Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

"Tentu saja aku setuju. Cuma saja, aku tidak bisa ikut membantu modalnya. Maklumlah, aku sebatang kara dan tidak punya warisan apapun!" kataku memandang sayu.

Istriku hanya tersenyum mendengar suaraku terdengar sedih. "Nggak apa-apa, Mas. Mas kan sudah bekerja untuk mencari nafkah untuk keluarga." Kata Laila menghibur hatiku. Ah sungguh ia seorang Dewi yang diturunkan untukku. Aku berjanji untuk lebih rajin dan bekerja keras, agar terus dapat memberinya nafkah.

Dan mimpi kamipun diwujudkan Laila dalam sebulan. Waktu terlama adalah menjual sepetak sawah warisan Ibu Laila. Setelah ditawarkan ke sana ke mari, akhirnya seorang kenalan baik bersedia membelinya dengan harga lumayan bagus. Itung-itung membalas jasa Ayah Laila, kata kenalan baik itu. Mereka mengaku banyak berutang jasa pada Ayah Laila yang terkenal murah hati dan ringan tangan.

Dan warung itu buka hari ini. Kami membuat syukuran kecil-kecilan dengan membuat nasi tumpeng mungil untuk kami santap bertiga dan beberapa tetangga dekat. Maklumlah nasi tumpeng biasa terlalu mahal buat kami dan juga rasanya terlalu wah untuk warung sekecil ini. Kami sesaat hening, mensyukuri karunia-Nya.

Hari-hari berikutnya adalah saat kami bicara tentang warung dan warung. Hari ini laku tiga sabun dan dua kilogram beras, beberapa permen dan satu korek api. Atau hari ini hanya laku dua batang rokok. Atau kadangkala dengan gembira Laila bercerita hari itu laku 5 kilogram gula, mi instan 5 biji, 10 kilogram beras dan 3 bungkus rokok. Menurutnya, para tetangga sudah mulai mengenal warungnya. Mereka mulai beralih dari toko yang jauh ke warung Laila yang harganya tidak terpaut jauh. Apalagi Laila yang ramah dan ringan tangan itu pasti gampang membuat pembeli menyukainya.

Aku menghirup kopiku dengan nikmat hari itu. Warung istriku telah berkembang dan memberikan penghasilan yang lumayan kepada kami. Kadangkala bahkan lebih besar daripada gajiku. Ia mulai membeli baju-baju kesukaannya dan sesekali membeli blus baru buat Ibu dan Ranti, juga kemeja untukku. Ia juga menabung, katanya untuk anak kami yang akan lahir nanti.

Kami duduk di beranda rumah sore itu. Warung sedang sepi dan aku mendapat jatah libur dua hari. Hidup terasa nikmat betul. Berkali-kali kuhirup kopiku dengan tegukan pelan agar kenikmatannya terasa lama.

Laila memperhatikanku dengan geli.

"Mas Setyo ini, ngopi kok sampai menghayati begitu?" katanya sambil tersenyum lebar.

"Ah kamu Dik, mengganggu saja. Aku kan sedang menikmati hidupku memiliki istri seperti kamu!" kataku dengan nada serius.

Laila meleletkan lidahnya mengejekku. "Ah Mas, istri sendiri kok dipuji-puji. Ntar didengar orang malu!" katanya sambil tersipu. Itulah Laila, amat kental dengan budaya Jawa yang low profile. Ia selalu mengelak bila dipuji, padahal aku sangat bersungguh-sungguh. Ia malah tersipu-sipu bahkan biasanya melangkah pergi meninggalkanku bila aku katakan aku bersungguh-sungguh.

Tapi kali ini ia tidak pergi. Ia malah menatapku serius.

"Mas, mau dengar saya lagi ndak?" Katanya menunggu reaksiku

"Masalah apa Dik? Tentu saja aku mau dengar. Wong aku suamimu dan kamu istriku!"

"Saya ingin mencicil rumah ini."

"Wah...!" kataku tanpa bisa kucegah. "Apa kita mampu dan apa pemiliknya menjualnya?"

"Satu-satu dulu Mas. Saya sudah ngobrol dengan Bu Retno. Saya membujuknya untuk menjual rumah ini. Awalnya dia bingung tapi lama-lama tidak keberatan. Sekarang kan suaminya sudah pensiun. Ia butuh banyak uang untuk menyekolahkan anak-anaknya. Ia malah berterima kasih pada saya karena menasihatinya. Sebelumnya ia bingung kemana harus mencari tambahan uang, ia lupa pada rumah ini. Saya bilang kita mau mencicil, sedikit demi sedikit dulu. Maklumlah keuangan kita belum begitu baik. Saya tawarkan cicilannya tiga kali harga sewa setiap bulannya. Lumayan buat dia menutupi biaya hidup sehari-hari. Kalau kita dapat rezeki lebih suatu kali, barulah dibayar cukup besar. Ia setuju. Lagi pula Bu Retno memang baik, mengerti keadaan ekonomi kita.

Aku hanya bengong mendengar penjelasan Laila. "Kamu seperti tau semuanya, apa kamu memang punya ilmu nujum!" kataku dengan kekaguman yang mengental pekat di mataku.

"Ah Mas ini !" Sekali lagi dengan senyum tersipu di wajahnya. "Saya kan hanya memikirkan keluarga. Kelak kita akan punya anak. Rumah sendiri tentu lebih enak daripada ngontrak!" Sekali lagi Laila menunjukkan wawasannya yang memandang jauh ke depan. Ia seperti terus bergerak maju dengan mimpi-mimpi barunya. Ia, lebih daripada aku, benar-benar mewakili semangat pasangan muda, yang terus bergerilya meraih mimpi-mimpinya. Walaupun mimpi-mimpi kami, tentu saja, mimpi-mimpi kecil pasangan muda kelas dua.

"Setelah nyicil rumah, kira- kira apa selanjutnya ya Dik?" kataku menggodanya di penghujung sore itu.

"Ah Mas, pelan-pelan dong. Satu-satu!" katanya. Tapi setelah memalingkan wajah, ia memandang lurus ke depan. Memandang petak-petak rumah kontrakan yang bertebaran di sekeliling kami. Memandang kerlip-kerlip lampu dari gedung-gedung tinggi nun jauh di sana . Mata itu dalam dan berbinar. Aku yakin Laila sedang merangkai satu lagi mimpi baru. Mimpi kecil dari pojok Jakarta .

* **

Previous