Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Jalan Tinja

Cerita Pendek Edeng Syamsul Ma'arif

SETIAP melewati jalan sepanjang kurang lebih satu kilometer itu, perut saya seperti diaduk-aduk. Rasa mual ingin muntah menyodok-nyodok dan memelintir saluran pencernaan. Paru-paru sesak karena harus menahan napas sekian menit agar bau busuk yang menyengat tak sempat mampir dan terhirup oleh hidung saya. Udara panas di luar maupun di dalam kendaraan semakin mempertajam aroma bacin. Untuk kesekian kalinya kepala saya diserang sakit hebat. Keringat menderas.

Sial! Kalau saja kemarin sopir angkutan kota itu tidak ugal-ugalan dan tidak menyenggol sampai penyok spatbor belakang mobil saya, mungkin penderitaan hari ini tidak terlalu parah. Lebih sial lagi, pada saat benar-benar diperlukan seperti saat ini, saya lupa membawa tisu atau sapu tangan. Dan tindakan menutup hidung dan mulut saya sendiri itu pada akhirnya juga sia-sia saja karena lubang-lubang di sepanjang jalan tak pernah memberikan kesempatan bagi saya untuk terus-menerus melakukan hal itu. Kendaraan yang saya tumpangi selalu berguncang karena sopir berusaha menghindari lubang-lubang itu tanpa mengurangi kecepatan kendaraannya sedikit pun. Jika saya tetap mempertahankan salah satu atau kedua telapak tangan saya untuk menutup hidung atau mulut, tubuh saya akan oleng dan menubruk penumpang lain di sebelah kiri kanan saya. Meski mereka juga merasakan hal serupa dan berupaya mempertahankan kelembaman tubuhnya agar tidak berbenturan dengan penumpang yang lain, kejadian ini akan semakin memperparah kejengkelan orang bersangkutan.

"Terkutuk!" umpat laki-laki tua yang duduk di belakang saya tiba-tiba. Saya terperanjat. Suaranya nyaring memecahkan telinga. Hampir saja saya balik mengutuk dia karena telah mengagetkan saya. Penumpang lain sekilas melirik ke sumber suara dengan ekspresi penasaran. Dalam batin mereka mungkin bersyukur, setidaknya, suara itu telah memecah konsentrasi mereka terhadap bau busuk. Walau pada akhirnya mereka kembali disibukkan oleh upaya melindungi hidung dan mulut mereka sendiri sambil harap-harap tidak jelas, barangkali ada kalimat lanjutan yang lebih keras dari mulut Pak Tua. Karena sekilas, dari cara menyemburkan suaranya, orang-orang sudah bisa menyimpulkan bahwa Pak Tua ini memiliki karakter temperamental.

Sambil sesekali menutup hidung dan mulutnya dengan tangan kiri, Pak Tua meneruskan umpatannya. "Apa semua penduduk kampung sini membuang beraknya setiap hari di sepanjang jalan ini? Biadab!" Pak Tua batuk-batuk. Mungkin karena terlalu emosi sehingga kontrol suara yang melewati tenggorokannya tidak terjaga. Orang-orang yang tampak sangat tersiksa itu sedikit terhibur dengan umpatan-umpatannya. Seakan aspirasi kejengkelan kami semakin terwakili. Meski kami juga yakin betul, umpatan-umpatan Pak Tua ini tidak akan pernah dapat mengubah aroma penciuman sepanjang perjalanan sehingga menjadi harum. Busuknya tetap busuk. Dan siapapun yakin, yang tercium oleh mereka, termasuk saya, bukan aroma kotoran hewan seperti sapi, kambing, atau kerbau. Tapi ini benar-benar asli tinja manusia!

Mungkin apa yang dikatakan Pak Tua itu ada benarnya. Orang-orang di kampung sini benar-benar terkutuk. Mereka dengan sengaja membuang hajatnya sembarangan di pinggir-pinggir jalan karena di rumahnya tidak memiliki sarana yang cukup memadai untuk buang hajat. Atau mereka melakukan hal itu karena bodoh? Karena tidak sekolah? Sehingga untuk buang hajat saja mereka tidak tahu di mana tempatnya? Tinja penduduk kampung telah menciptakan kawasan yang benar-benar busuk dan memaksa para pengguna jalan yang tidak bersalah yang harus merasakan akibatnya.

Saya tidak bisa membayangkan, suatu ketika saya terpaksa harus berhenti di kawasan tersebut tengah malam dan jalan kaki mencari bengkel untuk menambal ban mobil atau terjebak kemacetan berjam-jam karena ada kecelakaan lalu-lintas misalnya? Dan saya berada tepat di dekat sumber bau yang paling busuk? Terlebih, saya sangat yakin para pejabat daerah juga pasti menggunakan jalan ini agar sampai ke kota tetangga untuk keperluan dinas maupun pribadi. Tapi mereka tampaknya tidak peduli. Ini yang kemudian membuat kejengkelan saya semakin melebar ke mana-mana. Buat apa saya membayar pajak untuk negara kalau saya tidak menerima jaminan sarana transportasi dan kesehatan yang layak? Karena saya merasa selama ini telah menjadi wajib pajak yang cukup tertib. Jadi saya tidak bersalah kalau ngomong seperti ini. Apalagi sejak tiga tahun ini saya mengidap paru-paru basah.

Next