ucapanmu.

Betapa aku tertegak saat hari berikutnya, di suatu siang yang hujan kau mengatakan akan membatalkan rencana perkawinanmu. Meski begitu, aku tidak begitu percaya dengan rencanamu selama masih kulihat cincin di jari manismu itu. Cincin emas bermata biru. Melambangkan kedamaian, atau kesedihan, kegalauan, kesenduan. Entah, aku tak begitu tahu dengan lambang warna-warna. Yang terang, aku masih melihat cincin itu bersamamu hingga beberapa hari ke depan setelah kau mengatakan hal gila itu. Andai kau tahu, Fei, dengan tetap memakai cincin itu, kau sebenarnya telah menyelamatkanku. ***

“Tempat ini terlalu sepi, Fei. ” “Banyak persoalan sering kuputuskan di tepi danau ini. Di sini seperti ada yang setia membantuku memutuskan setiap persoalan. Entah angin, entah kemerlap air danau yang kupandang. ” Entah ke mana pula arah pem-bicaraanmu. Aku hanya diam. Angin mendesau di antara pohonan cemara. Kita duduk di atas batu besar memandang danau berkilau merah oleh cahaya senja yang tumpah. Begitu memukau. Beberapa pemancing kulihat tekun menanti umpan nun di tebing sana.

Cukup lama kutunggu kau kembali bicara. Kulihat cincinmu masih melingkar di tempat semula. Di jari manismu. Sesekali kau mengamati cincin itu lekat-lekat. Aku pura-pura tak melihat. Aku biarkan kau bertingkah. Sungguh, aku benar-benar tak tahu dengan diriku. Ada yang berkecamuk di dadaku, dan kau tak pernah tahu, tak perlu tahu. Kau memandangku, tepatnya pada dua belah mataku, jendela jiwaku. Ah, tidak, tak kuizinkan kau membaca isi pikiranku.

Aku berpaling ke arah beberapa pemancing. Ketika menoleh lagi ke arahmu, kulihat kau sudah melepas cincin. “Heh, untuk apa kau melepanya?!” Kau hanya tersenyum. Seakan baru menerima jawaban atas gamang yang melingkupi jiwamu. Adakah angin telah memberikan jawaban untukmu, aku membatin. “Hati inilah yang menyuruhku melepas benda tidak berguna ini.

”Tanpa berpikir dan berkata-kata lagi kau melempar cincin itu ke danau. Aku terlambat mencegahmu dan tak tahu mesti berbuat apa kecuali mengatakan, bahwa kau benar-benar sudah gila! “Mungkin kaulah yang telah membuatku gila, ” balasmu lantang, membuat jantungku sejenak berhenti berdetak. Lalu kita kembali diam, sampai kau membisikkan kata yang sebelumnya tak pernah aku duga. Kata yang membuatku terpaku, teringat istriku. ***

Wonosobo, April 2007

Previous