Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Pwahaci Rababu

Cerita Pendek Hermawan Aksan

1
GALUH, tahun 582 Saka.

Jalantara melangkah pelan seperti kucing, menyelinap waspada di antara bayangan gelap tiang-tiang ruang tengah. Langkah kakinya seringan kupu-kupu dan telapak kakinya sehalus kapas menapaki lantai kayu.

Yang membuat langkahnya terhambat bukanlah rasa takutnya akan menimbulkan bunyi sepelan apa pun di tengah kesunyian malam yang tengah mencapai puncaknya. Sebagai lelaki yang kemampuannya sudah hampir mencapai sempurna, ia bisa membuat kesunyian tetaplah kesunyian. Yang membuatnya harus berkali-kali menahan langkah adalah bunyi debar di dadanya.

Usianya sudah lewat dari pertengahan tiga puluhan. Namun, selalu saja ia tak mampu meredam gejolak di dadanya setiap mengenang wajah Nay Pwahaci Rababu. Sudah belasan tahun semenjak ia dengan dada yang membara menatap sang dewi bersanding di pelaminan dengan kakaknya sendiri.

Di pelaminan itu, ia ingat, Pwahaci Rababu tampak bersinar dalam kemudaan dan kecantikannya. Bersinar seperti purnama. Oleh karena itu, Jalantara lebih suka menyebut namanya Wulansari. Jalantara membayangkan seperti itulah wajah Sinta. Di sebelahnya, duduk kaku kakaknya sendiri, Sang Jatmika, dengan wajah yang entah kenapa tampak begitu suram dan tua. Jalantara tak tega membayangkan kakaknya sebagai, misalnya, Dasamuka. Namun, tentu saja terlampau mengada-ada kalau ia membandingkannya dengan Rama. Bibirnya selalu mengerut seperti lelaki renta. Kakaknya memang sudah kehilangan banyak giginya sehingga nyaris semuanya tanggal. Dan ayah mereka sendirilah yang memanggil kakak sulungnya dengan nama Sempakwaja.

Ah, mengapa bukan dia yang bersanding dengan Pwahaci Rababu? Ia pernah bertanya kepada sekian orang di istana. Jawabannya selalu sama, anak ketiga tak mungkin bersanding lebih dulu.

Mengapa harus dengan Rababu? Apakah ada kesepakatan di antara Sang Rajaresi Wretikandayun dengan Resi Kendan, ayah Rababu? Atau sekadar kecurangan Sempakwaja yang telah menculik sang putri?

Ia tak hendak memuji diri sendiri bahwa dialah yang sesungguhnya pantas dianggap sebagai Ramawijaya, satu-satunya lelaki yang berhak beristrikan Sinta. Jalantara lelaki yang tampan. Orang-orang berkata demikian. Mereka bahkan menyebut bahwa kulitnya bercahaya seperti kulit yang diselaputi minyak. Oleh karena itu, ia mendapat nama lain Mandiminyak.

Meski hanya sekilas, Jalantara ingat, tatkala duduk di pelaminan, Pwahaci Rababu sempat menatapnya dan ia menatap balik perempuan itu. Mereka bersitatap dan dada Jalantara diselimuti gelenyar yang sangat membahagiakan. Jagat seperti memusat pada diri mereka berdua. Tak ada orang lain, apalagi sekadar Sang Jatmika, kakaknya.
Berapa usia Pwahaci Rababu sekarang? Paling tua barulah tiga puluh. Namun, jarak waktu belasan tahun dan dua anak lelaki yang beranjak remaja tidak membuat Pwahaci Rababu kehilangan cahayanya.

Di tengah pesta perjamuan utsawakrama tadi, Pwahaci Rababu masih tetap menjadi pusat cahaya yang memancar gemilang ke seluruh ruang. Usia seperti tak pernah beranjak dari belasan tahun yang lalu. Tubuhnya tampak tetap semampai meski dibalut busana yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, hanya menyisakan dua bentuk tangan yang langsat dan sejenjang leher yang mengilat, serta rambut separuh mengurai karena hanya sebagian yang diikat dengan pita ungu dan berselip seuntai melati putih.
Pwahaci Rababu seakan memiliki kecantikan abadi, seperti Dayang Sumbi. Seperti para dewi di langit tinggi.

Duduk berseberangan dalam perjamuan, mata Jalantara tak juga lepas dari wajah Pwahaci Rababu. Berkali-kali pula mata sang Pwahaci menatapnya. Keduanya saling tatap seperti belasan tahun yang lalu. Seperti dulu, dada Jalantara berdebar kencang dan seperti dulu, jagat terpusat pada diri mereka.

Bertahun-tahun ia memimpikan perempuan itu. Tentu saja tak mungkin, dia adalah kakak iparnya sendiri. Bertahun-tahun ia berusaha mencari perempuan yang sebanding dengan Pwahaci Rababu. Bukan hal yang sulit baginya, sebagai seorang putra mahkota, untuk menginginkan siapa pun perempuan di segenap pelosok negeri ini. Namun, ia tak pernah menemukannya. Pwahaci Rababu adalah satu-satunya di dunia. Oleh karena itu, bertahun-tahun ia belum juga menemukan perempuan yang bakal menjadi istrinya, mendampinginya dalam suka dan duka hingga nanti menjadi raja Tanah Galuh.

Jalantara tak pernah membayangkan bahwa mimpinya akan menjadi nyata dengan cara yang begitu sederhana.

Atas persetujuan sang ayah, Rajaresi Wretikandayun, Jalantara mengadakan pesta perjamuan di Istana Galuh. Namun secara resmi, ayahnya sendirilah yang menjadi pengundang. Ia memang menyukai pesta. Setidaknya, ia menyukai kegembiraan dan keramaian. Berbeda dengan dua kakaknya, Sang Jatmika dan Sang Jantaka, yang lebih suka hidup menyepi mendalami sisi kehidupan ruhani. Ia tidak tahu apakah kedua kakaknya benar-benar hidup hanya untuk agama atau karena mereka tak lagi punya hak atas takhta karena keterbatasan jasmani mereka. Jatmika cacat karena tak lagi bergigi, sedangkan Jantaka menderita kemir, sebuah penyakit yang cukup membuat nista sebagai pria. Keduanya pun tak mungkin menjadi yuwaraja (putra mahkota) sebagai calon pengganti Sang Wretikandayun. Sempakwaja kemudian menjadi Resiguru di Galunggung yang membawahkan sejumlah kerajaan kecil dan mendapat gelar Batara Danghiyang Guru. Adapun Jantaka menjadi resiguru di Denuh, dekat sebuah telaga di kawasan Galuh Selatan, dan mendapat gelar Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul.
Jalantara sendiri kemudian tidak hanya menjadi yuwaraja yang hanya menunggu saatnya memegang takhta. Ia sudah menjadi wakil raja, menguasai sejumlah menteri dan pejabat istana, dan menjadi pimpinan angkatan bersenjata Galuh.

Next