Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Burung-burung

Rumah besar itu terdiri dari tiga bagian. Bagian depan adalah ruang praktek, bagian tengah merupakan rumah keluarga, dan bagian belakang terdiri dari gudang dan kebun kecil yang penuh dengan sayur-sayuran. Pemiliknya memang sengaja membuat desain bangunan rumah seperti itu, agar tanah berukuran 10 X 50 meter yang memanjang ke arah belakang itu penuh terisi. Setiap sore, orang-orang selalu ramai di ruang depan, datang untuk berobat. Dr. Hanna Bertha, istri pemilik rumah itu, akan melayani pasien-pasiennya dengan sabar, hangat dan penuh senyum. Sementara suaminya, di salah satu kamar kerja di ruangan tengah, sibuk dengan bunyi tik-tak komputer. Lelaki itu adalah seorang penulis. Dulu, ia bekerja sebagai wartawan, tapi berhenti karena sastra terlalu kuat mencengkeram hati dan pikirannya.

Di ruang belakang, puluhan sangkar burung menggantung di plafon teras gudang. Seperti suara indah dari kehidupan yang lain, kicau merdu burung-burung itu selalu menemani tuannya beraktivitas. Burung-burung dalam sangkar itu adalah sebait ingatan tentang cinta yang dipersembahkan bagi seorang perempuan tua. Semua berawal ketika suatu kali ia pergi ke pasar burung untuk membeli pakan bagi burung yang terdampar lemah di kebun belakang rumahnya. Burung itu mungkin disambar petir, kita harus merawatnya, kata suaminya. Dan ketika berada di pasar burung, ia tertegun mendengar kicau-kicau merdu yang menguar dari beragam burung. Tiba-tiba ia teringat pada sesuatu: ketika ayahnya meninggal, malam sebelumnya ia mendengar burung-burung berkicau di sekitar rumah mereka. Mengingat hal itu, tiba-tiba kepalanya pusing, dan ia jatuh pingsan. Dan inilah yang dilihatnya:

Seorang gadis cilik hidup di rumah sederhana, di sebuah kampung sunyi. Ibunya, seorang diri, berjuang mengayomi dan memberi nafkah baginya. Wanita itu tak pernah marah, selalu ramah. Meski begitu, selalu ia merasa ada yang tidak sempurna dalam diri ibunya. Ibunya masih sering salah ketika mengerjakan banyak hal. Ketika menanak nasi, sering nasi yang ditanaknya kurang matang, atau terlalu lembek. Jika ia menyapu rumah, sering ada bagian-bagian yang tertinggal sehingga debu-debu tetap saja melekat di lantai. Dan jika ia mencuci, noda dan kotoran sering tertinggal di piring dan pakaian. Ia ingat, ketika ayahnya masih hidup, hal seperti itu tidak pernah terjadi. Ayahnya selalu menyertai ibu ketika mengerjakan sesuatu, sehingga tampak selalu sempurna. Tapi, itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba saja ibunya berubah menjadi wanita yang gesit, telaten, bersih, rapi dan sempurna mengerjakan segala hal. Dan ia tidak menyangka bahwa ibunya juga akan sanggup bekerja di kebun karena semasa hidup ayah, ibu tak pernah pergi ke kebun. Setiap hari wanita itu bekerja banting tulang, seperti menemukan kekuatan baru dalam setiap pekerjaannya. Dan ia makin bangga pada ibu, karena di tengah-tengah kesibukan yang padat, ibu masih sempat membaca buku-buku. Dan kebiasaan itu kemudian turun kepadanya. Pernah ia membaca novel tentang seorang istri yang menikah lagi setelah ditinggal mati suaminya pada saat anak pertama mereka baru lahir. Lalu, ia bertanya, "Ibu, mengapa Ibu tidak menikah lagi?" Dan ibunya menjawab: "Kelak, ketika kamu sudah punya anak, kamu akan tahu jawabnya."

Bertahun-tahun kemudian, ia menikah. Tapi ia tidak bahagia. Ia punya suami yang tidak pandai menyiasati hidup, tak gesit mencari uang. Oleh sebab itu, dia harus bekerja matian-matian untuk menghidupi rumah tangga. Pagi hari, ia bekerja di sebuah rumah sakit. Dan sore hari, ia membuka praktek di rumahnya. Ia tidak pernah marah pada suaminya, sebab ia paham potensi seseorang. Ia paham bahwa zaman sudah berubah, paham bahwa konsep patriarkal sudah tak berlaku lagi dalam kehidupan rumah tangga. Ia ingin seperti ibunya, berhasil membesarkan, mendidik dan menghantarkan dirinya ke kehidupan yang layak, meski ibu tak punya suami. Tapi ini bukan berarti bahwa ia mencuaikan suaminya. Ia tetap mencintai lelaki itu, menghormatinya, menganggapnya sebagai tuan yang harus dijunjung. Ia paham, apa yang dilakukan suaminya sedikit banyak telah pula membangun kehormatan di tengah-tengah keluarga. Anak-anaknya juga bangga punya ayah seperti suaminya, terlebih-lebih ketika teman-temannya berkata, "Ayah kamu penulis yang sering masuk koran itu, ya? Hebat dong!" Tapi, sesekali ia merasa lelah juga manakala suaminya hanya asyik dengan buku-buku, sampai-sampai untuk memperbaiki toilet yang sumbat, mengoreksi lampu yang rusak, harus dilakukannya sendiri. Seperti sore itu, ia pergi ke pasar burung setelah terlebih dahulu membersihkan kebun. Apakah ia jatuh pingsan karena terlalu lelah? Apakah itu terjadi karena kekaguman mengingat ibu, lalu lemas dan kecewa menerima kenyataan bahwa suaminya hanya duduk di depan komputer? Tapi, ia mencintai lelaki itu, seperti lelaki itu juga mencintainya. Ia paham, suaminya kurang tahu cara mencintai, itulah persoalannya.

