Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Melukis Desember

Cerita Pendek Sazali Habib

Pekanbaru, Desember 1998
Hari-hari di Desember ini selalu hujan. Kadang lebat, kadang hanya gerimis saja. Aku lebih suka memaku diri di tepian jendela kamar, memandangi lalu lalang orang dan kendaraan yang kehujanan di jalan sana. Di hujan senja itu aku selalu menempelkan jemari tanganku ke kaca jendela kamar, lalu telunjukku meliuk-liuk membuat lukisan pada sisa tempias. Hatiku kulukis di sana, di penghujung siang-siang Desember. Begiku, ujung-ujung siang di Desember ini sering menyisakan cerita hingga ke malamnya, dan terkadang benar-benar tak menyisakan apa-apa, mengembun seperti tempias hujan di kaca jendela kamar, lalu lukisan jemariku pun hilang. Begitu juga lukisan wajahnya.

Gerimis meniti pelan-pelan, membuat malam tak bisa datang tanpa basah. Suara bang maghrib menyeruak di antara berjuta titik air yang kian deras. Aku masih melukis suara hati di kaca jendela. Kututup daun jendela, lalu berusaha menjadi penghamba. Kuguyur beberapa bagian jasadku, lalu bercengkerama dengan gerakan indah. Aku tenggelamkan diri bersama kalimah-kalimah mutiara, mencari kepuasan hakiki. Kalam indah-Nya begitu terasa di jiwa, begitu hangat di tengah dingin hujan Desember. Lama aku bersetubuh dengan kalimah-kalimahnya, dengan gerakan-gerakannya, hingga aku merasakan nikmat yang tak terlukiskan oleh jemariku di kaca jendela. Malam ini tak ada sisa cerita dari penghujung siang tadi. Semua terhapus, seperti lukisan di kaca yang mengembun, lalu hilang. Begitu juga wajahnya.

“Aku mungkin tak akan lama lagi di sini.”

“Engkau terlalu cepat. Kenapa kita tak keluar dari rutinitas akademis ini bersama-sama saja?”

“Aku punya tanggung jawab yang harus segera kupikul setelah selesai di sini. Sedangkan kau tidak. Kau bisa bebas seperti burung. Itulah lelaki. Mungkin saat ini tak ada tanggung jawab keluarga di pundakmu.”

“Mengemban tangung jawab tidak mesti harus kehilangan, bukan?”

“Engkau tidak akan kehilangan aku, Rio. Aku akan selalu di hatimu sebagai sahabat yang paling kau kenal.”

Kata-katanya yang terakhir mengalirkan anak sungai di kedua pelupuk matanya yang bulat. Aku diam. Tak bisa menangis seperti dia. Aku bahkan belum tahu maksud tangisannya, tapi aku tahu suasana kesedihan hatinya.

“Bukankah kita pertama bertemu pada saat seperti ini?” tanya dia sambil mencoba menepis bulir air matanya.

“Iya, Desember dua tahun silam. Hujan senja engkau lalui menuju pustaka Soeman Hs. Ternyata engkau gila buku. Aku tak kenal kau waktu itu, tapi ada dorongan yang menyuruhku agar engkau kuhampiri. Padahal aku tak pernah begitu percaya diri dengan vespa bututku. Tapi kau mau.”

“Sudahlah, engkau membuat seolah kita akan segera berpisah,” selanya sambil meliaht ke luar jendela. Matanya masih berkaca-kaca.

“Tapi memang begitu, kan? Bagiku sahabat sepertimu sebuah mukjizat.”

“Engkau terlalu berlebihan.”

“Engkau telah mendewasakan aku dalam banyak hal. Engkau bisa mendengarkanku saat aku butuh. Engkau bisa keluarkan aku dari jeruji masalah yang aku sulit mencari jalan keluarnya. Bukankah itu sahabat sejati?” tanyaku.

Azlina hanya diam, lalu meneguk minuman hangat yang kian sejuk mengikuti suhu di sekitar kami. Irama musik jazz yang diputar di dalam kafe benar-benar serasi dengan suasana gerimis di luar. Kadang suara saxophone-nya begitu indah, terkadang pula memilukan. Aku menempelkan jemariku di kaca jendela di samping meja yang kami tempati, lalu meliuk-liukkannya menjadi lukisan. Kata Azlina, lukisan itu mirip wajah, tepatnya menyerupai dua wajah wanita. Aku diam saja ketika ia menanyakan wajah siapa itu. Jemariku semakin lincah melukis uap air yang mengembun di kaca yang menghadap ke dalam itu. Di bagian kaca sebelah luar, tempias menyisakan aliran-aliran air hujan, membentuk sungai vertikal. Senja semakin tua dengan mendung yang menggelayut hitam menahan senyum sang surya yang kian condong ke ufuk.

Aku tak bisa menahannya ketika ia mengajakku pamit. Kukatakan padanya bahwa aku masih ingin di sini bersama hujan di bulan ini, Desember. Aku membiarkannya melangkahkan kaki dari kafe itu. Dari dalam aku perhatikan dia membuka payung pink-nya yang lebar. Lalu membuka langkah sedikit lebar menghindari genangan air hujan di tepi jalan. Lalu menghilang.

Sebentar lagi Azlina diwisuda. Sementara di kampungnya, sebuah desa di Bengkalis, sebuah sekolah telah menantinya untuk mengajar. Bukan itu saja, kepala sekolah SMA yang menawarinya itu sudah menjamin dia menjadi PNS jika dia sudah mengajar sejak beberapa bulan kemarin. Tapi dia masih kuliah. Sementara aku, jangankan ditawari bekerja, melamar kerja pun belum tentu diterima. Aku lebih senang menjalani kehidupan sebagai seorang penulis freelance. Di akhir-akhir kuliahku, aku kian banyak menulis di berbaga media cetak di Pekanbaru. Meski honornya tak seberapa, tapi kukumpulkan untuk biaya hidup dan kuliah di kota metropolis ini.

Senja ini, aku kembali mendapati sore yang basah. Langit tak cerah, masih berawan dan masih memuntahkan isinya sedari tadi. Wajah Azlina berubah di mataku. Ia terlihat senyum, lebih respon dan terkadang agresif. Akhir-akhir ini perasaanku tak sama dibanding biasanya terhadap Azlina. Aku selama ini mengenalnya hanya dalam batasan sahabat dekat saja. Tapi terkadang aku merasakan kehilangan saat ia tak bisa kutemui dalam beberapa waktu. Ia bahkan muncul menjelma seorang yang kuidolakan karena semua kebaikannya kepadaku selama ini. Aku belum tahu maksudnya apa. Sementara perasaan itu menekan, aku harus bisa tetap mempertahankan posisinya bagiku, seorang sahabat. Aku bimbang mengatakan yang sebenarnya, karena takut persahabatan kami menjadi korban! Inilah yang kuhindari.

Hingga pada akhirnya, aku benar-benar tak bisa membohongi perasaanku. Tapi masih tersimpan rapi di dalam rak yang paling dalam, tak terkatakan. Begitu jugakah perasaanmu, Azlina?

Next