Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Jakarta, Desember 2007

Cuaca hari ini benar-benar tidak bersahabat. Petir dan derasnya hujan bersahutan tak tentu arah. Untunglah aku sudah sampai di Jakarta dengan selamat meski sedikit kehujanan. Besok aku harus kembali masuk kantor menjalani rutinitas yang terkadang menjemukan. Aku bekerja di bagian public relations di sebuah perusahaan kontraktor minyak yang memiliki cabang dan beroperasi di Riau. Setumpuk laporan harus ku selesaikan sebagai oleh-oleh dari Riau selama seminggu kemarin.

Aku mengontrak sebuah rumah pinggiran kota Jakarta. Rumah pribadiku sebenarnya tidak jauh dari kontrakanku, hanya sesekali di ujung minggu aku habiskan waktu bersama Abdi, anakku dan keluargaku satu-satunya di Kota Jakarta. Kondisi rumahku belum bisa ditinggali, hanya bisa untuk bermain-main di halaman belakangnya yang telah kutanami dengan berbagai tanaman dan bunga. Butuh banyak uang untuk menyelesaikan keseluruhannya. Setelah kematian istriku tiga tahun lalu, aku seolah tak mampu lagi untuk melanjutkan mimpiku, membangun sebuah istana buat istriku tercinta, dan buah hatiku. Semua harapanku terkubur bersama hilangnya istriku tercinta. Untunglah aku masih memiliki Abdi. Aku tak bisa membiarkan Abdi mengalami kisah sedih seperti aku.

Akhir tahun ini Abdi memasuki usia 8 tahun. Di usianya yang dini aku menemukan kemandiriannya yang tak ubah seperti almarhum istriku, Azlen. Wataknya, wajahnya, senyumannya mampu menggantikan kehadiran istriku di kedalaman tasik rinduku. Bagiku Abdi adalah segalanya. Aku sudah tak sabar lagi menggendongnya, mencium keningnya, membakar ikan laut segar bersama di ujung minggu, dan serta berkotor-kotor menanam bunga di pot rumah baruku. Semua bayangan kerinduanku pada Abdi terus mengusik perjalananku menuju rumah. Mungkin dia sedang tidur saat ini.

Dari bandara Soekarno-Hatta menuju rumah kini aku harus menggunakan jasa taksi. Biasanya aku dijemput Azlen dari bandara sehingga aku tak repot-repot menumpang taksi. Sudah lama aku tidak menyetir mobil bersamanya. Tiba-tiba istriku berada di depan menyetir mobil, dan terus tersenyum sambil menoleh ke arahku. Senyumnya merekah menyibakkan aroma harum seisi mobil.

“Shriiitt....!!!” Taksi berhenti tiba-tiba.

“Maaf, Pak,” ucap sopir kepadaku. Ia merasa kenyamananku terganggu gara-gara ia hampir menyerempet seorang gadis di depan taksi. Lalu ia menggerutu sesukanya.

Wajah senyum sumringah Azlen langsung berubah menjadi wajah kesal sopir taksi. Pelan-pelan taksi kembali berjalan dalam hujan. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang saat melihat wajah yang berlalu dari samping taksi yang kutumpangi. Dialah yang hampir terserempet taksi barusan. Aku merasa sangat mengenal wajah wanita itu tapi aku benar-benar lupa siapa sebenarnya dia. Dia berjalan di trotoar dengan payung pink menuju jembatan penyeberangan, dan hilang. Aku masih merasa mengenal payungnya yang berwarna pink. Ah.. mungkin aku pernah mengenalnya dalam mimpi.

Senja kian merayap dan perlahan-lahan beranjak pergi. Malam ini datang tidak sendiri. Ia menjelma bersama kilatan cahaya yang berbunyi menggelegar, bersama muntahan mendung yang tak tahu kapan berhentinya.