Ketika siuman, ia berada di rumah sakit. Suami dan anak-anaknya berada di sampingnya dengan mata sembab. Sejak peristiwa itu, ia mulai suka mengoleksi burung, dan ditaruh di bagian belakang rumahnya.

Pertentangan

Pernah suatu hari ia pulang menjenguk ibu, tanpa ditemani suami dan anak-anaknya. "Hanya kamu seorang?" ibunya bertanya. Ia berkata bahwa ia rindu pada ibu, pada kampung, pada sesuatu yang pernah mereka jalani bersama sebelum suami dan anak-anaknya hadir. "Aku ingin menikmati hal itu bersama ibu," katanya. Mereka kemudian berjalan-jalan ke kebun kakao sambil saling bercerita. Ia berkisah dengan antusias tentang anak-anaknya yang lincah dan gemuk-gemuk., juga tentang suaminya yang tetap seperti dulu.

"Suamimu itu memang baik, tapi tingkahnya seringkali membuat orang-orang tersiksa. Masih suka diam dia?" tanya ibu.

"Masih, Bu. Sekarang malah makin pendiam, susah diajak ngobrol. Tapi ia tidak pernah menyakitiku. Ia tetap baik. Ibu sendiri bagaimana, apa Ibu masih betah hidup di sini?"

"Pasti betah. Kehidupan Ibu memang di sini. Ada apa?"

"Bagaimana kalau Ibu tinggal saja bersama kami di kota ?"

Mendengar itu, ibu tertegun, lalu berkata: "Itu tidak mungkin. Kamu bisa saja membiayai Ibu tanpa kurang suatu apapun, mengurus Ibu, dan memanjakan Ibu dengan segala apa yang kamu miliki. Tapi apa kamu yakin Ibu akan betah di kota? Dengar ya, Ibu juga berasal dari kota. Jika Ibu mau, sudah sejak ayahmu meninggal Ibu pergi ke kota, bersama kakek dan nenekmu yang hingga akhir hayatnya masih tetap jadi orang kota. Tidak, Nak, di desa inilah kehidupan ibu. Desa ini telah menyelamatkan ibu dari kejaran penguasa, meski desa ini jugalah yang merenggut nyawa ayahmu. Di sinilah tersimpan sejarahmu, dan desa inilah tempatmu pulang jika kamu rindu pada sesuatu yang tidak bisa kamu dapatkan di kota."

"Tapi Ibu, aku ingin punya seseorang tempat bicara, menantu Ibu tidak bisa diajak bicara. Aku sepertinya salah pilih, ya, Ibu?"

"Eh, jangan bicara begitu. Dulu, sebelum kamu menikah, kamu kan sudah tahu wataknya. Jadi, kamu harus terima itu. Jangan lupa, ia penerus ayahmu yang juga suka nulis."

"Aku mohon, sudilah Ibu tinggal bersamaku di kota. Aku mungkin tidak sekuat Ibu, bisa hidup tanpa suami. "

"Tidak bisa. Ibu hanya bisa berkata bahwa kamu harus lebih paham apa itu makna cinta. Jika kamu memahaminya dengan benar, kamu pasti bisa menangani segalanya dengan baik. Berjuanglah demi anak-anakmu, bukan untuk suamimu."

Percakapan mereka berhenti sampai di situ, mereka pulang dari kebun kakao dengan saling diam. Baginya, penolakan ibu terasa seperti sebuah pertentangan yang berdebam-debam di dadanya. Satu-satunya hal yang mungkin masih bisa dilakukannya adalah bersabar, belajar, berjuang seperti kata ibu, meski suaminya tak bisa seperti harapannya. Ia sebenarnya tak menuntut apa-apa dari suaminya itu kecuali sikap yang hangat. Tidak lebih.

Kenyataan

Sejarah terus berjalan, bergerak, meski tak selalu baik rupa. Adakah sesuatu yang sempurna di dunia ini? Seperti cuaca yang terkadang pecah, rontok dan lumat ditimpa waktu, hidup juga punya ledakan-ledakan tersendiri dalam perjalanannya. Tak ada kedamaian sebenar dalam hidup ini. Tak ada kehancuran sebenar dalam perjalanan ini. Dan perempuan tua itu tetap menjalani hari-hari di kampungnya yang sunyi, berdamai dengan sejarah yang mengendap di kebun kakao. Dan putrinya, Dr Hanna Bertha, bersetia pada kehidupan yang tak sepenuhnya salah tata. Dan harapan demi harapan selalu menguar dari kicau burung yang melengking-lengking dari belakang rumahnya. Dan itu membuatnya tabah bukan karena ia perempuan, tapi hanya karena cinta.

***

Pekanbaru, April 2005

Previous