Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Sehabis menonton film, yang di dalamnya ada adegan, bagaimana seorang suami menampar istrinya. Adegan film yang melulu melecehkan kodrat perempuan. Ia langsung mengutarakan pendapatnya pada diriku. Katanya, semua lelaki memang begitu. Selalu begitu, dianggapnya perempuan ini makhluk yang lemah, sehingga bias dibuat begini dan begitu. Aku terkesiap. Mungkin itu hanya di film, atau taruhlah hanya beberapa lelaki saja yang kerap melakukan hal semacam itu.

"Kau tidak bisa menarik kesimpulan dengan cara dangkal semacam itu! Tidak semua lelaki semacam itu," aku menjawab penuh semangat. "Buktinya, itu kekerasan terhadap peempuan selalu lahir dari tangan lelaki. Lihatlah film-film, di mana perempuan cuma sebatas pemanis rasa," aku hanya terdiam. Aku tinggalkan ia, aku ingat kata Ibuku, tidak baik menghadapi perempuan yang sedang marah.

Hari-hari kembali lewat. Jam begitu cepat berputar. Kemarahanku pada Dhesi belum juga sirna. Aku tak mau menemuinya. Tiba-tiba relung sunyi itu datang dalam hari-hariku. Aku sudah terlalu biasa untuk tetap bersamanya. Sehingga ketika kudapati waktuku yang pernah hilang itu, aku seperti terkesiap. Membuatku bingung dan linglung.

Sudah hampir dua bulan belakangan ini aku tak menghubunginya. Barangkali, dirinya denganku memang berbeda. Teramat berbeda, yang terus-menerus mengingatkanku pada sebuah selat. Begitu jauh jarak yang membentang antara kami. Sehingga percakapan hanya melahirkan sungai-sungai api. Yang hanya meninggalkan sekelumit emosi. Jika aku bertemu dengannya, hanya akan mencercah perasaanku saja. Membuatku pangling, mesti bagaimana. Terkadang cinta memang begitu abstrak, terlalu banyak hal-hal yang tak bisa diselesaikan. Untuk menyatukan isi dua kepala menjadi satu, memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Cinta bukan hanya sekadar itu saja. Bukan pula hanya percakapan, bunga, telepon, rindu, cemburu-masih begitu banyak yang hinggap di lain tempat.

Aku memang sudah sempat untuk mengajaknya bicara. Dari hati ke hati. Sebab mulut kita terkadang begitu terasa pasi untuk mengeluarkan kata-kata yang indah. Mungkin masih ada vibrasi di dadanya, sebagaimana diriku ketika aku mengingat semua kenangan laluku. Ketika kami masih bergandengan tangan berdua, saling berbicara hal-hal yang remeh tentang kehidupan ini. Tetapi rupanya antara aku dan dirinya telah menderita amnesia yang berkepanjangan. Yang mungkin tak lagi bisa untuk mengingat kesalahan yang telah lalu.

Suatu malam, aku masih mengenang setiap benda pemberiannya: buku kumpulan cerita pendek perempuan, sapu tangan handuk kecil berwarna merah jambu, surat cinta, sms bergambar hati dengan bedak, novel Harry Potter, kembang mawar yang sudah layu. Aku kembali terkesiap, tetapi aku memang mesti kuat menghadapinya. Maka segera saja kukirimkan sms ke ponselnya, kalimat-kalimat yang terasa cengeng dan lirih.

Au revoir, oublie-moi, begitu banyak desole. Bikin afasia, terus eksidis. Oublie-carte du jour-billet doux. Merci buat segalanya. Aku jadi eros, melihat utarid yang melulu padam. Sekali lagi, au revouir, oblie-moi, Dhesi!

Aku pikir, lebih baik aku dan Dhesi jalan sendiri-sendiri saja. Segalanya telah berakhir sudah. Dhesi memang masih tetap menawan, seperti dulu, sebagaimana pertama kali aku bertemu dengannya. Dengan berpisah mungkin ada sesuatu yang akan mendewasakan diri kami. Barangkali, itu memang hal yang terbaik. Walau aku tahu, aku sudah memulai untuk mencintai perempuan dengan setulus hati.

Jakarta-Bandar Lampung, Juli 2003, terima kasih kepada Josepha Violenna Simatupang.

Previous