Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Menjelang petang aku memutuskan untuk meninggalkan rumah bersalin dan pulang. Kondisi bayi dan istriku yang berangsur sehat tidak memerlukan perawatan khusus. Menurut bidan yang menanganinya, asal tidak banyak bergerak dan terus beristirahat istri dan bayiku diperbolehkan pulang. Kami tiba di rumah saat mahatari senja tersenyum ceria. Aku bersyukur melihat sekalian alam turut bersuka cita atas kelahiran bayi kami yang pertama. Pengalaman yang serba pertama membuat aku dan istriku sering kebingungan memahami keinginan si kecil ketika menangis. Untunglah ibu mertuaku dengan sabar turut campur tangan menanggulangi kegaduhan menyenangkan di rumah kecil kami.

Malam pertama dengan penghuni baru di rumah kami menjadi hal yang tak mudah dilupakan. Aku akan mencatatnya sebagai bagian terpenting dalam sejarah hidupku. Pada malam itu pulalah aku mengalami sendiri apa yang selama ini dikatakan banyak orang tua, bahwa demi anaknya orang tua rela melakukan apa saja. Sepanjang malam bayi mungilku tak kunjung memejamkan mata. Sepasang mata kecilnya terus terbuka dan menatapi kamar tempatnya berbaring. Aku dengan ringan hati menjaganya. Mengawasinya dan menenangkannya jika tangisnya mulai terdengar. Istriku yang masih lemah dan sangat membutuhkan istirahat sejak semula kuminta untuk menyerahkan segala keperluan bayi kami kepadaku. Canggung tentu saja kualami. Maklum segalanya serba debutan. Aku baru pertama kali menjadi ayah. Bingung juga ketika harus mengganti popok dan membuatkan susu. Tetapi, seperti yang telah kukatakan di atas, ini pengalaman yang paling penting dalam sejarah hidupku. Keletihan dan kerepotan yang kualami, jauh lebih kecil dibandingkan kebahagiaan yang bermuara dalam hatiku.

Aku yang selama ini paling tak suka tidur terlambat, kini dengan senang hati harus kehilangan banyak waktu tidur malam demi si mungilku tercinta. Jika hari-hari yang lalu aku baru pulang dari kantor menjelang Maghrib, kini aku lebih suka pulang lebih cepat. Chating dan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan internet yang biasa selalu menggodaku, mendadak kehilangan pesona. Setiap kali ada waktu luang, aku akan segera melesat pulang. Bagiku berada di samping si mungil dan memandanginya tanpa berkedip adalah kenikmatan yang tiada tara. Bahkan saat mengaji rutin pun aku lakukan di samping si mungil. Ayat demi ayat dari kalam Ilahi aku senandungkan di depannya. Meskipun matanya terpejam, tapi aku yakin apa yang kuperdengarkan kepadanya tak sekadar berlalu tanpa kesan. Pun saat si mungil terbangun di tengah malam dan aku harus sholat tahajud. Di dalam pelukanku bayiku begitu tentram mengikuti setiap gerak yang kulakukan dalam munajad pada sang Pemurah lagi Penyayang di sepertiga malam yang hening.

Memilihkan nama adalah kehebohan di antara aku dan istriku yang tak kunjung tuntas. Meski telah melewati banyak sidang pleno, tetap saja tak kunjung tersepakati satu nama bagi si mungil. Padahal waktu pemberian nama semakin dekat. Sebagaimana yang disunnahkan Rasul mulia, memberikan nama sangat bagus dilakukan tujuh hari setelah kelahiran seorang bayi. Pada saat itulah aku berencana mengundang saudara, handai-taulan dan sekalian karib kerabat untuk menjadi saksi pemberian nama atas bayi pertamaku. Ada banyak usulan nama yang bermunculan. Tak hanya datang dari aku dan istriku, tapi banyak juga saudara dan kenalan yang berbaik hati memberikan usulan nama terbaik untuk bayiku. Tetapi semakin banyak usulan nama, maka semakin alot ‘sidang paripurna' berlangsung. Satu nama yang paling cocok dan disepakati tak kunjung didapatkan. Meski hingga cerita ini kutuliskan nama terbaik bagi bayiku belum juga didapat, tetapi aku yakin setelah tujuh hari dari kelahirannya, yaitu saat dilangsungkannya pemotongan dua ekor kambing sebagai tebusan atas gadai dirinya dalam bentuk aiqah, nama itu insyaallah akan kupersembahkan kepada bayi mungilku.

Kini anugrah teragung itu telah Allah karuniakan kepadaku. Aku terharu dan tak sanggup menuntaskan segala perasaanku dalam bentuk cerita. Tetapi aku sadar, sesadar-sadarnya bahwa di balik anugrah teragung ini, terselip tanggung jawab teramat besar yang kini tersandang di pundakku. Aku sadar kini tanggung jawabku bertambah satu jiwa. Tanggung jawab nafkah, insyaallah Allah akan cukupkan, tetapi tanggung jawab akhirat.... Sungguh inilah yang paling aku takutkan. Anugrah teragung itu telah aku terima. Aku syukuri sebagai sebuah karunia. Mustahil anugrahnya aku terima, namun tanggung jawabnya kuabaikan. Kini aku tak sekadar punya tanggung jawab melindungi diri dan istriku dari api neraka, tetapi ada satu jiwa lagi yang menjadi tugasku melindungi dirinya dari api neraka. Ya Allah Engkaulah muara pengharapan atas pertolongan bagi hamba.

***

Pekanbaru 21 Maret 2003

Previous