Entah dari mana musababnya, jari-jari tanganku mulai menari-nari di kaca mobil. Aku benar-benar tak tahu reflek tanganku yang terus-menerus melukis di kaca itu. Padahal aku sudha lama sekali tidak melakukan hal seperti itu. Wajah itu kembali hadir dalam ruang mindaku. Wajah yang sepuluh tahun lalu selalu sempat mengganggu konsentrasi kuliahku.

“Permisi, Pak,” ucap sopir taksi. Sejurus kemudian iapun berlalu.

Aku berlari kecil menuju rumah.

Aku menuju kamar. Abdi tertidur pulas. Selama ini Abdi kutinggal bersama Pak Heru, pria yang biasa menjaga dan merawat rumahku yang belum selesai kubangun. Dia sudah kuanggap abahku sendiri. Dia juga yang sering memberi nasehat maupun masukan-masukan ketika aku terlupa.

Dari dekat kuperhatikan wajah putra semata wayangku yang benar-benar menghapus segala kepenatanku seharian tadi. Dialah kini harapanku satu-satunya. Aku harus mampu menjadikan orang tua yang baik dan harus mampu menjadikan diriku seperti Azlen di hadapannya.

Pulau Padang, Awal 2008

Malam hanya menyisakan suara jangkrik dan sesekali diselingi keras suara burung hantu di hutan yang kian gundul jauh dari rumah. Suara televisi sudah mati. Suara mesin diesel genset yang menghiasai malam di kampung tertinggal ini juga sudah ikut mati. Tak ada lampu benderang yang bertahan hingga pagi, kecuali saat ada pesta perkawinan. Di dinding hanya lampu teplok yang sudah berumur, yang selalu kuisi minyaknya saat dulu sebelum aku berangkat ke surau untuk mengaji. Rumah panggung ini agak reot, berbunyi-bunyi jika kita berjalan di lantainya. Dari hasil kerjaku, sedikit-sedikit aku kirimkan juga uang untuk keperluan abah dan emak di rumah ini. Sekarang rumah ini jauh berbeda sebelum aku tinggal dulu. Sekarang sudah bercat, plafonnya juga bagus. Tapi lantainya tetap saja berbunyi-bunyi jika dipijak, menandakan sudah tua.

Kampung ini jauh tertinggal. Dibandingkan dengan Pekanbaru, jauh sekali. Ibukota propinsi yang kaya, yang penuh dengan aroma arogansi hegemoni dan kemegahan semu. Sementara kampung ini, jangan dibangun, dipijak saja oleh Bupati tak pernah. Dulu hutannya lebat. Kini tak lagi setelah meranti, ramin, mentangor, dan semacamnya, tak henti-henti ditebang, lalu dijual ke Malaysia.

Abdi tak juga mau tidur dari tadi. Aku senagaja mengajakknya ke kampung mengisi liburan sekolah dan tahun baru bersama keluarga di sini. Malam ini di kota-kota pasti sedang pesta pora, menyulut kembang api dan kerjaan lainnya yang membuang-buang duit. Aku lebih senang berkumpul berasama keluarga, bersama Abdi. Lalu akan menghabiskan malam dengan sejuta kenangan masa lalu di kepalaku, sebelum matahari tahun depan menyinari hariku.

“Ayah, Abdi kangen sama bunda. Kenapa cepat sekali dia meninggal ya, Ayah?”

“Bunda pergi karena sayang sama Abdi. Bunda itu selalu bersama Abdi, bersama ayah, dan bersama kita berdua saat kita di mana saja...”

“Tapi Abdi kangen ingin sama bunda sekarang.”

“Kan ada nenek sama tante Uli? Mereka sayang sama Abdi seperti bunda menyayangi Abdi.”

“Iya, tapi Abdi pingin banget ketemu bunda.”

“Iya, tidur yang cepat ya, biar nanti ketemu bunda dalam mimpi.”

“Yah, tadi siang di pantai Abdi ketemu dengan bu guru. Dia sayang banget sama Abdi. Dia mirip bunda. Dialah guru Abdi di sekolah di Jakarta.”

