Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

"Gak kok. Kebetulan lagi istirahat. Ada apa nih?" Benar kan aku cuma wayang? Aku hanya mengucapkan kata-kata yang ingin didengarnya. Kata-kata barusan bukan kata-kataku sendiri. Adalah kata-katanya. Aku cuma mengucapkannya.

"Ada apa nih, Lin? Kok njanur gunung."

"Janur gunung? Apa tuh?"

"Tumben."

"Janur gunung kok bisa jadi tumben?"

"Njanur gunung sama dengan menyerupai aren. Menyerupai aren bahasa Jawanya kadingaren. Kadingaren bahasa Indonesianya adalah tumben."

"Kamu kok nggak capek-capek sih jadi orang Jawa."

"Ya capek sih kalau dipikir-pikir. Tapi jika sejak kecil kau berada di dalamnya, dipaksa terus-menerus berada di sana, apa kau akan sempat memikirkannya lagi?"

"Kamu gak capek. Yang denger yang capek, tauk!"

Seperti dam yang pintu airnya jebol. Serupa bendungan yang tanggulnya ambrol. Percakapan kami mengalir tak habis-habis. Ia dalang yang tak pernah kehabisan cerita. Aku wayang dari kulit kerbau terbaik --ulet dan tahan lama; siap memainkan kisah apa saja. Juga kisah antara aku dan dia. Sebuah kisah cinta. Atau hanya kangen-kangenan biasa.

"Aku sudah nikah, Lin. Anakku satu. Tapi kami sudah pisah."

"Wah, duren dong."

" Duren ?"

"Duda keren. Ha ha…" Ia tertawa ngakak lagi. Mengingatkanku pada banyak hal tentang dirinya. Mungkin benar kata orang, segala sesuatu mengingatkan kita pada sesuatu yang lain. Tawanya mengingatkan pada senja oranye di sebuah pantai di mana jemariku menggelitiki pinggangnya. Mengingatkanku pada hari di mana ia meniup lilin ulang tahunnya yang dua puluh dua. Juga mengingatkanku, aneh, pada tangisnya yang berwarna kelabu. Warna favoritku. Warna sejumlah t-shirt-ku. Warna perpisahan kami.

"Tahu tidak? Berbulan-bulan aku mencari nomormu." O, ya? Untuk apa? Tidakkah seluruh hal tentang kita telah kita tinggalkan karena tak satu pun dari kita kuasa menanggungnya? "Dan baru hari ini aku menemukannya."

Aku memang selalu berganti nomor. Dan baru kali itu aku benar-benar menyadari alasannya: menghindar darinya. Dan seperti bocah yang tempat persembunyiannya ketahuan, aku tersenyum kecut, merasa kalah dan gagal.

"Mmm… Dari mana kau dapat nomorku?"

"Darimu."

"O, ya? Kapan?" Tiba-tiba aku cemas. Jangan-jangan tanpa kusadari ada bagian dari diriku yang meneleponnya terlebih dulu, atau meninggalkan nomor terbaruku di e-mailnya. "O, ya, ya. Aku lupa." Aku harus mengakui perbuatan yang tak pernah kulakukan. Atau tak sepenuhnya kusadari. Kecurigaanku kepada diriku sendiri makin berlipat. Jangan-jangan diriku memang terbelah menjadi dua. Satu bagian masih berusaha mempertahankan kehadiran Alina. Yang lain berusaha keras melupakannya. Dan selama ini mereka bertarung di luar kehendak dan kesadaranku. Mereka sama-sama mengkhianatiku. Sama-sama meninggalkanku. Sendirian. Dan kedinginan.

"Aku hanya ingin tahu sebahagia apa kamu sekarang." Ah, jika bahagia itu ada, aku akan menjawab dengan pasti bahwa aku bahagia. Tapi sebagai jalan ia adalah jalan yang licin, sebagai sebuah tempat ia tak beralamat.

"Aku bahagia sekaligus tidak bahagia. Bagaimana, ya, ngomonginnya? Ya, gitu-gitu deh. Kau sudah tahu bagaimana aku." Jawabku aman-aman saja. Tak menjawab sesungguhnya. "Bagaimana dengan kamu sendiri?"

"Nggak tahu ya. Tapi aku senang dengan seluruh hal yang kulakukan sekarang." Syukurlah. Bagaimanapun aku turut senang mendengarnya.

"Juga sekarang kau senang?"

"Ya. Aku senang sekali bisa meneleponmu. Kupikir kau sudah melupakanku."

"Mmm… Kau sudah nikah, Lin?"

"Belum." Entah kenapa aku merasa lega. Tapi segera ada bagian dari diriku yang kembali mengikatnya. Erat dan menyesakkan. Kelegaan itu segera menghilang.

"Tapi beberapa hari yang lalu kami sudah memutuskan untuk menikah."

"O, ya. Selamat deh." Aku meresponnya dengan biasa saja. "Semoga kau makin bahagia karenanya."

"Thanks. Eh, minta e-mailmu dong."

"Ya, ntar ku-sms. Ini nomormu kan? Aku minta e-mailmu juga ya?"

"Yup."

"Eh, dah dulu, ya? Aku ada janjian ketemu orang. Kapan-kapan kita sambung lagi." Sebenarnya aku tak ada janji dengan siapa-siapa hari itu. Aku hanya berjanji kepada diriku sendiri untuk segera mengakhiri percakapan itu. Secepat-cepatnya. Makin cepat makin baik.

"Oke. Sampai ketemu lagi. Sorry sudah ngganggu waktumu. Mmmmuuaaahhh!"

Aku segera mematikan ponselku sebelum ciuman akhir itu benar-benar mendarat di pipiku. Dan baru kemudian aku merasa lega. Tak sepenuhnya memang. Tapi seperti ada beban yang kuturunkan dari bahuku. Aku menengok jam dinding, 5 menit. Hanya 5 menit kami bercakap. Dan itu sudah cukup. Terlalu cukup untuk situasiku belakangan ini.

Berbareng dengan semua itu, diam-diam jemari tangan kananku mengirim pesan ke sebuah nomor:

Tahu tidak? Aku senang sekali menerima telponmu. Aku bahagia.

***

Jogjakarta , Agustus 2007

Previous