Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Pagi itu, aku kembali berdiri di halte bus untuk menunggu Mas Budi menjemputku. Dan nenek penjual koran itu tersenyum ketika melihat kedatanganku.

"Korannya Non, beritanya rame-rame!" tawarnya seperti itu lagi. "Coba Non lihat, orang-orang yang ada di koran ini, kan semuanya orang-orang jahat. Tapi kenapa ya, matanya tidak ditutup. Dulu, pada zaman nenek muda, kalau ada orang jahat di koran, matanya selalu ditutup. Kenapa sekarang tidak. Bagaimana cara membedakan orang jahat sama orang yang tidak jahat?" lanjutnya dengan nada bertanya.

"Nenek kan bisa baca untuk mengetahui apa yang terjadi di koran itu," kataku sekedar menjelaskan. Nenek itu tiba-tiba tertawa, dan kembali aku melihat ompong giginya.

"Nenek tidak bisa baca, Non," akunya. "Nenek dulu tidak sekolah. Nenek cuma bisa mengaji."

Sebuah bajaj tiba-tiba berhenti di depan halte bus. "Eh, entu cucu Nenek," tunjuknya ke arah seorang anak muda yang membawa kendaraan bajaj. Anak muda itu menyodorkan beberapa tabloid kepada nenek Peni. Lalu tanpa basa-basi anak muda itu ngeloyor pergi membawa bajajnya. "Itu cucu Nenek. Tadinya dia jualan koran di sini, tapi dia tertarik kepingin narik bajaj, terus Nenek disuruh nunggu dagangannya di halte ini. Nenek mau, karena Nenek kasihan sama cucu Nenek, karena kedua orangtuanya, yaitu anak Nenek, sudah meninggal sewaktu terjadi kerusuhan di pasar Ciledug," lanjutnya panjang lebar. Hatiku tiba-tiba saja terenyuh. Tapi kulihat nenek itu begitu tegar. Aku ingin seperti dia, tegar mengalami berbagai macam cobaan.

Sepuluh menit kemudian, Mas Budi muncul dengan mobilnya. Aku masih tertarik dengan cerita nenek Peni, tapi tidak mungkin aku selalu berada di situ jadi pendengar setia lakon hidupnya. Aku sendiri pun merasa perlu ada orang yang mau membantu mencari jalan keluar seperti Mas Budi sebut 'jalan lain' untuk masalah yang sedang kami hadapi.

"Aku baru menemukan jalan lain untuk kita berdua," cetusnya setelah membawa mobilnya jauh dari halte bus. Aku sebenarnya sudah bosan dengan pendapat-pendapat Mas Budi yang terkesan menguntungkan dirinya sendiri. Tapi 'jalan lain' yang dia bawa ini, mungkin lebih masuk akal atau bisa melegakan pikiranku yang selama ini terus-menerus di 'belenggu' bila yang akan disampaikan nanti dapat memuaskan hatiku.

"Jalan macam apa, Mas?"

Mas Budi menoleh padaku, "Rumahku yang di Bintaro, tak ada yang menempati. Aku ingin kamu yang menempati dan mengurusinya. Sekaligus rumah itu sebagai hadiah ulang tahunmu, dariku."

"Maksud Mas, biar aku tinggal di situ?" potongku karena aku tak paham maksudnya.

"Iya, dan nanti setiap dua hari sekali, aku akan pulang ke Bintaro untuk menemuimu. Bagaimana, kamu setuju?"

Mukaku seakan ditamparnya. Aku tak menghendaki ini. Aku tak menginginkan harta ataupun yang lainnya. Kecuali aku dinikahi secara resmi. Itu saja. Tinggal dimanapun aku tak masalah. Yang penting aku jadi istri yang sah, bukan sekedar pacar gelap seperti sekarang ini. Aku tak mau dicap selingkuh dengan suami orang. Aku tak mau. Aku pusing. Aku tak bisa berkomentar apa-apa kecuali menghapus air mataku yang menetes di kedua pipiku ketika aku turun dari mobil Mas Budi.

** *

Pagi itu, pikiranku masih kusut. Pekerjaanku di kantor cukup padat, menumpuk. Seperti persoalan-persoalan di ruang pengadilan, begitu kompleks. Aku kelihatan diam, tapi hatiku seperti dipenuhi suara-suara pasar, atau seperti sebuah stasiun yang begitu bising dan sumpek. Aku berangkat lebih pagi agar semua pekerjaanku bisa kuselesaikan satu persatu. Soal Mas Budi, sudah aku SMS agar ia tak menjemputku pagi ini di halte yang biasa. Aku hari ini mau sendiri, mau lebih cepat tiba di kantor. Akan tetapi, setibanya aku di lokasi tempat halte bus itu berada, aku tak melihat halte bus itu berdiri, melainkan halte bus itu telah roboh ke tanah dengan atap yang hancur berkeping-keping. Sedangkan di bawah halte yang roboh itu berserakan pecahan kaca mobil. Pot-pot bunga yang berada di samping halte itu tak luput berantakan seperti terkena benturan yang cukup keras. Aku melihat selembar plastik sebagai alas untuk berjualan koran nenek Peni tampak tertindih atap halte yang sudah tak karuan bentuknya. Orang-orang berkerumun saling membicarakan perihal kejadian yang sebenarnya. Seorang wartawan sedang memotret dari beberapa sudut..

" Ada kejadian apa, Bang? Apa ada demo kemarin sampai-sampai halte bus dirobohkannya?" tanyaku memancing untuk sekadar mencari tahu.

"Halte bus ini kemarin siang, diseruduk bus kota yang supirnya ugal-ugalan."

Aku terkejut, " Ada yang ketabrak, Bang?"

"Tiga orang meninggal seketika!" ungkap wartawan itu. Aku tambah penasaran.

"Penumpang bus, atau pejalan kaki yang meninggal?" kejarku.

"Dua orang calon penumpang yang sedang menunggu bus, dan satu lagi seorang nenek-nenek yang sedang berjualan koran di bawah halte itu," jelas si wartawan sambil memotret bagian-bagian lain. Napasku terasa sesak. Tubuhku mendadak gemetar.

Oh, betapa malang masib nenek penjual koran itu, renungku. Nenek Peni yang baru kukenal tapi telah bercerita banyak tentang anak dan cucunya. Sedangkan aku belum sedikitpun bercerita kepadanya tentang diriku yang setiap hari menunggu lelaki bermobil sedan yang sering menjemputku di halte bus itu.

Nenek Peni keburu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Rasanya, seperti ada yang ikut lepas setelah mendengar nenek Peni meninggal. Entah itu apa. Dan di mana Mas Budi, apakah dia telah menemukan 'jalan lain' lagi untuk mengatasi diriku yang semakin terpuruk di dalam penantian. Sepertinya, aku harus lebih teliti dan berhati-hati setelah tahu bahwa hidup ini penuh dengan misteri. ****

Jakarta , 2003/2005

Previous