“Iya-iya. Tapi sekarang sudah malam. Cepetan tidur. Besok nenek marah kalau telat solat subuhnya.”

Kali ini Abdi terus mengoceh tentang gurunya. Beberapa kali dia menyebut nama Azlina, ibu guru yang mengajarinya di sekolah. Aku sempat terkejut mendengar nama itu sementara ia terus menceritakan kebiasaan-kebiasaan gurunya yang tak ubahnya seperti Azlina, hingga akhirnya Abdi tertidur sendiri.

Aku bengong sendiri dan semakin penasaran. Diakah Azlina yang pernah menjadi sahabatku dulu? Kekasih tak terungkapku dulu? Aku tak bisa memejamkan mata. Satu jam lebih tahun 2007 berlalu. Tapi aku semakin tak kuasa menahan bayangan wajahnya yang pernah menghiasi ruanganku sepuluh tahun silam. Apakah dia Azlina yang lain? Apakah payung itu masih belum rusak? Ah, mungkin namanya sama, tapi tidak orangnya. Pasti ini pasti hanya kebetulan. Persis seperti di film-film Indonesia . Aduhai, kenapa perasaanku sekarang benar-benar tak tenang, tak tentram. Aku tak mampu sedetikpun memejamlan mata. Aku melirik jam dinding, sudah pukul 4 pagi. Aku harus bertemu dengannya besok.

“Anakku bilang kamu mengajar di Jakarta. Bagaimana bisa sejauh itu?”

“Mungkin takdirlah yang membawaku ke sana. Setelah mengajar honorer di Bengkalis, meski gajinya lumayan tapi aku ingin mencoba mencari hal baru di luar. Aku tinggal bersama kakakku dan mencoba mencari kerjaan di Jakarta. Akhirnya aku diterima honorer di sekolah anakmu.”

“Aku pernah melihatmu, tapi aku ragu sekali waktu itu.”

“Barangkali orang lain.”

“Tidak. Itu kau. Engkau hampir terserempet taksi yang aku tumpangi. Setelah aku merenung-renung, aku teringat bahwa itu kau, karena payung pink ada di tanganmu waktu itu.”

“Aku selalu membawa payung ke manapun pergi. Bukankah sedia payung sebelum hujan?”

“Kenapa payung itu? Apa kau hanya punya itu saja dari dulu?”

“Ada memori tak terlupakan ketika aku membuka payung itu.”

“Memori? Memori tentang apa?”

“Tentang kau. Memori saat kau memberikan hadiah payung itu.Aku sangat menikmatinya ketika mengenang hal itu kembali. Aku sangat senang dengan pemberian payungmu itu.Kau memberikanku setelah kau melukiskan dua wajah aneh di kaca jendela saat hujan. Itulah kebiasanmu saat hujan turun. Aku ingat betul saat itu di bulan Desember.”

Aku, Azlina, dan butiran pasir pantai semua hanya diam. Tak ada kata apa-apa yang mampu untuk kuucapkan. Hanya angin yang masih mau berhembus mengelus-elus dan deburan ombak yang saling berkejaran ke tepian pantai seakan ingin mendekati kaki-kaki kami. Awal pertemuan tadi bagiku sangat-sangat mengharukan, aku bahkan merasakan suatu memori masa muda yang sangat indah ketika bertemu dengan Azlina Aku serasa ingin mendekapnya untuk sekian lama, untuk mengobati kehilangan setelah sepuluh tahun tak bertemu. Namun, harus bersikap dewasa, apalagi aku telah menjadi seorang ayah.

“Kenapa kau tak pernah memberitahuku mengenai pernikahanmu?” tanya Azlina mencairkan suasana yang sejenak terdiam seribu bahasa.

“Aku bahkan tidak ingin mengingatmu lagi waktu itu, Azlina.”

“Tega sekali.”

“Kau tak tahu kenapa aku tidak mau mengenangmu?”

“Kau membenciku, Rio.”

“Tidak, Azlina. Aku begitu mencintaimu...”

Azlina terkejut, lantas memandangku untuk sekian lama. Aku hanya memalingkan wajah maluku ke laut. Biarlah laut menjadi pelampiasan amarah batin yang tak pernah terungkap. Aku plong. Biarlah kukatakan sejujurnya meski aku jantung ini berdegup kencang, seolah menyedot semua energiku. Sekilas aku melihat Abdi yang sedang bermain-main di sana bersama Andi, keponakanku yang sengaja ku ajak untuk menemani Abdi bermain. Aku masih tetap diam.

“Ketika engkau pergi meninggalkan Pekanbaru, aku begitu merasa kehilangan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Kesedihanku waktu itu adalah karena ternyata kita benar-benar tidak akan pernah betemu lagi. Apalagi kau tak pernah memberitahu kabar dan keberadaanmu setelah itu.”

“Kenapa kau tak pernah mengatakannya, Rio?”

“Aku tak mampu, Azlina. Aku akui itulah kesalahan terbesar ku selama ini. Apakah aku juga bersalah padamu?” aku beranikan diri melahap matanya. Ada air mata mengalir di pipinya yang putih bersih.

“Engkau benar-benar tega, Rio. Bahkan untuk diriku yang senantiasa menanti saat-saat seperti yang kau katakan barusan. Aku letih menantimu, Rio . Menunggu kepastian yang tak pernah datang. Terakhir aku mendengar kabar pernikahanmu. Sungguh sakit, Rio ,” jawabnya. Wajahnya mulai basah.

“Maafkan aku, Azlina. Aku akui aku benar-benar bersalah akibat ketidakberdayaanku mengatakan hal yang sesungguhnya kepadamu. Meski aku sangat mencintai almarhum istriku, tapi sekarang aku sungguh mengharapkanmu, Azlina. Aku ingin kita melewati hidup bersama lagi dalam ikatan yang sah...”

“ Rio . Aku tidak bisa. Maafkan aku....”

Hanya itu kata yang terakhir aku dengar dari Azlina sebelum ia berlari meninggalkanku dengan seribu tangis. Aku tertunduk sendiri, menatap dalam-dalam butiran pasir halus. Sungguh aku tak kuasa mendengar jawabannya.

Pekanbaru, Januari 2008

Aku dan Abdi bersiap memasuki kabin pesawat untuk meninggalkan Riau menuju Jakarta . Aku berusaha meninggalkan semua beban dan kenangan masa lalu sebelum aku memasuki kabin pesawat. Aku harus menjalani kehidupan baru di tahun baru. Biar ku balut sendiri segala luka yang pernah ada, walau aku tak bisa menjamin ada penawarnya.

Di kampungku, di Pulau Padang, hari ini sebuah pesta nan mewah digelar. Dua hari sebelum keberangakanku ke Pekanbaru tenda biru dan pelaminan sudah tertata indah di sebuah rumah mewah. Rumah itu miliki seorang pemuda yang sukses menjadi juragan minyak di kampungku. Dialah yang hari ini secara resmi menikah dengan seorang gadis jelita dari desa seberang, seorang guru yang telah lama aku kenal. Mereka pasti bahagia.

Undangan itu masih kupegang, lalu kubolak-balik mengikuti perasaan yang kian basah, sebasah Desember lalu. Kupandangi satu persatu huruf yang membentuk nama di dalam undangan itu, nama yang suatu saat dulu dan kemarin pernah menjadi bagian hidupku. Aku benar-benar- remuk.

Bersama anakku, aku memilih kursi di tepi untuk lebih mudah melihat cakrawala dari jendela pesawat. Tanganku hanya memegang undangan pernikahan itu, tak mampu sedetik pun untuk melukiskan lagi embun di kaca jendela itu seperti di senja-senja Desember lalu.

***

Pekanbaru, Januari 2008

Previous